18A

174 42 27
                                    

:: Selamat Membaca ::




Udara dingin menusuk kulit Jiyeon. Tangannya mati rasa, tapi dia tidak boleh melepaskan pegangan. Tubuhnya bergetar, menahan rasa beku dan kengerian. Bunyi air sungai yang deras di bawahnya seperti raungan monster yang siap melahapya bila dia terjatuh.

Yang terjadi beberapa jam lalu sangat cepat, bahkan terlalu cepat untuk bisa diingat-ingat. Jiyeon dalam perjalanan pulang, lewat rute baru yang pernah dicoba sebelumnya. Sedikit lebih berat, tapi lebih cepat sampai camp.

Pikiran gadis itu kacau hari ini. Memikirkan telepon dari Kim Bum dan Ibunya, ditambah dia tidak akan bertemu Myungsoo lagi, semuanya tidak menyenangkan. Membuat moodnya hancur. Rasanya hidup tidak adil karena tidak memberinya waktu untuk berbahagia.

Bahkan untuk membiarkan perasaan Jiyeon menghangat karena kehadiaran seseorang pun, dirinya tidak diberi kesempatan.

Hati Jiyeon berkecamuk, disesaki berbagai macam perasaan negatif. Kesal, sesal, marah, gundah. Smeua salah mereka. Ayahnya, Ibunya, Kim Bum.

Rasanya hanya dalam hitungan detik saja pikiran Jiyeon hilang ditelan lamunan. Celakanya, efek karena tidak fokus itu sangat fatal. Tanpa sadar ia melangkah keluar trail dan menapaki tempat yang labil. Tiba-tiba saja tanah yang dipijaknya melsak. Jiyeon pun terguling dan meluncur ke daerah yang lebih rendah.

Aliran darah, denyut nadi, detak jantung, semua seperti berhenti. Hawa panas menyerang Jiyeon, bergolak di seluruh tubuhnya. Lalu seketika keadaan menghantamnya. Hidupnya dalam bahaya.

Sudah beberaoa jam gais itu menggantung di tepi tebing. Berpegangan pada akar-akar, dengan sedikit tempat untuk menjejak. Kaki kanannya terasa baik-baik saja, tapi kaki kirinya sepertinya terluka – atau terkilir? – karena setiap digerakkan terasa nyeri sekali.

Suara semak gemeresak membuat mata Jiyeon yang terpejam menjadi terbuka. Apakah ada yang datang menolongku? Dia sudah lelah berteriak minta tolong. Sejak langit masih disinari matahari, sampai satu jam lalu, dia tidak henti-hentinya berteriak. Namun sepertinya sia-sia, tak seorang pun datang. Apalagi kini, saat malam sudah benar-benar menyelimuti hutan. Tidak ada yang dapat mendengarnya, kecuali hewan-hewan malam.

Oh, suara-suara itu terdengar begitu mengerikan.

Air mata Jiyeon mengalir, menjatuhi pipinya yang dingin. Napasnya tersengal, tapi mulutnya tak bersuara. Rasa putus asa mulai merayapinya. Sedikit demi sedikit. Menelannya tanpa harapan.

Mungkin, kalau Jiyeon berani nekat melepaskan genggaman, segalanya akan berakhir baik-baik saja. Mungkin sungai yang dijaga bebatuan itu akan menyambut tubuhnya dengan kelembutab, seperti pelukan ibu pada bayinya. Mungkin, seperti yang diinginkannya, semua masalah akan hilang seketika.

Astaga. Jiyeon menggeleng, berusaha menghilangkan pikirna-pikiran aneh yang berkelebat di kepalanya. Tidak, aku masih ingin hidup. Aku tidak mau berakhir seperti Appa, tekadnya dalam hati.

Bibir Jiyeon mengucapkan doa-doa. Tuhan, ampunilah dosaku. Aku belum ingin mati, Tuhan. Selamatkanlah aku. Izinkan aku hidup.

Ini mungkin peringatan dari Tuhan. Menempatkan Jiyeon di sini untuk merenungi kesalahan-kesalahannya. Dia sudah menyakiti hati ibunya.

Eomma, maafkan Jiyeon...

Jiyeon terisak lebih keras.

Jiyeon tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan Chaeyeon dan ibunya kalau hidupnya berakhir malam ini. Chaeyeon masih belum dewasa dan ibunya sakit-sakitan, bagaimana mereka akan kuat bertahan tanpa dirinya?

Tangan kiri gadis itu kaku. Jemarinya membeku. Dia tidak akan mampu bertahan terlalu lama lagi menggenggam akar-akar pepohonan. Apalagi ada kemungkinan sedikit tanah dan batu yang dipijaknya longsor kapan saja.

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang