17-permainan takdir

17 8 0
                                    

Happy reading

_______________________________________

Hari mulai gelap, namun Reian masih enggan hanya untuk sekedar beranjak dari duduknya. Ditatapnya senja yang mulai menghilang. Pikirannya menerawang, mengingat kembali perkataan Virla tempo hari.

"Sakit banget tau gak, Pir. Kata-kata lo, nancep banget dihati." Reian tersenyum, senyum dengan kepedihan yang tercetak jelas dibalik lengkungan bibirnya.

"Terhitung udah tiga hari, gue jauhin lo. Rasanya tuh, aneh banget, hidup gue langsung berubah hambar gitu, kayak gak ada yang spesial... Iya, gue kangen sama lo, kangen sama suara cempreng yang selalu lo keluarin buat gue." Lanjutnya. Kali ini, ia mulai beranjak dari duduknya. Berjalan ke arah pagar pembatas balkon kamarnya, lalu menatap bintang yang sedari tadi berkilau, seakan memberi semangat agar ia tidak lagi larut dalam pemikirannya tentang Virla.

"Bintang, gimana caranya biar dia bisa maafin gue?" Tanyanya. Ia tahu, pertanyaan yang dilontarkannya itu sangatlah konyol. Mana mungkin, ia bertanya pada benda langit, tentu saja ia tidak akan mendapat jawaban atas pertanyaannya itu.

"Reian, kamu udah tidur? Kalau belum, turun dulu, itu Tante Sintha sama Virla lagi di bawah." Panggil Lana dari balik pintu kamar Reian. Mendengar nama Virla disebutkan, membuat Reian tak bisa menyembunyikan sebercak lengkungan di bibirnya. Layaknya sebuah handphone yang di charger, ia seperti mendapatkan kembali energinya yang sempat habis.

"Iya Bun, nanti Reian turun. Bunda, duluan aja." Balasnya. Ia kembali menatap bintang, lalu tersenyum dan segera meleset keluar kamarnya. Dalam perjalanannya, ia kembali mengingat perkataan virla.

"Lo pikir lo siapa, mau ngatur-ngatur hidup gue? Oke, gue kasih tau, lo itu hanya orang asing yang numpang lewat dalam hidup gue. Dan asal lo tau, gue gak akan pernah mau ngemaafin laki-laki gak berotak dan gak punya perasaan kayak lo. Lo itu banci, sukanya nyakitin hati perempuan, terus minta maaf dengan gampangnya. Hahaha, miris tau gak."

"Mulai detik ini, jangan pernah bicara sama gue, jangan sok care sama gue dan biar perlu jangan pernah muncul dihadapan gue. Kalo pun lo gak sengaja ketemu gue, anggap aja lo gak kenal sama gue. Dan jelasin ke Bunda sama Ayah lo, jangan maksa-maksa gue buat maafin laki-laki kayak lo, karna sampe kapan pun, gue gak bakal mau ngemaafin lo."

Perkataan Virla bagaikan sebuah bom yang langsung menghancurkan mood Reian. Senyuman yang sempat tertahan di bibir, kini sirna ditelan kesesakan yang mendalam.

"Kenapa disaat gue udah pengen ngejauh dari lo, takdir justru selalu mempertemukan gue sama lo? Huft, gue seakan dipermainkan oleh takdir." Batin Reian lirih.

"Itu, Reian." Virla mendongak. Ia menatap Reian yang tengah menuruni anak tangga. Reian terlihat sangat tak acuh, seakan tidak menyadari kehadiran Virla di rumahnya.

"Hai, Mami, apa kabar?" Tanya Reian saat sudah mendudukan dirinya tepat dihadapan Sintha.

"Mami aja nih, yang ditanya, Virla-nya, enggak?" Goda Sintha. Reian hanya tersenyum hambar menanggapinya. Sedangkan Virla, ia hanya memasang tampang malasnya.

"Kalian masih marahan, ya?" Virla dan Reian sontak menatap Lana.

"Please, jangan dibahas lagi." Batin Virla memohon.

"Mau sampai kapan sih, Vir, Rei? Nunggu sampe Mimi Peri nikah sama Sehun? Atau sampe Bang Toyib pulang ke rumah?" Celetuk Lana. Sintha tertawa pelan mendengarnya, ada-ada saja sahabat masa SMA-nya ini.

"Nunggu sampe Lulove Luna bisa ngelahirin anak, Bun." Celetuk Reian asal. Lana berdecak sebal.

"Bunda, serius Reian!"

ReVirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang