11

210 49 23
                                    

:: Selamat Membaca ::



Sepertinya Yoseob pernah melihat perempuan itu. Dimana ya? Penampilannya agak berbeda. Ada yang berubah. Ah, rambutnya. Dia dulu berambut panjang. Sekarang walaupun rambutnya bob pendek, tidak mengurangi kecantikannya.

Yoseob membidikkan kamera pada perempuan yang menelepon sambil duduk di batu. Dari sikap tubuhnya, sepertinya perempuan itu sedang risau. Kedua lututnya tertekuk, hampir menyentuh dagu, tangan kanannya menarik-narik pangkal rambutnya, kepalanya sedikit tertunduk.

"Eonni tidak bisa pulang sekarang, Chae. Eonni tidak sedang main-main tahu, eonni lagi kerja. Kalau eonni pulang sekarang, eonni bisa dikeluarkan dari proyek dan tidak dapat bayaran. Terus mau dapat uang darimana? Eomma kenapa lagi? Sambungkan dengan Eomma dulu." Jiyeon memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan. "Halo, Eomma. Kenapa keluhannya bertambah lagi? Terakhir periksa kemarin tidak ada masalah. Terus bagaimana? Jiyeon tidak bisa sering-sering pulang, Eomma. Apalagi sekarang. Eomma tolong bantu Jiyeon juga. Jiyeon tidak sanggup untuk bayar pembantu, Eomma. Tidak ada uang."

Raut wajah Jiyeon semakin keruh. Kadang berbicara dengan ibunya, membuatnya pening. Sepeninggal Park Jinyoung – ayahnya, memang Kim Taehee jadi sakit-sakitan. Sakitnya seperti antre, datang silih berganti. Dari masuk angin, flu, migrain, maag, lambung, tipus, bahkan sampai sakit yang tidak jelas dianogsisnya. Kim Taehee kerap mengeluh seluruh tubuhnya sakit dan kaku.

Sifat Kim Taehee pun mulai berubah, menjadi lebih manja dan emosional. Dan yang lebih Jiyeon tidak mengerti, ibunya merasa masih hidup berkecukupan seperti dulu, jadi suka minta yang aneh-aneh. Seperti sekarang, minta pembantu. Mana dia punya uang untuk menggaji orang? Untuk mereka sehari-hari saja benar-benar pas-pasan.

"Iya, Jiyeon juga kasihan dengan Chaeyeon, tapi tahu kemampuan Jiyeon." Jiyeon memijit-mijit dahi. Semakin lama bicara dengan ibunya, semakin susah menahan diri untuk tidak emosi. "Tolong, Jiyeon mau bicara dengan Chaeyeon, Eomma..." Pinta Jiyeon. Sesaat kemudian terdengar suara adiknya. "Halo, Chaeyeon. Mmm... tolong kamu sabar menghadapi eomma. Eonni tahu ini berat. Iya, iya, eonni mengerti kamu juga capek. Tapi tidak ada jalan lain, Chae. Kita tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan. Yang ada hanya kita."

Jiyeon menggigir bibir. Hatinya tersayat mendengar Chaeyeon mulai menangis, mengatakan Jiyeon beruntung bisa berada jauh dari rumah sehingga tidak harus menghadapi ibunya setiap hari. Kalau tidak ada Shin ahjumma, Chaeyeon mungkin sudah kabur dari rumah karena ikutan depresi.

"Maafkan eonni ya, Chae, sudah membuatmu susah. Tapi kita harus bagi tugas, tidak ada jalan lain. Yang penting kita tidak boleh menyerah. Eonni sayang kamu, Chae. Mmm.... dadah."

Jiyeon menghela napas berat sesaat setelah menutup telepon. Dia belum beranjak dari duduknya. Nyeri di dadanya masih juga belum berkurang. Ah, rasa sesak ini, kapan bisa dikeluarkan. Mungkin menangis akan sedikit melegakan himpitan yang makin lama makin mendesak jantungnya. Tapi sepertinya kelenjar air matanya tidka berfungsi lagi, karena betapapun dia sedih, dia tidak juga bisa menangis. Hanya berkaca-kaca, dan hilang begitu cepat.

Mungkin aku harus berteriak. Sekuat tenaga. Melonggarkan paru-paruku, pikir Jiyeon.

Hampir saja Jiyeon membuka mulut untuk berteriak, tapi langsung diurungkannya. Dia merasa ada yang sedang memandanginya. Seseorang dari Rumah Perahu. Karena hari menjelang gelap, dia tidak dapat mengenali orang itu.

"Jiyeon, kucari kemana-mana." Kai muncul dari belakang Rumah Perahu.

Jiyeon belum beranjak pergi sebelum Kai mendatanginya. Ketika lewat di bawah Rumah Perahu, laki-laki yang masih berdiri di atas sana tersenyum padanya.

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang