Dua Puluh Enam - Gio

3.4K 733 56
                                    

Menjemputnya hari ini mungkin sama seperti menjemput pasangan untuk pergi ke prom. Begitulah cerita yang kudengar dari orang-orang. Berdandan rapi, menyiapkan kado kecil untuk sang pasangan, dan menunggunya keluar dari rumah. Saat prom dulu, aku memilih datang sendiri. Aku tidak punya pacar dan tidak berniat mencari pasangan untuk diajak ke Prom Night.

Hari ini, lain dari biasanya jika aku pergi dengan Nira. Aku memberanikan diri menjemputnya ke rumah, setelah biasanya hanya janji bertemu di suatu tempat. Kalaupun aku datang ke rumah mewah ini, ya hanya memang untuk bertemu di rumahnya. Karena itulah momen hari ini jadi sangat berbeda. Entah apa yang membuat aku yakin untuk menjemputnya di rumah. Nira sebenarnya tidak keberatan. Aku yang selalu deg-degan kalau datang ke rumah ini. Siapa lagi penyebabnya selain Bapak Zaid Sudharma?

Aku sampai di rumah Nira dengan penampilan lain dari biasanya. Security sudah mengenali wajahku sehingga tidak perlu menanyakan apa keperluanku. Walaupun ekspresinya tetap bertanya-tanya karena perbedaan itu.

Belum selesai aku memarkir kendaraan, orang nomor satu sekaligus paling utama di rumah ini, muncul. Untuk suasana hari Minggu, penampilannya sangat rapi. Beliau berdiri menjulang di depan rumah dan menatap ke arahku dengan begitu intimidatif.

"Selamat pagi, Pak Zaid," sapaku kepada beliau, mencium tangannya.

"Pagi," balas Pak Zaid dan langsung memasukan tangannya lagi ke dalam saku. "Mobil siapa?"

Aku menoleh ke belakang. Iya hari ini aku membawa mobil, bukan motor seperti biasanya. Ini mobil Ayah. Bisa kupakai karena Ayah dan Mama sedang liburan berdua. Raleine menginap di rumah Tante Anja sejak kemarin. Jadi mobil bisa kupinjam.

"Punya ayah saya, Pak," jawabku sopan.

"Ayah... Gak perlu kayak orang KPK gitu deh." Nah, terdengar suara menyejukkan dari belakang Pak Zaid. Nira muncul dari dalam, diikuti ibu dan adiknya. "Halo."

Senyumku terpasang lebar tanpa perlu kurencanakan. "Halo," aku membalas sapaannya. Bisa kupastikan wajahku seperti orang bodoh, karena Pak Zaid kemudian mendengus.

"Selamat ya Gio untuk gaji pertamanya," sapa Tante Risa. Seperti biasa, Tante Risa selalu tampil cantik dan ramah. Apalagi sekarang beliau memakai kebaya. Ugh, memang orang tua Nira ini tampak menyilaukan sekali.

"Terima kasih, Tante." Supaya tidak bermaksud tidak sopan, aku mencium tangan Tante Risa segera.

"Jadi mau ke Kota, Bang?" Sekarang Nathan yang nimbrung. Dia juga berpakaian rapi, senada dengan ayahnya.

"Rencananya begitu," Aku mengangguk, melirik Nira untuk persetujuan.

Nira juga mengangguk. Dia mengenakan ripped jeans, kaus longgar tanpa lengan bergambar harimau, sneakers, dan tentu tas kecil favoritnya. Di tangannya ada sebuah jaket. Penampilanya bertolak belakang dengan pakaian rapi keluarganya.

"Apa Pak Zaid, Tante Risa, dan Nathan mau pergi ke suatu acara?"

"Iya. Ada undangan ulang tahun pernikahan salah satu rekan kami. Harusnya Nira juga ikut," jawab Pak Zaid. Beliau menjawab pertanyaanku tapi matanya menatap Nira.

Nira hanya menggeleng. "Aku pergi dulu Yah, Bu." Segera dia menarik tangan orang tuanya dan mencium tangan mereka. Aku mengikuti jejaknya dan segera menuju mobil. Menghampiri Nira yang celingak celinguk.

"Untuk hari ini aku bawa mobil Ayah," ujarku sebelum Nira bertanya.

"Oh. Om Javas kemana memang?" tanya Nira sambil membuka pintu mobil dan duduk di dalam.

"New Zealand sama Mama," jawabku dan mulai menyalakan mobil. Perlahan mobil keluar dari pekarangan rumah Nira dan meluncur di jalanan ibu kota. Kami berdua sama-sama diam. Aku yang fokus menyetir dan Nira yang entah sedang memikirkan apa.

"Nira," panggilku.

"Ya?"

"Coba buka dashboard," kataku tanpa melihat Nira.
Nira tidak bertanya dan langsung membuka dashboard. Di sana muncullah kado yang aku persiapkan untuknya. Tidak perlu repot-repot membungkusnya kali ini. Kata Raleine--yang membantuku membelinya--benda itu sendiri sudah lucu sehingga tidak perlu dibungkus lagi.

"Pouch aja sih. Hehehe," kataku.

Nira mengambil benda tersebut dan menimang di tangannya. Ketika kulihat, wajahnya tampak bingung tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. Apakah dia tidak suka?

"Kalau kamu renang, itu bisa dipake buat alat mandi atau make up. Hmm, itu usul Raleine sih," kutambahkan supaya dia tidak perlu bingung.

"Thanks, Gio. Nanti aku pakai," Nira kembali tersenyum. Dengan hati-hati dia memasukkan pouch itu ke dalam tasnya. Tas itu memang terlihat kecil tapi sepertinya memuat banyak barang.

It seems like a dream. I thought we were a real couple. Why can I say that?

Nira selalu terlihat ceria sejak kami turun dari mobil dan mulai berwisata. Mengunjungi museum-museum, mencoba mengelilingi Kota Tua dengan sepeda, membeli berbagai jajanan yang tersedia. Dia tidak ragu menarik tanganku ke sana dan kemari. Sesuatu yang jarang dia lakukan selama ini. Dia bahkan memintaku foto bersama dengan dirinya dilatarbelakangi Museum Fatahillah.

Bahkan saat kami makan siang, dia tidak ragu untuk menyuapiku beberapa suap. Sungguh tidak sehat untuk jantungku.

Siang berganti sore dan matahari hampir tenggelam ketika akhirnya kami memutuskan untuk duduk-duduk di Cafe Batavia. Meski panas menyengat dan keringat sempat mengucur deras, Nira tetap terlihat ceria dan selalu cantik.

Tuhan, kapan aku bisa menikmati waktu dengannya terus seperti ini tanpa harus merasa bersalah? Dia masih punya pacar dan di sini aku hanya temannya. Semakin sering kami berinteraksi, aku takut semakin tidak bisa menahan diri dan semuanya jadi masalah.

"Gio,"

"Ya?"

"Terima kasih ya," Nira duduk tegak menghadapku dan tersenyum. Posisinya sepertinya terlalu kaku.

"Iya sama-sama. Lain kali kita bisa ke sini lagi..."

Nira tersenyum namun menggeleng.

"Kita berhenti ya," ujar Nira.

Mulutku menganga. Aku tidak salah dengar kan?

"Maafin aku. Aku tahu kamu suka sama aku, kamu pernah bilang. Tapi kamu juga tahu bahwa aku punya pacar. Lalu kita memutuskan untuk tetap temenan. Semakin lama, aku pikir ini salah. Kita gak seharusnya seperti ini. Aku takut bahwa semakin lama, aku bisa ngasih harapan ke kamu dan hubungan kita lebih dari sekedar teman, tanpa kita sadari. Aku gak mau seperti itu, aku gak mau mengkhianati Ditto. Aku gak mau kita bertiga punya masalah."

Shit. Aku hanya bisa mengumpat dalam hati.

"Di sisi lain, aku sebentar lagi akan ujian masuk universitas. Kamu tahu cita-citaku seperti apa. Jadi aku mau fokus ke sana. Aku gak bisa fokus ke kuliah kalau pikiranku masih bercabang ke sana ke sini. Ke rasa bersalah dan gak nyaman yang timbul setiap interaksi kita."

Rasanya jantungku copot dan menggelinding entah ke mana.

"Kamu gak nyaman sama aku?"

Nira menatapku dengan matanya yang besar. Kemudian dia tertunduk dan memainkan tali tasnya.

"Maaf. Aku hanya mau fokus ke prioritas lain dalam hidup aku. Kamu mungkin bakal kesal dan benci sama aku. Aku gak akan menyalahkan kamu. Aku hanya minta kita sudahi sampai di sini. Kita memang gak punya hubungan apa-apa, tapi, entah kenapa.... aku rasa tetap ada yang harus disudahi." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Nira menunduk.

Aku memajukan tubuhku dan mengulurkan tangan untuk mengambil perhatian Nira.

"Jadi kamu di sini."

Aku dan Nira mendongak. Ditto berdiri di antara kami.

***

Surprise surprise!!!
Follow IG aku: (at)amysastrakencana

Anyway, I Could Get Used To You akan republish di Wattpad sama persis seperti pertama dipublish (termasuk notes dari aku).

-Amy

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang