Sembilan Belas - Nira

4.6K 914 154
                                    

Bangun pagi kali ini, semuanya terasa berbeda. Kepalaku memang masih terasa sedikit pusing tapi tubuhku sudah tidak panas dan pegal sama sekali. Sungguh perasaanku jadi lebih tenang dan senang pagi ini. Setelah membaca doa bangun dan mengulet beberapa kali, aku mengecek ponsel sembari memijat pelipis. Sudah pukul 7 rupanya. Tidak masalah. Sekarang hari Sabtu dan aku masih datang bulan (seharusnya sudah selesai), jadi tidak apa-apa kalau bangun siang.

Di ponsel itu juga ada tiga chat yang muncul.

Vanilla Putri Pandanwangi: Gimana kondisi? Udah sehat? Kalau masih sakit, aku sama Mama dan Papa mau ke sana.

Arditto Rega Danuredjo Pacar ♥: Nira, udah mendingan? Aku khawatir sekali. Hari ini aku ke rumah kamu ya? Kamu mau dibawain apa?

Giorgino Ernandah Wiradilaga Siregar: Selamat pagi. Jangan lama-lama sakitnya. Nanti Teddy sedih gak ada yang ajak main.

Giorgino Ernandah Wiradilaga Siregar sent you a picture.

Karena Gio menyebut nama Teddy, maka chat dari dialah yang pertama aku buka. Rupanya dia mengirimkan foto Teddy yang sedang menunduk. Aku tertawa geli. Gimana bisa Gio 'berkenalan' dengan Teddy? Kualihkan pandangan ke sekitarku. Sepertinya Teddy tertinggal di bawah.

Iya, iya. Aku udah mendingan kok. Gak panas dan gak pegel. Pusingnya masih ada sedikit. Makasih ya!

Setelah membalas chat Gio, barulah aku membalas chat Vanilla dan Ditto. Keduanya kupersilakan kalau mau mampir. Mungkin aku bisa lebih cepat sembuh kalau bertemu dan bercengkrama dengan sahabat dan pacar.

"Kak?"

"Bubu! Aku udah sehat!" Kugerakkan tanganku ala Popeye.

"Hush, jangan motah. Bisi karugrag," Bubu mengeluarkan logat Sundanya lalu masuk ke dalam kamar. Bubu meletakkan tangannya di keningku dan mengangguk-angguk. "Mau sarapan apa?"

"Nasi goreng dong!" seruku bersemangat.

"Oke oke," Bubu tertawa. "Hari ini Bubu dan Ayah mau ajak Nira dan Nathan keluar ya."

"Eh? Kemana?"

"Ikut aja," Bubu tersenyum misterius.

"Tapi Vanilla sama Ditto mau ke sini,"

"Bilang sama mereka, besok aja. Hari ini ada urusan penting. Oke?"

"Baiklah..." Aku harus segera mengabari mereka berdua kalau begitu.

"Nah, kalau beleknya udah bersih, yuk turun buat sarapan. Abis itu mandi dan kita berangkat. Oke?"

"Siap!"

***

Di meja makan tadi hanya ada aku, Bubu, dan Nathan yang sarapan. Aku tidak bertanya kenapa Ayah tidak ikut sarapan. Aku juga tidak peduli. Aku masih belum bisa menerima Ayah dekat-dekat aku setelah aku mengakui mengetahui rahasia Ayah. Lagipula, bisa-bisanya Bubu tenang saja mengetahui hal itu. Ingin aku tanya bagaimana tanggapan Bubu tapi aku sungguh takut. Takut kalau Bubu akan menangis. Takut kalau kemudian Bubu mengakui bahwa dia tahu apa yang dilakukan Ayah. Takut juga ternyata Ayah dan Bubu sebenarnya ingin berpisah. Aku gak siap. Meskipun aku tidak bisa menerima kelakuan Ayah, gagasan orang tuaku berpisah rasanya jauh sekali.

Tapi tadi Bubu bilang Bubu dan Ayah akan mengajak aku dan Nathan ke suatu tempat. Berarti seharusnya Ayah juga ikut ke dalam mobil kan? Kecuali Ayah berangkat dengan mobil lain.

Baru saja aku berpikir begitu, Ayah masuk ke dalam mobil dan duduk di depan. Bubu yang akan menyetir dan dia sudah siap sejak tadi. Aku dan Nathan berpandangan tapi tidak berani mengatakan apa-apa.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang