~Hyperaktif~

204 20 0
                                    

"Pah."

"Ya sayang kenapa?" tanya Ramli yang sedang menonton berita di Tv.

Revie mengunyah keripik kentang dengan menggigitnya pelan. "Hm, pindah sekolah boleh?" tanyanya tiba-tiba membuat Romli terperanjat.

"Canda kamu ya sayang?" tanyanya tak yakin dengan ucapan Revie yang terdengar ngaco menurutnya.

"N-nggak kok," jawabnya gugup namun kesal juga karena ucapannya tidak dipercaya Papahnya.

"Kamu ada masalah dengan orang-orang di sana?" Ramli mematikan saluran chanel yang ditontonnya. Kini matanya tengah tertuju pada anak gadis pertamanya.

"Hm..." terdapat jeda. Aku dibully Pah. "Di sana materinya susah terus banyak tugas. Vivie pusing jadinya." alasan yang masuk akal juga.

Ramli menyungingkan senyuman kecil mendengarnya. "Sayang dengarin Papah. Kalau sekolah ya gitu banyak tugas. Kalau mau santai ya di rumah aja kamu nggak usah sekolah."

Raut wajah Revie tertekuk, "baiklah."

"Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari Papah atau keluarga ini, kan?"

"N-nggak," jawabnya cepat sembari meletakan makanan ringan yang dipegangnya ke sofa.

"Kamu biasanya nggak pernah ngeluh loh sekeras atau sebanyak apapun pekerjaan sekolah yang dikasih. Malahan kamu suka ngerjain tugas yang belum disuruh."

Eh?

Revie gelagapan sendiri mendapatkan pernyataan itu. Guna menyembunyikan rasa kegugupannya Revie merunduk sambil mengosok hidungnya sebentar.

Ramli yang melihat anaknya terdiam kembali mengajukan pertanyaan yang membuat anaknya mati kutu.

"Kamu dibully?" tanyanya telak.

"Ah, uhmm en-nggak kok," jawabnya terbata-bata.

"Kamu--" lelaki paruh baya itu menarik kepala anaknya dengan pelan. "Jujur sama Papah sayang."

Tiba-tiba saja Revie memeluknya membuat Ramli terjengit kaget.

Dirinya berusaha keras mencari alasan yang tepat agar bisa mengelabui Papahnya. Tapi apa?

Ramli mengelus rambut anaknya.

"Sebenarnya Vivie takut nanti kalau disuruh maju ke depan. Kan akhir-akhir ini hampir keseluruhan mapel ada kerja kelompok dan itu harus dipresentasikan. Vivie takut kalau mau maju ke depan. Vivie malu jadi pusat perhatian Papah," jelasnya tak semua bohong karena itu juga benar. Walau alasan utamanya yang paling terbesar adalah karena bullying.

"Oh, gitu." Ramli hanya meresponnya dengan singkat. Pikirannya dibayang-bayangi dengan semua pikiran buruk yang hinggap. Dia takut jika anaknya adalah korban bullying. Karena setahunya bullying itu sangat bahaya. Bisa menganggu psikis seseorang sampai parah. Semoga saja itu tidak, harapnya cemas.

Di dekapan Ramli, Revie sedikit bernapas legah Papahnya mempercayainya. Walau dia sendiri ragu akan hal itu.

Ramli melepaskan pelukannya, lalu tangannya meraih pipi anaknya. "Vivie anakku. Kamu adalah harta Papah yang paling berharga. Kamu adalah penyemangat hidup Papah. Kalau sesuatu buruk menimpamu Papah pasti sangat bersedih sayang. Kamu yakin bukan korban dari bullying lagi? Jujur sama Papah. Kalau itu terjadi..." Ramli menghela napas berat. Tatapannya berubah jadi sendu. ".... Papah tidak bisa memaafkan diri Papah sendiri nantinya nak untuk kedua kalinya."

"Nggak Pah, percayalah," ucapnya pelan. Dia berbohong. Hanya Allah dan dirinyalah yang tahu serta dua malaikat yang berada di sampingnya.

Rasanya Revie ingin menampar bibirnya yang tega membohongi Papahnya. Lelaki yang kedua matanya berkaca-kaca ini. Revie tidak kuat jika melihat Papahnya menangis.

GloomyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang