Tak lebih dari seminggu, Ian telah menyelesaikan pekerjaannya di L'Acino. Ian pikir Aaron akan terus merusuhinya, tapi kenyataannya sampai sekarang yang bisa lelaki itu lakukan hanyalah mengawasi Ian dengan kedua mata elangnya.
Fio tak lagi datang di jam kerja, gadis itu sangat jarang mengunjungi Ian. Mungkin karena ia takut akan memancing keributan karena Aaron—yang setiap waktu ada di restoran—begitu tidak suka jika Ian dan Fio saling berdekatan. Ditambah lagi, gadis itu tak ingin muncul kecurigaan dalam diri Ian—yang menjurus pada pembongkaran identitas aslinya—jika ia terang-terangan akrab dengan Aaron di depan laki-laki itu.
Aaron juga sudah tahu kalau Ian diminta bekerja di sana. Miranda membantu menjelaskan sehingga Aaron tak seenak jidat memberhentikan Ian. Hal itulah yang membuat Fio bersyukur. Tak dapat bertemu di resto, paling tidak ia bisa mengunjungi Ian di rumahnya. Seperti yang dulu gadis itu sering lakukan.
"Sore, Ian."
"Kamu datang? Ada perlu apa?"
"Nggak dibolehin masuk?"
"Baiklah, masuk."
Senangnya Fio, setelah sekian lama tak berkunjung ke rumah yang mencuri perhatiannya itu, akhirnya ia dapat kembali lagi. Dengan suasana yang berbeda. Ia tak merasakan keberadaannya yang dulu. Karena tidak ada Fio, yang ada hanyalah gadis bernama Jovi.
Fio tak lagi mengambil posisi duduk yang sama, anggap saja sudut favoritnya—di dekat jendela. Ia memilih tempat yang baru, yang belum pernah ia coba. Tempat duduk yang berada di sebelah depan, bagian kanan tangga.
"Terima kasih. Berkatmu, restoran mama jadi semakin ramai dikunjungi. Lukisanmu bagus. Lumayan, daripada yang kau lukis kemarin-kemarin itu."
"Seperti yang kamu bilang, lukisan yang dibuat dari hati hasilnya akan lebih memuaskan."
"Ini, titipan dari mama. Aku baru aja ke resto tadi."
"Apa ini?"
"Apalagi? Sesuatu yang bisa dimakan lah! Hanya itu yang bisa kami kasih karena kamu nggak mau diberi upah."
Ian mencium aroma lezat keluar dari kantong plastik yang Fio serahkan. Tentu saja masakan Italia.
"Hei, lukisan itu ... mau kamu apakan?"
"Aku akan ngadain pameran. Semua lukisanku akan aku pertunjukkan di khalayak umum."
"Ide yang bagus, aku pasti datang. Walau kamu nggak undang sekali pun."
"Aku belum bilang mau undang kamu. Tapi karena udah terlanjur kode-kode, okelah. Datang, ya."
Fio berdiri. Ia menatap intens pada lukisan-lukisan yang ditumpuk potrait dan disandarkan di bawah tangga. Gelap tak mampu melahap habis pengelihatan yang Fio dapat dari soft lens kebiruannya.
"Lukisannya bagus. Kamu yang buat semua ini?" tanya Fio dengan kedua tanganya yang sibuk menggerayangi tekstur lukisan tersebut.
"Ya. Aku membuatnya, tapi tidak sendiri."
Gerakan Fio terhenti. Kedua maniknya mulai memanas, pandangannya buram oleh air yang menumpuk di pelupuk mata. Jangan cengeng sekarang, Fi. Perintahnya pada diri sendiri, ia harus dapat membendung keterharuannya saat ini.
"Dulu, seorang gadis menemaniku melukis. Dia yang menuntunku mengarahkan kuas dan membantuku menghasilkan gambaran yang menurutku cukup indah."
"Siapa gadis itu?"
"Dia gadis yang sederhana, selalu ceria dan penuh gairah. Dia ... menghilang dan meninggalkanku bersama janji-janjinya."
"Meninggalkanmu seperti ini tanpa rasa bersalah, bukankah dia sangat bodoh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfection ✔ #ODOCTheWWG
RomanceIan adalah lelaki tampan yang menjalani hobi melukis di tengah ketidakberdayaannya untuk melihat. Tak banyak orang yang menghargai karyanya yang terkesan abstrak. Hingga, seorang gadis muncul dan memotivasi hidupnya, membuat Ian jatuh cinta. Ketika...