Berawal Dari Hujan (Part "Masalah")

9 1 0
                                    

Warning!

Banyak kata-kata kasar dan bahasa non baku!

Warning!

-o0o- -o0o- -o0o-

"Hah? Demi apa, Mah?" Fabian mendecak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hah? Demi apa, Mah?" Fabian mendecak. "Mah, kakak gak bisa sekarang."

Perempuan itu hanya bisa berjalan mondar-mandir dengan tangan yang terus menggenggam erat ponselnya. Sementara telinganya terus mendengar apa yang dikatakan orang di seberang sana.

"Mah, kalau Kakak kesana sekarang, Kakak bakalan ngulang semester. Ini bakal ngeberatin Mamah. Sebentar lagi aja. Apa ditahan pakai apapun nggak bisa, Mah?"

Jimin yang baru datang hanya memperhatikan gebetannya itu dengan seksama tanpa mau mengganggu. Sepertinya ada masalah serius, terbukti dari raut wajah Fabian yang sampai mengerut begitu. Jimin juga baru tahu tiga bulan yang lalu jika gebetannya ini memang sengaja merantau dari tempat tinggalnya. Entah karena ada apa, yang Jimin percaya jika gebetannya ini memang sengaja merantau ke kota untuk mencari ilmu. Ia belum tahu alasan jelasnya mengapa gebetannya ini merantau ke kota tempatnya lahir.

Perempuan itu menghela nafas panjang sembari memijat keningnya. "Oke, kalau kita mau nanggung risiko kuliah Kakak. Kakak bakal ke sana. Malam ini pun jadi kalau emang urgent banget."

Fabian berhenti melangkah, "No, no, no, Mamah. Kakak paham. It's okay. Kalau emang seserius itu, Kakak bakal ke sana. Kakak nggak mau Mamah diapa-apain sama orang itu hanya karena Kakak nggak disana. Kakak ke sana malam ini, ya?"

'Orang itu? Kayaknya masalahnya sangat sangat sangat serius.' batin Jimin berkata.

"Besok aja? Serius gpp? Oke, besok. Kakak ke sana besok. Sekarang yang perlu dilakukan Mamah istirahat. Tidur lebih awal. Jangan lupa tutup pintu dan pagar rapat-rapat. Kalau ditanya, bilang aja nggak terima tamu dulu. Kalau ada apa-apa, langsung hubungin Kakak, ya? Biar nanti Kakak minta temen Kakak yang di sana buat ngejagain Mamah sementara nungguin kepulangan Kakak. Oke? Iya, siap, pasti kok, Mah. Mamah juga jaga kesehatan ya. I love you."

Begitu Fabian menurunkan ponselnya, Jimin langsung memberikan segelas es teh manis yang baru saja dia pesan tadi khusus untuk Fabian, sementara dia memesan kopi harga lima ribuan.

"Minum dulu. Biar dingin kepalanya."

"Thanks." balas Fabian dengan senyum tipis. Dia mengambil tempat duduk yang berseberangan dengan Jimin lalu meminum teh itu dengan perlahan.

"Mau cerita? Kalau nggak, juga gpp. Atau mau jalan-jalan biar lega dan ringan sedikit?" tawar Jimin, mencoba membantu gebetannya untuk meredakan emosinya yang mungkin saja kini sudah meledak-ledak di dalam kepalanya.

Lima bulan berlalu, Jimin sudah mengerti bagaimana ia harus bertindak untuk Fabian dan ia juga sudah hafal dengan kebiasaannya. Dari cara menangani Fabian yang sedang emosi atau sedang sedih. Jimin tahu caranya.

Random ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang