White

103 12 4
                                    

Putih.

Terlalu putih.

Aku tidak bisa melihat apapun.

"Sayang?"

Aku merengut. Suara itu terdengar jelas, tapi apa orang itu memanggilku? Kenapa rasanya memang seperti tertuju padaku? Suara lembut yang sudah lama tidak pernah kudengar sejak satu tahun yang lalu.

Jangan-jangan aku berimajinasi?

Perlahan sesuatu menutupi penglihatanku, cahaya putih tadi menjadi gelap. Kini aku bisa melihat suasana sekitar dengan jelas walau ternyata tidak ada apa-apa di sana. Kosong. Dan seperti bukan ruangan. 

"Pegang tanganku," aku menuruti suara itu. Kugenggam tangan yang terulur padaku dengan erat. Dan entah kenapa, tiba-tiba hatiku menghangat. Mungkinkah dari suaranya? Atau dari genggamannya?

Entah mengapa aku seperti pernah merasakan hal ini, tapi dimana? Mengapa aku jadi lupa seperti ini? Setahuku, karakterku bukanlah orang pelupa.

Sebetulnya apa yang tengah terjadi padaku?

"Sayang," panggilnya lagi pelan. Tanpa kusadari, kini ia sedang menggenggam kedua tanganku dengan erat. "Kamu masih kenal aku?"

Aku kebingungan dengan pertanyaannya. Dia melempar pertanyaan tanpa memperlihatkan wajahnya. Aku mana tahu bisa mengenalnya atau tidak.

"M-maaf, tapi kamu siapa? Apa kita pernah bertemu?"

Tanganku ditarik perlahan, mengikis jarak di antara kita. Lalu tanganku dibawanya untuk menyentuh wajahnya yang sangat lembut. Dan perlahan, cahaya yang bersinar terang tadi meredup dan aku bisa melihat sosok pemilik wajah lembut itu.

Tanpa basa-basi, air mataku langsung turun dengan deras. Seolah itu belum cukup, aku langsung memeluknya dengan erat, menyembunyikan wajahku di dada bidangnya dan menghirup aroma yang telah lama hilang. Aku menangis kencang sementara ia membalas pelukanku dengan erat sembari mencoba menenangkanku.

Sosok yang kupeluk ini adalah calon suamiku, Jimin Park namanya. Satu tahun yang lalu, kecelakaan antar mobil telah merenggutnya dariku. Bahkan sampai detik ini, aku belum bisa benar-benar melupakannya. Karena aku yakin, Jimin akan kembali padaku.

"K-kenapa baru sekarang-hiks-aku ngelihat kamu?" isak tangisku. "Kamu gak tahu, udah berapa lama aku menunggu kamu. Kenapa lama, Jim, kenapa?"

Tangannya bergerak mengelus kepalaku. "Maaf, sungguh aku minta maaf karena baru bisa menemuimu, sayang."

Aku memukul dadanya pelan, melampiaskan kekesalanku selama setahun penuh yang selama ini kupendam. "Kamu jahat, Jim. Kamu jahat."

"Maaf, sayang, maaf," berkali-kali kata maaf diucapkan disertai kecupan lembut di puncak kepalaku.

"Aku takut, Jim. Aku takut," ucapku pelan, "Aku takut aku gak akan nemuin kamu lagi. Aku takut," suaraku gemetar saat berbicara. Pelukanku mengerat seiring ketakutan itu menjadi. "Dan sekarang aku takut ini cuman mimpi. Kumohon jangan ambil Jimin-ku lagi, Tuhan."

"Loh, loh, hei, sayang. Aku udah di sini. Di depanmu. Benar-benar di depanmu. Kok ngomongnya malah gitu, hm?" Jimin mengecup puncak kepalaku untuk kesekian kalinya. Lalu ia melonggarkan pelukanku untuk menangkup wajahku. "Kenapa harus takut? Aku udah di sini, udah di depan kamu. Dan aku pernah bilang kalau aku bakal nungguin kamu, selama apapun waktunya. Dan sekarang kamu udah di sini, aku nggak akan pernah ninggalin kamu."

"Hiks-Janji?"

"Janji." ucap Jimin meyakinkanku lagi. Ia segera mengecup kening dan bibirku. Setelah itu ia mengusap jejak air mata di pipiku. "Udah jangan nangis lagi. Makin jelek nanti," candanya sembari menyubit hidungku pelan.

"Ish, bercandanya, lagi sedih juga," rengekku.

"Ya makanya aku bercandain biar gak sedih terus," kekehnya pelan. "Ayo, kita udah ditungguin sama yang lain."

"Siapa?" tanyaku penasaran, karena aku tidak melihat ada orang di sekitar kita.

"Eum..." Jimin yang berpikir itu terlihat lucu di mataku. "Kakek dan Nenek, mungkin?"

"Serius?" tanyaku antusias. "Ayo, kesana! Kita harus ke sana! Aku kangen Nenek." ucapku dengan cepat sembari menarik tangannya.

Jimin tertawa pelan, kemudian ia menggenggam tanganku dengan erat. "Ayo," dan berjalan memimpin arah, sementara aku hanya mengikutinya dari samping.

Setelah berjalan cukup lama. Kita berhenti di depan sebuah cahaya yang sangat-sangat terang. Sampai aku harus menyipitkan mata saat melihatnya dengan langsung.

"Kita bakal lewat sini untuk ketemu Kakek dan Nenek," ucapnya yang membuatku langsung menggenggam tanganya dengan erat.

"Kamu... nggak akan pergi ninggalin aku, 'kan?"

"Nggak, sayang. Setelah melewati cahaya ini, kita hidup bersama selamanya. Sesuai sama janjiku waktu itu, 'kan?"

Aku tersenyum, ia masih mengingat janji lama yang ia ucapkan sebelum melamarku di depan orangtuaku.

"Jimin," panggilku sebelum kita melangkah untuk masuk ke cahaya itu.

"Hm? Kenapa sayang?"

"Terima kasih atas segalanya."

"Terima kasih kembali karena telah hadir untukku."


-END-

a/n : yang pernah baca Miss You, mohon maaf diganti jadi White karena lebih cocok aja sama White. Ngomong-ngomong, maaf kalau banyak typo, ngedit pas subuh soalnya. Ngomong-ngomong lagi, jangan lupa voment-nya ya! Kalau nggak dilakuin, ntar aku tagih terus.

Random ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang