Bab 8

1.1K 125 5
                                    

Fio memandangi sebuah map merah yang teronggok di meja kerjanya. Kalau bisa, gadis itu ingin memuseumkan salah satu benda yang pernah Ian sentuh dan berikan secara langsung, seakan-akan itu peninggalan bersejarah. Malang tak bisa ia hindari, mau mengganti mapnya pun ia tidak sempat karena laporan keluhan pelanggan yang harusnya Fio serahkan ke kepala staf tadi pagi jadi tertunda karena sempat ia pikir hilang.

Beruntunglah Ian mengembalikan map itu secepatnya. Fio tidak perlu membuat ulang laporan tersebut, atau lebih parahnya Fio tidak perlu mengakui alasan keterlambatannya mengumpulkan laporan tersebut ke atasan. Karena bisa-bisa ia dinilai tidak bertanggung jawab, ceroboh, dan sebagainya. Itu akan melukai image Fio yang selama ini dipandang profesional, meskipun hanya sebagai pekerja magang.

Usai menyelesaikan urusan pekerjaannya, sesuai shift, Fio merapikan mejanya dan bersiap untuk pulang. Hari mulai sore, rekan kerjanya juga tampak meninggalkan ruangan-walau beberapa ada yang tinggal karena masih ada keperluan dengan Mbak Mecca, kepala staf customer service.

Fio menyapa segelintir karyawan yang ditemuinya di lobi. Dari mereka ada yang membalas ucapan 'selamat sore' Fio, ada juga yang kelihatan angkuh dan tidak mau sekadar membalas balik ucapannya, melirik pun enggan. Tapi gadis itu tidak heran, sebagian besar pekerja MyStore yang ia kenal memang menunjukkan sikap antinya terhadap Fio. Mungkin mereka mengira bahwa diterimanya Fio di perusahaan besar itu melibatkan upaya penyogokan. Kalau dilihat secara awam, memang gadis seperti Fio tidak akan bisa menembus dengan mudah jalur penyeleksian, mengingat kriteria yang ditetapkan oleh MyStore sangatlah tinggi.

Kalau menerima pekerja cuma mengandalkan paras, namanya tidak adil, dong. Maka aku ada di sini, membuktikan pada kalian semua bahwa 'wajah pas-pasan' juga cukup kompeten dan layak untuk mendapat kantor yang bagus, pikir Fio, menyemangati dirinya sendiri di tengah ketidaksukaan orang lain.

Akhir-akhir ini, ibu kota sering diselimuti awan hitam. Kalau tidak segera dapat bus untuk pulang, bisa-bisa Fio kebanjiran di jalan atau terpaksa berteduh lagi di rumah Rudi. Ia tidak mau merepotkan Ian walaupun sejujurnya Fio masih ingin berkunjung ke sana.

Namun, tanpa ia tebak. Fio melihat sosok Ian dari kejauhan. Lelaki itu tampak berdiri di ambang pintu, seperti menunggu sesuatu. Apa mungkin dirinya? Stop. Fio tidak boleh berkhayal terlalu tinggi, kalau jatuh bisa sakit, 'kan?

Tapi karena didera rasa penasaran yang menyiksa, akhirnya Fio meninggalkan halte dan menuju ke arah Ian. Gadis itu tak langsung menyapa. Ia berdiri di sebelah Ian, menyaksikan apa yang laki-laki itu lakukan. Mirip seperti yang dikatakan Rudi kemarin, Ian hanya berjalan mondar-mandir di depan pintu, tanpa tujuan.

"Menunggu tukang bubur, ya, Ian?"

Reaksi tubuh Ian cukup menggelikan. Ia kaget, tubuhnya terdorong ke belakang menabrak pintu. Setelah itu, kedua tangannya tampak mengelus dada, membuat Fio tergelak dalam tawanya.

"Apa kamu selalu muncul tiba-tiba dan bikin orang kaget?"

"Maaf, maaf. Habisnya aku penasaran, kamu lagi ngapain, sih? Jalan nggak jelas ke sana- ke mari."

"Kamu baik-baik aja?"

Fio tercengang, ia mendekatkan telinganya pada Ian seolah meminta lelaki itu mengulang kembali pertanyaannya. Kamu baik-baik aja? Bukankah seharusnya Fio yang bertanya seperti itu kepada Ian?

Ada apa denganmu, Ian?

"Kamu ... serius nanyain itu ke aku? Aku nggak salah denger?"

"Ya udah, pulang sana."

Ian balik lagi ke sifatnya yang ketus. Baru sepersekian detik lalu perasaan Fio membuncah karena kekhawatiran Ian yang entah muncul dari mana. Tapi, kelihatannya Ian sudah mulai normal. Mungkin ada setan yang menyerempet bahu Ian tadi, jadi tingkahnya pun sedikit aneh.

Imperfection ✔ #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang