Tiga Puluh Empat - Gio

4.9K 834 91
                                    

Tidak ada orang yang tahu akan jadi seperti apa masa depan mereka berjalan. Aku salah satunya. Setelah Nira menolak secara halus perasaanku dan memintaku menunggu, kami kembali ke menjadi teman biasa.

Dia baru saja memulai perannya sebagai mahasiswi. Sebagai orang yang berusaha keras untuk mencapai tujuannya ini, Nira benar-benar sibuk di kampus. Kuliah, mengerjakan tugas di kampus, ikut organisasi dan kepanitiaan. Dia sampai di rumah hampir pukul sembilan malam setiap harinya. Kadang dia membawa mobil sendiri (ya, Pak Zaid akhirnya mengijinkan Nira memiliki kendaraan sendiri. Sementara Mang Udin lebih banyak menyupiri Tante Risa atau Nathan), kadang dia berjibaku di kereta, kadang aku menjemputnya dari kampus, dan meski menyebalkan mengakuinya, Ditto juga sesekali mengantar-jemput Nira dari rumah ke kampus dan sebaliknya.

"Kali ini pulang malam kenapa?" Tanyaku setelah menaruh sebotol teh di hadapannya. Kami makan malam terlebih dahulu sebelum mengantarnya ke rumah.

Nira menelungkup di meja, menyembunyikan wajahnya, suaranya jadi terdengar berdengung.
"Abis brainstorming buat kepanitiaan. Pusing banget mikirin konsep. Lebih pusing lagi waktu Project Officernya terus minta aku masukin proposal ke Sudharma Corp."

Aku tidak langsung bereaksi. Yah... memang akan ada saja yang memanfaatkan koneksi seperti ini.

"Padahal aku gak bilang apa-apa kalau aku kenal sama yang punya Sudharma Corp. Aku juga kalau kenalan gak sebut nama belakang aku."

Diam sejenak sebelum aku terkikik. "Kamu bukan sekedar kenal, kamu anaknya."

Nira mengangkat wajahnya lalu mengibaskan tangannya. "Mereka tahu dari mana ya?"

"Jangan terlalu naif. Wajah kamu muncul di sosial media Pak Zaid dan Tante Risa. Orang ya langsung familiar."

Nira cemberut. "Iya juga. Tapi yang aku gak suka tuh, jangan segitu maksanya dong. Kan jadi kesannya kayak nepotisme. Kalau mau ajukan proposal, ajukan aja kayak biasa, dengan konsep yang bagus, dengan presentasi yang meyakinkan. Nanti pun aku bantu kok."

"Betul. Kamu sudah bilang itu ke mereka?"

Sekarang dia diam. "Belum. Aku takut dibilang gak sopan. Tadi aku masih cengengesan aja."

"Nanti bilang ya. Jangan takut kalau kamu yakin benar. Nih diminum tehnya. Dingin, biar pikiran dan badan kamu juga dingin." Aku mengulurkan minuman dalam botol itu lebih dekat ke arah si mahasiswa baru. Dia masih saja tidak ada bedanya dengan saat aku mengenalnya dulu.

Wajah polos tanpa make up, rambut hitam legam dan tebal yang lurus, mata yang besar, wajah yang ekspresif.

"Kerjaan kamu gimana?" Ganti, Nira yang bertanya.

"Biasa saja," jawabku. Tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Semua aktivitasku terkait pemrograman, komputer, project.

"Lagi gak lembur?"

Sebulan awal Nira masuk kuliah, hampir setiap hari aku lembur. Jadi tidak bisa menjemputnya dari kampus. Sekarang hanya dua atau tiga hari aku lembur.

"Sesekali aja. Project lagi gak ketat jadwalnya."

"Gi, kamu gak capek apa?"

"Apanya?"

"Jemput aku begini? Kantor kamu di Sudirman. Kampus aku di Depok. Seharian kamu kerja. Terus dari Sudirman naik motor ke Depok, gila itu pasti macetnya kayak apaan. Terus anter lagi aku ke Jakarta. Badan kamu gimana?"

Aku tertawa dulu sebelum menjawab pertanyaannya. Rupanya itu membuat dia sebal. Nira sekarang manyun. Karena begitu menggemaskan, jadi kucubit pipinya.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang