Bab 3

1.5K 133 19
                                    

Fio bergerak memasuki ruang keluarga, tempatnya bermain bersama Miko, kucing jenis scottish fold warna abu-abu putih kesayangannya. Kucing hadiah dari sang ayah saat ia berulang tahun yang ke-12. Fio biasa menghabiskan waktunya dengan Miko, hingga ibunya pulang dari restoran yang pernah dikelola sang ayah ketika beliau masih hidup.

Benar, Fio adalah gadis dari keluarga kaya. Ia anak pemilik restoran Italia bernama L'Acino yang letaknya tak jauh dari lokasi rumahnya di Pondok Indah. Ayahnya mendirikan restoran itu sudah hampir dua puluh tahun. Seiring berjalannya waktu, L'Acino menjadi sangat terkenal, bahkan banyak pengunjung dari luar negeri yang sengaja datang untuk mencicipi cita rasa Italianya orang Jakarta.

Saat ini, restoran itu di bawah manajemen ibunya. Fio menolak untuk melanjutkan usaha dikarenakan itu sama sekali bukan passion-nya. Lagian, ayahnya sendiri mendukung Fio untuk mengejar apapun yang dia suka. Artinya, tidak ada unsur paksaan di mana anak dari seorang pengusaha harus menjadi pengusaha juga seperti orang tuanya. Bramantyo, ayah Fio, bukanlah seorang yang kolot dengan pemikiran semacam itu, beliau percaya bahwa putrinya kelak akan sukses melalui caranya sendiri.

Dengan jenuh, Fio menyaksikan tontonan televisi. Miko tertidur pulas di pangkuannya sejak sejam yang lalu. Sementara, hari mulai larut. Fio cemas menunggu kepulangan satu-satunya wanita yang merawatnya setelah sang ayah meninggal akibat stroke. Kecemasan itu semakin besar ketika telepon Fio tak diangkat sama sekali oleh Miranda—ibunya.

Tak lama kemudian, suara mobil memasuki garasi, di susul dengan suara halus seorang wanita dari arah pintu. “Fio, Mama pulang.” Membuat Fio akhirnya bernapas lega.

"Ya ampun, Mama dari mana aja, sih? Ini udah malem banget. Kok baru pulang?"

"Maaf, Sayang. Hari ini, resto lagi rame sampai-sampai mama kewalahan. Tapi, apa kamu tahu kabar baiknya?"

Miranda duduk mengambil tempat di sebelah Fio. Sedangkan, gadis itu tak berani bergerak karena takut Miko terbangun.

"Kakak kesayanganmu akan segera kembali ke Indonesia dan menggantikan mama mengurus restoran papa," ungkap Miranda penuh antusias.

Mata Fio berbinar mendengar kabar itu. Benarkah? Kalau begitu, mungkin Fio tidak akan lagi merasa kesepian di rumah.

"Baguslah," ucap Fio dengan senyuman yang merekah.

"Ngomong-ngomong, Fi, apa ... kamu nggak berniat nemenin mama ke salon?"

"Ma ...," respon Fio terdengar malas.

Kalau sudah menyinggung soal salon, gadis itu langsung paham ke mana arah pembicaraan Miranda. Bahkan sampai tidak terhitung, berapa kali usaha Miranda agar berhasil membujuk putrinya pergi ke salon. Dengan impulsif, gadis itu selalu menolak mentah-mentah.

"Fi, apa kamu nggak capek terus diejekin? Mama cuma khawatirin kamu, nggak lebih," bujuk Miranda demi menyentuh hati Fio. "Tiap malem mama nggak bisa tidur, terus kepikiran soal masa depan kamu. Kamu udah dua puluh satu tahun, cobalah berpenampilan menarik supaya–"

"Supaya ada cowok yang mau deketin aku. Iya kan, Ma?" sela Fio padahal mamanya belum menyelesaikan pembicaraan.

"Mama tenang aja. Aku yakin, masih ada cowok di luar sana yang mencintai Fio secara tulus. Masih ada cowok yang memandang cewek nggak cuma dari fisiknya doang," imbuh Fio kedengaran membela diri.

"Tapi, Fi–"

"Fio mau ke kamar, Ma. Mau tidur, capek. Mama juga, ya," ucap Fio lagi-lagi menyela, berusaha menghindar dari percakapan yang mulai memancing emosinya.

Masuk ke kamar adalah pilihan utama ketika ia takut temperamennya tidak terkontrol. Walaupun Fio termasuk gadis dengan tingkat kesabaran tinggi, namun tetap saja, yang namanya manusia pasti bisa melebihi batasan. Dan untuk mencegah hal itu terjadi, Fio memilih untuk menghindar.

Imperfection ✔ #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang