Enam - Nira

4.5K 659 26
                                    

Sudah dua bulan aku sekolah di bangku SMA. Aku sudah mengikuti seleksi OSIS dan sekarang sedang menunggu pengumuman apakah aku diterima atau tidak. Ditto juga sama seperti aku, menunggu apakah dia diterima sebagai pengurus OSIS. Di samping menunggu perihal OSIS, baik aku, Ditto, ataupun Vanilla, sudah cukup disibukkan dengan aktivitas kami lainnya. Vanilla langsung berkutat di ruangan Science Club begitu bel pulang sekolah berbunyi. Biasanya dia akan ada di sana hari Senin, Rabu, dan Kamis. Setelah itu dia pulang ke rumah dan belajar. Ditto, dia latihan basket setiap hari Selasa dan Jumat. Walaupun dia masih kelas 1 SMA, tapi posturnya yang tinggi membuat Ditto benar-benar mencolok di antara para anggota baru ekstrakurikuler basket. Ditto juga disibukkan dengan aktivitasnya di English Debate Society yang untungnya punya jadwal berbeda dengan basket, yaitu hari Senin dan Rabu. Hanya hari Kamis Ditto punya waktu kosong. Sesuatu yang tidak membuat dia senang juga karena hari itu baik Vanilla maupun aku, sibuk dengan ekstrakurikuler kami. Ekskul renangku mengambil waktu latihan di hari Senin dan Kamis. Hampir setiap hari Selasa, aku memaksa Vanilla untuk bermain denganku. Entah kami menonton film, window shopping ke mall, atau sekedar nonton film di rumahku atau rumahnya.

Hari ini hari Selasa dan aku sedang menyeret Vanilla untuk datang ke rumahku, mencoba membuat sushi. Aku sedang ingin makan masakan Jepang tapi Vanilla sedang tidak mood untuk makan di mall. Jadilah aku nekat membeli bahan masakan melalui aplikasi dan mengajak Vanilla untuk bereksperimen di rumah.

"Aku cari cara bikin sushi dulu ya di Youtube," ujar Vanilla sambil membetulkan gagang kacamatanya.

"Oke," Aku yang tidak biasa memasak—lebih sering membantu—duduk di salah satu kursi sembari menyangga dagu dengan tangan. Baik aku maupun Vanilla sudah berganti pakaian menjadi kaus dan celana pendek supaya acara memasak kami jadi lebih mudah.

"Mau Mbak bantu?" Mbak Iis muncul dari halaman belakang. Tadi sepertinya Mbak Iis sedang bersih-bersih.

"Boleh,"

"Gak usah,"

Aku dan Vanilla berpandangan atas jawaban kami yang berbeda. Aku bilang boleh, Vanilla bilang gak usah. Aku nyengir sementara Vanilla menggeleng.

"Kan kita katanya mau masak?" Vanilla mengkonfirmasi.

"Tapi kalau Mbak Iis mau bantu, gak apa-apa banget kan?" Aku menggerakkan kedua alis untuk merayu Vanilla supaya setuju dengan ideku.

"Ya udah, Mbak aja yang bikin ya. Dulu udah pernah juga waktu Dek Nathan minta buat bekal." Mbak Iis dengan cekatan langsung melongok bahan-bahan yang aku beli. Vanilla akhirnya menyerah dan melangkah mundur.

"Hore! Mbak Iis dabes!" Aku bergoyang-goyang di kursi.

"Kita siapkan alat makannya aja yuk," Vanilla sekarang bergeser ke lemari. Mencari piring dan segala macamnya.

"Siap!" Aku melompat turun dari kursi dan menghampiri Vanilla. Kami memilih piring, sumpit, dan mangkuk kecil untuk kecap asin dan wasabi.

Ting tong.

Mbak Iis langsung sigap mengelap tangannya untuk menyambut tamu entah siapa tersebut. Namun aku memegang tangannya dan menggeleng. "Aku aja yang buka pintunya, Mbak."

Tanpa menunggu Mbak Iis setuju, aku melompat-lompat menuju pintu depan. Pasti seseorang yang sudah dikenal namun belum terlalu akrab karena dia sudah diijinkan melewati pagar depan namun masih harus membunyikan bel untuk masuk ke rumah utama. Siapa ya? Aku bertanya-tanya. Rasanya siapa pun tidak sedang menunggu tamu. Kalaupun tamu untuk Bubu atau Ayah, pasti mereka akan mencari ke kantor.

Saat aku masih menerawang dan mengelus daguku sembari berpikir, aku mengulurkan tangan untuk membuka pintu. Terjawab sudah pertanyaanku mengenai siapa yang sekarang sedang datang berkunjung. Sungguh sosok yang tidak terduga karena seharusnya dia mengerjakan hal lain.

Seluas Harap Terbentang - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang