~Keesokannya~

244 23 1
                                    

Jinga sepertinya masih tidak terima dengan kejadian kemarin. Lihat saja hari ini dia selalu menjahili Revie serta dua orang  itu. Tak jarang juga fisik kembali jadi bahan omongannya.

Revie tahu alasan mengapa Jinga sering membully dua orang itu. Dia mulai paham. Mungkin karena dua orang itu yang tidak hits, berotak lemot ketika saat pembelajaran, pendiam, fisiknya yang buruk. Kasarnya mereka itu idiot.

Makanya dibenci dan menjadi bulan-bulanan teman kelasnya.

Apapun yang mereka lakukan pasti diledek.

Kemarin-kemarin dua orang itu yang terang-terangan dibully sekarang bertambah satu, yaitu Revie.

Itu semua karena ulah Jinga jadi yang lain pada ikutan.

Katanya seru.

He! Bahagia di atas penderitaan orang lain.

Pasti masa kecilnya memprihatinkan.

Sampai melihat orang menderita saja bahagia sekali.

Sebenarnya tadi saat pembagian kelompok dirinya merasa sangat tersingung sekali. Karena tidak ada yang mau menunjuknya untuk masuk ke dalam kelompok mereka. Alhasil dia berada di satu kelompok terakhir yang isi anggotanya adalah orang-orang buangan yang tidak terpilih.

Revie akui bahwa dia memang buruk sekali di mata pelajaran olahraga. Semuanya dia tidak menguasi. Selalu ditegur dan di marahi guru olahraga.

Tapi bukan bearti dia bodoh di seluruh mata pelajaran.

Sehingga tidak ada yang mau memilihnya.

Revie itu sebenarnya tidak bodoh. Dia kadang mudah menangkap pelajaran yang diberikan namun ketika ditanyai atau diperaktekan dia suka gugup yang akhirnya membuatnya blank dan lupa seketika.

Dia tidak berani tampil di depan banyak orang.

Praktek dia bisa dibilang kosong tetapi kalau teori dia bisa mencapai hasil yang maksimal.

Terlihat kalau sudah ulangan harian atau ujian, hasil nilainya bagus.

Pernah beberapa kali dia mendapat nilai unggul diantara yang lain.

Dulu sewaktu masa SD dan SMP saat rangking dia sering masuk sepuluh besar bahkan tiga besar. SMP pernah saat Try Out urutan namanya berada di angka empat karena nilai rata-rata dan hasilnya besar sesekolah itu. Diantara ratusan murid dan banyaknya kelas. Saat SMP juga nilai Bahasa Indonesia dan IPS nya selalu besar saat dibagikan lembar kerja yang hasilnya murni, belum ditambah dengan nilai-nilai lainnya. Serta nilai Matematika nya juga besar kata guru yang sedang merekap nilai empat mata pelajaran yang penting untuk dimasukan ke dalam SKHU sewaktu kelas sembilan.

Hanya SMA ini dia tidak pernah mendapatkan rangking lagi serta nilainya anjlok.

Bukan bodoh karena cinta, tapi bodoh karena dibully.

Beda halnya saat kelompok Matematika dibentuk. Dia yang sekelompok dengan orang yang otaknya standar serta malas. Membuat dia bekerja serta memikirkannya seorang diri. Dia yang membuat, dia yang harus menguasi materi tugas, dia yang harus mempresentasikan dan dia juga yang nantinya akan disalahin kalau ada sesuatu kesalahan.

Presentasi adalah momok paling menakutkan bagi seorang Introvert macam dia. Kalau bisa mau dihindari saja.

Tampil di muka umum, dihadapan banyak orang. Ya, walaupun teman kelas tetap aja bikin jantung sar-ser.

Tapi apaboleh buat mau tak mau dia harus maju.

Siapkan mental, fisik, batin dan hati.

Siap-siap ditertawakan.

Menyebalkan!

Memiliki patner kelompok seperti orang-orang itu.

Mau enaknya saja.

Musnahin!

***

Revie yang keluar dari toilet tidak sengaja matanya menangkap pemandangan di mana dua orang temannya lagi dikepung oleh Jinga dan teman dekatnya. Revie menyembunyikan dirinya dibalik tembok. Mengamati semuanya secara diam-diam.

Revie menggelengkan kepalanya dan mengucapkan istighfar mendengar umpatan kasar.

Dia memejamkan matanya sembari meringis kecil melihat Jinga dan kawannya menjambak rambut dua orang itu. Mulutnya menganga tak percaya.

Sebegitu buruknya kah mereka sampai tega memperlakukan mereka seperti itu?

Walau mereka jauh dari kata sempurna tapi ingatlah mereka juga manusia.

Punya hati dan perasaan!

Revie tidak tega melihatnya. Rasanya dia ingin cepat keluar saja dari pemandangan tak sedap ini.

***

Revie yang duduk dekat bersama Papahnya, merasa deg-degan. Pasalnya dia mau mengutarakan sesuatu padanya.

"Pah," panggilnya.

"Iya," jawab Ramli menutup leptopnya mendengar suara anak kesayangannya.

Revie menautkan jari telunjuknya di atas pangkuannya. Dia mulai meragu.

"Hmm, kira-kira kalau udah kelas dua belas boleh tidak ya pindah sekolah?" tanya Revie merunduk.

Ramli yang mendengar pertanyaan dari anaknya yang cukup aneh mengernyit sembari menurunkan kacamatanya sedikit. "Kamu kenapa nanya kayak gitu?"

Si Revie malah nyengir kuda. "Hehehe, jawab dong Pah."

"Papah yang nanya kamu malah menyuruh jawab," deliknya.

"Hehe kan Revie tadi yang nanya duluan," balasnya.

"Kamu mau pindah sekolah?" tanya Ramli langsung, melihat gelagat aneh anaknya.

"Mmmmmmm...." Revie tampak diam tak berani menatap mata Papahnya yang menyelidikinya.

"Kamu nggak betah sekolah di sana? Ada masalah? Kenapa baru sekarang ngomonginya? Ini beberapa bulan lagi mau ujian sekolah loh. Kenapa nggak sedari kelas sepuluh gitu ngomonginya?" ucap Ramli beruntun.

"Eh, he... Nggak jadi deh. T-tadi Vivie cuma iseng aja kok. Yaudah a-aku mau ke kamar dulu ya Pah. Assalamu'alaikum."

Setelah pamitan Revie langsung keluar dari kamar orangtuanya.

Ramli keheranan. Dia merasa ada yang tidak beres dengan kehidupan anaknya satu itu. Akhir-akhir ini juga dia sering memergoki Revie sering melamun, telat makan, dan tidak seceria dulu lagi---kalau di rumah. Beda halnya di luar anak gadisnya itu memang tertutup dan pendiam sekali.

***

Salken,

Novie_lix.

GloomyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang