Sesuai ucapannya kemarin lalu ternyata Matahari menepati janjinya untuk datang kembali ke ke rumahnya menghadap sang ayah.
"Minum tehnya nak," ajak Bumi mengangkat segelas tehnya di hadapan anak muda itu.
"Iya, paman. Terimakasih."
"Terimakasihlah kepada Bulan karena dialah yang menyeduhnya untuk kita, hahaha." Bumi tertawa pelan membuat Matahari jadi ikutan tertawa.
Sembari menyesap teh Bumi mengamati lelaki itu secara diam-diam.
"Paman, mungkin Bulan sudah membicarakannya perihal kedatangan saya kemari ingin mengajak anak Paman pergi keluar bersama saya. Apakah diperbolehkan?" pintanya sesopan mungkin setelah meletakan gelas teh itu ke meja.
"Apakah kau bisa menjamin Bulan untuk dikembalikan kepada saya dalam keadaan sehat tanpa luka dalam bentuk apapun itu?" tanya Bumi santai. Katakanlah bahwa Bumi terlalu berlebihan pada anaknya. Padahal hanya diajak bermain bukan menikah tapi sikapnya sudah demikian. Dia hanya tidak ingin anak kesayangannya terluka. Itu saja tidak lebih. Apalagi baru pertama kalinya seorang lelaki mendekati Bulan. Tentu saja seorang ayah akan khawatir, bukan?
Dalam diam Matahari sangat terpana akan sosok ayah yang dimiliki Bulan ini. Seorang ayah amat menyayangi anaknya. "Iya, Paman. Selama Bulan bersama saya. Saya akan menjaga dan melindunginya semampu mungkin. Bulan aman bersama saya," jawabnya mantap.
"Baiklah, saya mengizinkan kalian berdua pergi bersama," putusnya membuat Matahari tersenyum lega.
"Tapi bukan untuk kali ini saja. Jika besok atau hari selanjutnya saya ingin mengajak putri anda bermain bersama saya. Apakah diperbolehkan? Apakah saya harus meminta izin selalu seperti ini kepada anda?" tanyanya.
Bumi tertawa pelan mendengarnya. "Haha, tidak juga. Seperti apa saja. Untuk ke depannya saya memperbolehkan kau berteman dekat dengan anakku. Tidak salahnya jika aku mempercayaimu, bukan? Maka dari itu kau jangan membuatku kecewa karena tidak akan ada kesempatan untuk kedua kalinya jika kau mengingkarinya."
"Baik, Paman. Percaya kan putri malu anda kepada saya, hehe."
"Putri malu?" beonya.
"Ya, putri anda itu sangat pemalu. Maafkan saya yang telah mengatainnya."
"Haha, itu bukan hinaan tapi fakta." Keduanya tertawa bersama. Melanjutkan obrolan ringan sampai Bumi berangkat kerja.
"Bukankah diriku ini begitu hebat karena telah berhasil meminta izin pada Ayahmu, Bulan? Ayo puji aku." Matahari mendekapkan kedua tangannya depan dada.
"Ya, ya, yaaa kau begitu hebat Matahari." Bulan memutar bola matanya. "Omong-omong kita mau ke mana?"
"Aku akan membawamu ke suatu tempat dimana ada sebuah kejutan untukmu."
"Kejutan?"
"Ada hadiah kecil untukmu di sana dari aku sebagai tanda awal mulanya pertemanan kita." Matahari mengedipkan sebelah matanya membuat Bulan menggelengkan kepala.
"Wah, aku tidak sabar melihatnya. Apakah itu?" kata Bulan.
"Ayo kita masuk ke sana." Matahari menarik lengan Bulan untuk mendekat padanya. Lalu dia merangkul bahu Bulan berjalan bersebelahan tidak seperti sebelumnya di mana Bulan mengekorinya di belakang. Sontak saja perlakuan kecil dan tiba-tiba itu mampu membangunkan jantung gadis itu untuk berdetak lebih cepat dari biasanya.
Sesekali Bulan mencuri pandang pada tangan Matahari yang merangkulnya dengan akrab. Sungguh, Bulan tidak menyangka ini bisa terjadi. Mimpi ketimpuk apa dirinya semalam?
"Woaaah!" Bulan menatap takjub pada pandangan di depannya.
"Kau suka?" tanya Ata.
"Suka sekali. Dari mana kau mendapatkan ide kejutan ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gloomy
Teen FictionPs: Remaja 15+ ( Terdapat konten kekerasan ) *** Kebanyakan orang berpendapat bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah dan sulit untuk dilupakan. Namun, bagi seorang Bulan Purnama masa SMA adalah masa yang paling menyakitkan dan tak ingin dikena...