"Ma, kayaknya aku nggak bisa pulang ke rumah, deh, buat beberapa hari ke depan. Aku...."
Omongan Fio terpotong, akalnya tidak bisa membantunya kali ini. Tidak mungkin ia mengatakan kalau tak berani pulang dan belum sanggup mengahadapi kakak sepupunya yang kelewatan.
Fio menghembuskan napas beberapa kali, tampak frustrasi. Sementara, wanita paruh baya yang ada di seberang telepon dibuatnya bingung. Fio tak menjawab panggilan Miranda yang terus saja terucap dalam tempo cepat. Mamanya khawatir, semalam ia tahu putri satu-satunya tidak pulang ke rumah. Aaron yang melaporkannya.
"Fi? Kenapa, Sayang? Kok diem aja dari tadi?"
"Ah, itu ... kita ketemu aja ya, di kantor. Mama bisa kan ke kantor aku di jam makan siang?"
"Kenapa nggak di resto aja? Sekalian makan siang gratis, mama yang masakin menu spesial buat kamu."
Nggak bisa! Nanti bisa ketemu sama Kak Aaron!
"Jangan! Di kantor aja, Ma. Aku ... capek banget mau keluar kantor. Nggak papa, 'kan?"
"Ya udah, deh. Nanti mama ke kantor."
Fio mengulas senyum. Mamanya memang tak pernah bisa menolak permintaannya. Bisa dikatakan, Fio sangat mendapat perhatian Miranda. Sejak kecil, gadis itu dimanja olehnya. Namun, bukan berarti mendapat kasih sayang lebih, Fio tetaplah gadis yang mandiri—yang tak pernah meminta secuil harta pun dari orang tuanya. Ia memenuhi kebutuhannya sendiri kecuali tempat tinggal dan makan sehari-hari.
Sekarang masih pukul enam pagi, ada waktu sekitar satu setengah jam untuk gadis itu bersiap-siap ke kantor. Untung tas kerjanya ia bawa. Tas yang berisi dompet lengkap dengan KTP dan ATM-nya, handphone dengan charger-nya, dan beberapa alat make up. Cukup lengkap, kecuali satu. Pakaian ganti. Lalu apa yang harus ia pakai sekarang? Bahkan ia belum mandi gara-gara memikirkan hal itu.
"Loh, Vi, belum siap-siap?"
Tiba-tiba Ian muncul dari balik pintu. Seingat Fio, ketika gadis itu membuka matanya, Ian sudah tak di tempat. Lelaki itu bangun lebih awal darinya. Fio sedikit malu dengan fakta ini. Harusnya seorang gadis bangun lebih pagi dibandingkan pria.
"A-aku nggak bawa baju ganti. Gimana, dong?" jawab Fio. Gadis itu memunggungi arah Ian datang, masih tak percaya diri dengan wajah polosnya tanpa riasan.
"Oh, ya, udah. Mau aku anter pulang?"
"Nggak!" tolak Fio keras. Ian mengerutkan dahinya, menggaruk kepalanya heran.
"Kenapa?"
"Ada, deh. Aku nggak bisa cerita. Kamu ada solusi?"
"Solusi buat apa?"
"Buat pakaian aku lah. Aku beneran bingung, harus masuk kerja tapi nggak ada baju ganti."
Ian berdecak, mengusap-usap dagunya seperti orang yang sedang mencari ide. Fio berjalan gelisah ke kanan dan ke kiri, ikut mencari alternatif dari masalahnya.
"Aku nggak tau apa alasanmu, sebenernya aku penasaran. Tapi, okelah. Kamu nggak bisa cerita sekarang, berarti kamu punya hutang penjelasan sama aku. Aku yakin, pasti ini ada hubungannya dengan kamu yang nginep di rumah aku."
"Ian, ini bukan saatnya buat bahas itu."
"Aku tahu! Aku bisa minta Megan bawain bajunya buat kamu."
"Hah, apa?!"
***
Fio menyendok makanannya asal. Matanya bosan menyaksikan kemesraan Ian dengan sahabat kecilnya, Megan. Apa perlu pakai suap-suapan segala? Ian kan bisa makan pakai tangannya sendiri! Begitulah benak Fio yang sedang memprotes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfection ✔ #ODOCTheWWG
RomansaIan adalah lelaki tampan yang menjalani hobi melukis di tengah ketidakberdayaannya untuk melihat. Tak banyak orang yang menghargai karyanya yang terkesan abstrak. Hingga, seorang gadis muncul dan memotivasi hidupnya, membuat Ian jatuh cinta. Ketika...