Bab 17

947 90 0
                                    

Ian mendengar keributan saat sedang membuang sampah di depan rumahnya. Jakarta masih macet sebagaimana lumrahnya, tapi sore itu, gang sempit yang ada di sebelah rumah Ian mengeluarkan suara-suara aneh. Lelaki itu bukan penakut dan yang pasti gelombang audio itu dipancarkan dari seorang manusia berjenis kelamin wanita. Langsung Ian bergerak dan menemukan sumber suaranya.

Di sana, seorang gadis berpakaian merah agak ketat sedang digoda oleh beberapa orang pria. Mereka memainkan rambut sang gadis yang sengaja dibuat keriting gantung. Gadis tersebut tampak risih dan panik. Tahu siapa yang sedang ia saksikan, Ian masih belum mau bertindak. Namun, tiga orang pria itu makin dibiarkan makin kurang ajar. Salah satu di antara mereka hampir saja melecehkan gadis tersebut. Segera, Ian turun tangan.

"Pergi kalian! Dasar nggak tau adab!"

"Siapa lo?"

"Pria pemabuk seperti kalian nggak pantes tahu siapa saya. Pergi atau saya laporkan kalian ke polisi atas tuduhan pelecehan terhadap gadis ini!"

Malas berurusan dengan yang namanya polisi, ketiga pria itu lari terbirit-birit. Meninggalkan Ian bersama dengan si gadis yang terlihat ketakutan.

Ian menghembuskan napas kasar, menghampiri gadis yang berjongkok memeluk lutut selagi menatap aspalan yang dingin.

"Bangunlah, mereka sudah pergi."

Tak ada sahutan, Ian merasa seperti berbicara pada patung. Yang terdengar hanyalah suara angin yang bertiup kencang hingga menimbulkan sebuah plafon yang menggantung di bagian samping rumah Ian roboh. Hampir mengenai gadis di depannya, namun berhasil Ian halau.

Sang bayu tiba-tiba bergerak semakin tak terkendali, situasi mendadak tidak kondusif. Tidak aman berada di luar, tampaknya hujan badai akan turun saat itu juga. Suara kaleng bekas yang menggelinding tercecer di jalanan pun akhirnya menyadarkan Ian bahwa gadis di depannya tetap tak berniat bangkit.

"Bodoh! Cepat bangun, atau kamu mau kehujanan di sini? Mati kedinginan seperti gelandangan?" maki Ian.

Gadis itu pun mendongak. Wajahnya terlalu pilu untuk ditengok. Ian membuang muka ketika sang gadis meraih tangannya. Lelaki itu pun tergerak untuk melepas kemeja kotak-kotaknya, lalu mengikatkan lengan kemeja tersebut pada pinggang si gadis.

"Ayo," ajak Ian.

***

"Nih, minumnya."

Ian duduk bersedekap di bagian sofa lain di ruang tamunya. Agak jauh dari posisi gadis berpakaian merah tersebut.

"Siapa suruh berpenampilan mencolok? Jakarta itu udah nggak dipenuhi orang-orang polos lagi. Masih perawan 'kan? Coba aja kalo aku nggak nolongin."

"Makasih."

"Buat apa keluyuran di sekitar sini? Pake baju yang seketat itu, cari mangsa siapa lagi selain paman?"

Ian tak bisa membendung berbagai rangkaian kata yang muncul di otaknya. Rasanya kesal, ia paling benci gadis yang berpakaian minim. Kemudian, saat digoda lelaki hidung belang, mereka seolah menjadi korban. Merengek meminta bantuan. Kalau cewek rusak, cowok yang dikambinghitamkan. Intinya, seorang gadis yang tidak bisa menjaga sikap dan penampilan juga sepatutnya dipersalahkan.

"Jovi, punya mulut 'kan?"

Gemuruh di langit menggelegar, mengikuti fenomena kilat yang menyambar-nyambar. Seketika, listrik di rumah Ian mati.

"Sial, pake mati listrik lagi!" umpatnya. "Heh, kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!"

Hening. Jovi alias Fio tak mendengar suara apa pun lagi. Gadis itu tersedu, diam-diam butir air mata mengalir mulus menuruni pipinya. Menyesal, kalau tahu pendapat Ian terhadap dirinya yang berpakaian minim sepedas itu, tentu ia mengurungkan keputusannya. Fio hanya ingin terlihat cantik di mata Ian, mempertontonkan sosok seorang Jovi yang menawan. Tapi ia salah, gara-gara perilakunya itu, malam ini ia hampir kehilangan sebongkah harga diri yang ia jaga.

Imperfection ✔ #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang