Empat Belas - Nira

4.8K 779 99
                                    

"Kamu jangan ngelamun aja, nanti kesambet," ucapan A Rasyid menyadarkan aku dari lamunan untuk kembali ke dunia nyata.

"Eh? Eh? Nggak ngelamun kok," Aku mengibaskan tanganku lalu mengambil pisang goreng yang sudah dibuat oleh Wa Hana. Hari ini aku sedang bermain di rumah Uwakku, Wa Gani dan Wa Hana. Sudah menginap sejak Jumat malam karena di rumah tidak ada siapa-siapa. Ayah seperti biasa. Bubu sedang syuting di luar kota selama 3 hari, Nathan ada pelatihan selama akhir pekan di tempat latihan Karatenya. Jadi aku mengungsi ke rumah Wa Gani di Bogor. Pagi ini aku sedang nongkrong di luar sembari memperhatikan kakak sepupuku mencuci mobil.

"Masa? Buktinya ada lalat terbang-terbang, kamu gak sadar," A Rasyid tertawa. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepertinya tidak ada lalat.

"Tapi A, emangnya di sini pernah ada yang kesambet ya?" Mendadak bulu romaku berdiri. Agak ngeri juga kalau benar apa yang diucapkan A Rasyid.

"Nggak. Aman kok di sini," A Rasyid mencuci tangannya lalu menghampiri aku. "Suapin dong."

Aku mencomot satu buah pisang goreng dan menyuapkannya ke mulut A Rasyid. Dia mengunyah satu buah pisang itu sekaligus, membuat aku terbelalak. Kemudian dia duduk di kursi kosong lainnya, mengelap tangannya yang basah ke celana pendeknya, lalu menguap.

"Masih pagi meureun," kataku meledek.

A Rasyid tertawa lagi. "Udah kerja mah kalau weekend bawaannya ngantuk, Ra. Senin sampe Jumat berangkat subuh, pulang malem, tidur cuma bentar. Belom lagi kalau ada kerjaan yang masih harus dikerjain. Jadi Sabtu Minggu teh bawaannya pengen istirahat. Lama-lamain tidur kalau perlu."

"Atuh kenapa gak ngekos aja di Jakarta, A? Bolak-balik Jakarta Bogor kan lumayan?" Aku memiringkan kepalaku. A Rasyid sudah 2 tahun bekerja di Jakarta namun tetap tinggal di Bogor bersama orang tuanya.

"Kasian Mama kalau aku ngekos. Papa masih aktif kerja. Mama di rumah aja. Kalau gak ada aku teh makin sepi. Jadi gak apa-apa lah. Masih kuat kok. Cuma ya kalau weekend begini aja, anaknya banyakan pelor. Nempel, molor." Aku dan A Rasyid sama-sama tertawa.

"Iya sih, Wa Hana pasti lebih seneng kalau rame," Kuanggukkan kepalaku berkali-kali.

"Ngomong-ngomong, kamu kenapa nginep di sini? Di rumah sepi?"

Oh iya, aku sampai di Bogor sebelum A Rasyid pulang ke rumah. Sepertinya A Rasyid pulang larut karena sampai aku tidur, aku masih belum bertemu dengannya. Baru tadi pagi kami bertemu saat mau mengambil wudhu dan baru sekarang kami benar-benar mengobrol.

"Iya, Ayah sama Bubu ke luar kota, Nathan ada acara karate. Mbak Iis juga jadinya pulang kampung aja. Aku ngungsi ke sini."

A Rasyid menganguk dan mulutnya melingkar tanpa suara.

"Ke Jakarta lagi kapan?" tanya A Rasyid sambil mencomot pisang goreng lainnya.

"Besok malem mungkin kalau Nathan udah pulang juga," Aku mengangkat bahu. Sebenarnya aku sudah bawa seragam juga kalau-kalau lebih baik berangkat ke Jakarta hari Senin dan langsung ke sekolah.

"Sendiri apa dijemput?"

"Belum tahu. Sendiri juga gampang lah," kataku, mengibaskan tangan. "Terus nanti siang Abah sama Ambu mau ke sini juga kata Wa Gani. Jadi di sini bakal rame. Horee!"

A Rasyid kembali tertawa. "Tumben. Biasanya kami yang ke sana,"

"Begitu aku sampe kemarin, aku nelepon Ambu. Kata Ambu, nanti ke sini aja. Udah lama juga gak jalan-jalan ke luar," Aku mengingat kakek dan nenekku yang keduanya sudah pensiun namun masih alhamdulillah sehat. Setelah pensiun, Abah dan Ambu membuka warung nasi dan kelontong. Lumayan untuk mengisi waktu luang mereka, katanya.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang