Tiga Belas - Gio

3.9K 778 75
                                    

Pagi hari ini rasanya tumben sekali. Ada sesuatu yang berbeda yang terjadi kepada aku. Biasanya Minggu pagi ini aku sudah melakukan beberapa hal meskipun jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi.

"Kok diem aja?"

Aku menolehkan kepalaku ke belakang dan mendapati ayahku bersandar di pintu kaca. Dia menatap aku yang tengah duduk di teras belakang rumah. Matanya mengernyit, ayahku masih penuh dengan keringat. Dia baru selesai lari 10 KM sepertinya.

"Lagi pengen diem aja, Yah," sahutku lalu kembali memalingkan pandangan ke arah lain.

Kupikir Ayah akan mengabaikan putra sulungnya lalu masuk kembali ke dalam rumah. Ternyata Ayah menghampiri aku dan duduk di sebelahku. Kami sama-sama duduk di teras, menatap beberapa tanaman di halaman belakang ini.

"Tumben bolanya kamu cuekin? Biasanya tuh bola udah jalan-jalan ke semua ujung halaman," kata Ayah.

Aku mendengus, tertawa pelan. Ayah memang masih garing. Mana bisa bola jalan-jalan. Aku paham sih maksudnya, bahwa kalau pagi hari ini biasanya aku sudah menendang bola dari ujung taman ke ujung lainnya. Seisi taman ini jadi milikku seorang untuk latihan futsal. Tidak ada yang berani menghampiri karena semuanya paham aku ingin waktu sendiri dan mereka pun punya urusan masing-masing. Mama Denza membuat sarapan dan beres-beres rumah dibantu Raleine, Ayah olahraga dan nanti membantu mencuci pakaian atau mobil, aku latihan. Namun untuk pagi ini aku malah duduk termenung.

"Mungkin karena Gio sedang patah hati?"

Ada suara lain yang menginterupsi komunikasi aku dan Ayah. Kami sama-sama menoleh ke belakang dan melihat Mama Denza berdiri di pintu. Wajahnya terlihat prihatin dan menahan senyum. Mengingat apa yang dimaksud Mama Denza, sekarang aku rasanya malu sekali.

"Patah hati?" Ayah terdengar tidak mengerti.

***

"Nira," aku maju selangkah. "Bolehkah aku minta nomor telepon kamu?"

Seluruh dunia seakan berhenti. Mama Denza tercengang, Nira kaget dan tertegun, ibunya tampak terkejut dengan senyum yang lama kelamaan mengembang. Sementara aku, membatu di tempatku berdiri.

Antrian Valet di belakang kami semakin panjang, begitu pula mobil-mobil yang akan dinaiki oleh pemiliknya. Pertanyaanku membuat langkah Nira dan ibunya terhenti, sehingga mereka tidak langsung memasuki mobil. Oleh karena itu orang-orang mulai penasaran dengan apa yang terjadi.

"Sorry. Anggap aja aku gak pernah nanya." Segera kulontarkan kata-kata itu yang membuat aku masih menyesal sampai sekarang.

Nira berhasil mengatasi kekagetannya dan kemudian mengangguk. Karena antrian semakin panjang dan orang-orang semakin tidak sabar, Nira akhirnya mengangguk. Dia tersenyum sedikit dan segera memasuki mobilnya tanpa mengatakan apa-apa. Aku pun hanya bisa menelan ludah saat Tante Risa menatapku, lalu masuk ke dalam mobilnya.

***

"Oh," kata Ayah saat aku selesai bercerita.

Kemudian hening antara aku, Ayah, dan Mama Denza.

"Tapi bukannya kamu ngobrol lama sama ibunya Nira? Kalian tukeran nomor HP?" Ayah berkata kepada Mama Denza. Mendengar kemungkinan itu, aku menatap Mama dengan penuh harap. Kemungkinan yang tidak aku pikirkan karena aku terlalu terpuruk dalam kesedihan.

"Iya, aku punya nomor HP Teh Risa," kata Mama Denza. Jawabannya membuat harapan membuncah di dadaku. "Aku belum tanya apakah boleh minta nomor HP Nira. Tadi malam kan acaranya selesai cukup larut. Agak gak sopan kupikir, untuk orang yang baru kenal, untuk kontak lagi."

"Atau..."

Ada suara lain dan ternyata adik perempuanku ikut dalam pembicaraan.

"Kalau Mama gak berhasil dapat dari Tante Risa, aku bisa coba tanya El Nathan," kata Raleine dengan penuh semangat dan senyum penuh arti.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang