2.1

2.2K 290 70
                                    

Langit telah menghitam ketika Felix membuka mata dan ia hanya bisa mengira-ngira berapa lama ia telah tertidur. Dengan gerakan autopilot ia meraih ponselnya, Hyunjin sudah mengakhiri panggilan beberapa jam lalu. Apparently, now it was 3 AM. Felix menghela nafas kemudian meregangkan tubuhnya.

Ia mendengar suara dari arah dapur dan seketika tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit untuk mengambil minum. Ia berjalan perlahan ke arah dapur, tetapi gerakannya terhenti ketika ia sadar Jeongin tidak sendirian.

"... kau tahu bahkan sebelum mereka bertemu garis takdir mereka sudah bersinggungan. Bagaimana bisa kau membiarkan hal ini terjadi? Apa menurutmu ini semacam makjang drama?" tanya suara wanita yang sepertinya menjadi teman bicara Jeongin. "It will blow up one day. It’s dangerous, I don’t like it."

"Apa menurutmu aku suka?" Jeongin balik bertanya. "Tapi ini yang dia inginkan dan aku tahu ini bagus untuknya. Aku sudah berkali-kali menempatkan hidupku dalam resiko dan aku tidak keberatan melakukannya sekali lagi."

"Kau meremehkan mereka," kata si wanita. "You’re the most brilliant man I’ve ever met, I’ll give you that. Tapi kau sendirian dan mereka adalah institusi yang disokong penuh oleh pemerintah."

"Aku tidak sendirian Hye nunna, aku punya kalian semua disisiku. And Hyunjin’s not bad either. Remember, he is M1."

"Ya, tapi orang-orang yang kau dan Hyunjin libatkan tidak tahu apa yang mereka hadapi," nada suara si wanita berubah. "Dari sepuluh juta manusia di Seoul, mengapa kalian harus melibatkan mereka? I’m really surprised you let them get this far. Jika aku tidak mengenalmu dengan baik aku pastinya akan berpikir bahwa kau sudah sin --," wanita itu berhenti tiba-tiba dan selama beberapa detik hanya keheningan yang bisa Felix rasakan.

"Felix," ia mendengar Jeongin memanggil namanya. Felix menatap pintu didepannya dengan gusar, tampaknya mereka sudah tahu ia disini. Dengan canggung Felix melangkah memasuki dapur, mencoba bersikap seolah ia tidak mendengar terlalu banyak.

"Apakah kami membangunkanmu?" Jeongin bertanya, menyambutnya ketika ia muncul.

"Tidak," jawab Felix, mengatakan yang sebenarnya. "Aku haus."

"It's time for me to leave as well," gadis itu berdiri.

"Of course. Thanks for everything,  Sohye nunna."

Gadis itu -- Sohye -- tersenyum pada Felix sebelum melangkah pergi. Ketika hanya mereka berdua yang tersisa di dapur, ia memperhatikan sekeliling.

"Dimana Woojin Hyung?"

"Dia pergi setelah makan malam," jawab Jeongin yang kini sedang membawa gelas Sohye ke wastafel.

"Dia sudah pergi?" Felix bertanya dengan tidak percaya. "Tipikal Kim Woojin, meninggalkanku sendirian setelah dia mendapatkan apa yang diinginkannya."

"Kupikir dia bahkan lupa kalau dia datang kesini bersamamu."

Felix mendudukkan dirinya di kursi yang sebelumnya diduduki Sohye, "siapa itu tadi?"

"Kenalanku," jawab Jeongin. "Apa kau lapar? Mau kuhangatkan supnya?"

Ia mengangguk sebagai jawaban dan Jeongin mulai bekerja. Observing him from behind, Felix thought Jeongin didn’t look like a rogue agent. Hyunjin punya aura yang bisa membuat orang takut padanya hanya dengan sekali tatap, sementara Jeongin lebih... transparant? Tapi itu bukan berarti Felix menganggap bahwa Jeongin lebih tidak berbahaya dibandingkan Hyunjin, faktanya ia justru yakin bahwa ia harus lebih berhati-hati pada Jeongin karena si pemuda Yang itu mampu menyembunyikan dirinya dengan sangat luar biasa.

whole life story || hyunlixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang