~Jalan-jalan sama Pak Dokter~

275 27 0
                                    

Semenjak diagnosa DID yang membuatnya harus berkonsultasi ke psikiater. Revie merasa ada seorang yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Bahagia saat memiliki seorang yang dapat mengerti akan dirinya tanpa harus malu. Ya, dia malu. Teman dan orang sekitarnya menganggapnya "orang gila" atau "kerasukan setan" dan lebih parahnya lagi "psikopat" karena kejadian dimana dirinya yang ingin mencelakai Jinga di hadapan banyak orang.

Tidak ada yang mau mendekatinya kecuali keluarga. Jadi, jika keluar rumah, Revie suka memakai masker serta hodie yang menutupinya. Dia jadi semakin takut pada reaksi orang-orang. Terutama pada kaum pelajar.

Revie senang berkomunikasi dengan dokter Anggara. Orangnya baik, cara pandangnya berbeda, dan sangat sabar dalam menyikapinya membuatnya semangat dalam menjalani terapinya. Dengan begitu proses kesembuhannya akan berjalan baik.

Saat ini yang dilakukannya adalah menggunting kain dengan rapi. Membuat sebuah pakaian untuk perlombaan nanti. Harus semaksimal mungkin dan terindah. Ia ingin menampilkan yang terbaik. Revie tidak terlalu mengharapkan kemenangan hanya ingin menunjukan pada dunia bahwa ia punya bakat yang tidak semua orang punya.

Bukan kali ini saja ia mengikuti lomba desain, terhitung sudah empat kali dan ini yang kelima.

"Dek, kamu lagi buat apa sih?" Ridwan mengelus rambut adiknya.

"Pakaian."

"Oh, untuk lomba nanti?"

"Ya."

"Sekalian buat gaun untuk perpisahan kamu nanti juga ya?"

"Nggak."

"Loh kenapa nggak?"

"Nggak mau aja."

"Kenapa? Itu hari spsesial kamu loh."

"Bagi Revie B aja."

Ridwan menggelengkan kepala, "semua orang pasti paling ingin menampilkan yang terbaik untuk hari perpisahan nanti. Banyak yang membuat gaunnya secara khusus di butik. Lah kamu gimana? Kayak nggak ada persiapan gitu?"

"Beli aja nanti."

"Tapi kan kamu bisa buat sendiri itu lebih bagus dan istimewa loh saat dipakai sendiri nantinya."

Revie mendecak sebal mendengar celotehan Ridwan. "Selama itu berbau sekolah Revie nggak mau. Revie benci sekolah. Revie nggak mau buat hal yang berkesan di sekolah, untuk apa? Toh, Revie kan nggak mau mengingat tentang kenangan sekolah. Seandainya bisa Revie lebih milih nggak datang aja."

"Revie udah terlalu sakit hati sama orang-orang di sana," ucapnya pelan sembari menahan air mata yang mau menetes. "Revie benci. Dari dulu hingga sekarang. Semua sama. Selalu dibully. Dulu saat lulus dari SD Revie berharap tidak akan ada lagi bullyan. Ternyata salah. Sampai detik ini juga bullying masih menghantui kemana pun Revie pergi."

"Bullying! Bullying! Bullying!!!" jeritnya muak sendiri.

Ridwan tertegun mendengarnya, satu tangannya mengelus rambut adiknya lagi.

"Bang Revie capek dibully," ujarnya kemudian.

Ridwan langsung merengkuh tubuh mungil adiknya ke dalam dekapannya. "Sudah dek. Nggak usah dilanjuti lagi. Nggak usah diingat masa itu. Anggap aja orang itu telah tiada." diam-diam Ridwan menyeka air matanya yang turun.

Revie mengangguk.

***

Keluarnya dari ruangan putih itu. Revie menunggui sang dokter yang katanya ingin berbicara padanya.

"Revie."

"Ah, iya." sahutnya segera berdiri. "Ada apa ya Kak?" Revie merunduk ditatap oleh psikiater muda itu.

GloomyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang