Bab 21

914 77 2
                                    

"Ada yang bisa kubantu?"

"Kamu di sini?"

Fio menghampirinya. Lelaki itu repot menyeleksi karya lukisnya untuk diikutkan dalam sebuah pameran seni. Sungkan, padahal tujuan Fio datang adalah untuk menanyakan kebenaran berita tentang ayah Ian yang ternyata seorang narapidana. Fio bukannya membenci atau apa, gadis itu ingin memastikan bahwa Aaron tak menyebarkan berita seenaknya. Fio tak mau terjebak hoax.

Dan kalaupun kabar itu benar, Fio sangat ingin tahu bagaimana perasaan Ian. Bagaimana tanggapan Ian melewati waktu-waktu sulitnya di masa lalu.

"Nggak ada yang mau kamu ceritain?"

Pertanyaan Fio sontak menghentikan kegiatan Ian memilah-milah. Laki-laki itu berjalan menjauh, mengistirahatkan dirinya di atas sofa yang dekat dengan jendela kamarnya. Kedua tangannya menyangga kepala Ian yang penuh pergulatan pikiran.

Fio meletakkan lukisan yang ia pegang dan duduk menyusul Ian.

"Aku tahu, kamu ada masalah. Aku nggak akan menanyakannya kalau kamu nggak berminat cerita. Aku nggak maksa, kok."

"Benar. Kamu emang seharusnya nggak boleh maksa, karena kita baru kenal. Iya, 'kan?"

Bola mata Fio bergerak resah, menatap lurus ke lantai. Bolehkah ia menyesal? Menyesal karena harus menyamar sebagai Jovi untuk dapat berbicara dengan Ian. Tapi apa gunanya sekarang? Gadis itu sudah memutuskannya dengan penuh pertimbangan. Kalau inilah sanksi yang ia dapatkan—tidak bisa bebas mendengarkan curahan hati Ian—maka ia harus menerimanya.

Menjadi Jovi dan mulai berteman baik dengan Ian, tidak menjamin kalau Fio bebas berbicara hati ke hati dengan lelaki itu. Realitanya, Ian lebih percaya pada gadis yang dikenalnya cukup lama daripada pendatang baru seperti sosok Jovi.

"Lupakan, bagaimana kalau kamu lanjutkan mengemas lukisannya? Aku akan membantu."

"Hm, baiklah. Terima kasih."

***

"Om, jangan bilang sama Ian kalau kita habis ngobrolin ayahnya."

Saat Ian tak ada di rumah, untuk mengirim lukisannya ke sebuah Art Space di daerah Kemang, Fio menanyakan banyak hal pada Rudi. Hanya empat mata. Semua mengenai luka yang pernah Ian derita di masa kecilnya.  Ada bagusnya Aaron tak bisa menjemput Fio sepulang kerja hari itu. Restoran sedang ramai-ramainya. Fio meluangkan waktu sesukanya untuk mendengar dongeng masa kecil Ian.

Kini, gadis itu mengerti. Bagaimana Ian bisa menjadi tunanetra, bagaimana Ian tumbuh menjadi sosok yang kasar dan bagaimana lelaki itu menjadi sangat tertutup dengan orang lain. Ian cuma mau melupakan penderitaannya. Ia juga malu jika orang lain mengetahui masa kecilnya yang menyedihkan. Ian benci dikasihani, itulah yang dapat Fio simpulkan sampai sekarang.

"Bagaimana kamu tahu kalau ayah Ian itu–"

"Ah, itu ... kakak sepupuku. Dia orang yang sangat protektif. Dia sampai menyewa seorang mata-mata untuk mengawasi Ian. Dan, kakakku itu tahu tentang ayah Ian yang baru dibebaskan dari penjara kemarin."

"Tolong jangan menjauhinya, ya. Masa lalu Ian itu bagian dari hidupnya yang tak bisa disalahkan. Ia hanya berjalan mengikuti takdir, tapi sampai sekarang pun ia tak bisa menerima keberadaan ayahnya. Ian masih menaruh kebencian pada ayahnya sendiri."

Apa setelah mengetahui kelamnya masa lalu Ian akan membuat Fio menjauh? Sepertinya Rudi perlu memperbaiki alur pemikirannya. Kekaguman Fio pada Ian terlalu besar, mengenyahkan keegoisannya untuk meninggalkan Ian hanya gara-gara secuil kenangan buruk itu. Fio dengan setulus hati berteman dengan Ian, tak peduli Ian anak dari narapidana, atau bahkan mafia sekali pun. Baginya, Ian yang saat ini adalah seorang lelaki yang baik dan penuh perhatian. Walau terkadang, sangat susah untuk lelaki itu menyalurkan bentuk kepeduliannya. Ian adalah lelaki yang buruk dalam hal mengeskpresikan diri.

Imperfection ✔ #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang