1

960 74 22
                                    


:: Selamat Membaca ::




Ini sudah lewat jam makan siang, tapi Jiyeon sama sekali tidak lapar. Roti di tas yang tergeletak di dekat kakinya masih utuh. Sejak semalam perutnya belum terisi apa-apa.

Buku tabungan di tangan Jiyeon dibuka perlahan. Senyum gadis itu pahit. Barusan dia mengirim uang ke rumah untuk biaya dokter. Penyakit maag Ibunya kambuh. Lumayan berat tampaknya, sampai harus opname di rumah sakit umum. Setahun lalu ada delapan digit angka di buku tabungan itu, sekarang hanya tersisa beberapa ratus ribu won. Setelah itu Jiyeon belum tahu lagi caranya mendapatkan tambahan uang.

Sinar matahari masih saja terasa terik walau beberapa jam lagi hari akan gelap. Seminggu terakhir Jiyeon hanya tidur tiga sampai empat jam sehari. Mungkin sampai minggu depan kesempatan tidurnya masih akan seperti itu. Mau tak mau dia harus melakukannya kalau mau tetap makan dan mengirim uang bulanan.

Sulitnya mencari uang.

Jiyeon meraih surat yang terselip dihalaman terakhir buku tabungan itu. Surat yang telah ia baca berulang kali, ah, bahkan hampir tiap hari. Namun sampai saat ini dia masih tidak mengerti, kenapa Ayahnya melakukan itu.

Sudah satu tahun, tapi luka itu masih segar.

Apa ayahnya sempat meragu sebelum mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya? Setidaknya berpikir, apa yang akan terjadi pada istri dan anak-anaknya? Bukan saja harta benda mereka habis untuk membayar hutang, tapi orang-orang yang dulunya mengaku teman, satu per satu meninggalkan mereka. Bertanya bertahan hidup dalam pandangan miring, cemoohan, bahkan prasangka buruk. Apa ayahnya sempat memikirkan hal itu juga?

Rasanya tidak. Ayahnya hanya memikirkan dirinya sendiri.

Jiyeon memandangi mobil-mobil yang melintas di bawah. Tubuhnya goyah. Sedetik terlintas dipikirannya, apa jadinya kalau aku melompat? Akan sangat ironis dan tragis, ayah dan anak melompat dari tempat dan gedung yang sama.

Di bawah tempat Jiyeon berdiri–lantai teratas gedung perkantoran Three Tower-lelaki berkemeja lengan pendek putih menaiki anak tangga menuju roof top. Masih beberapa baris anak tangga lagi yang harus dilaluinya.

Ponsel menempel di telinga kiri lelaki berkemeja putih itu. Sesekali dia mengangguk atau tersenyum, tampak intens mendengarkan orang yang meneleponnya.

"Huff... lumayan juga naik tangga kesini. Aku sedang mengecek lokasi pemotretan untuk poster proyek Skyline. Hampir sampai diatas gedung nih. Jadi gimana, setengah jam lagi aku menjemputmu? Iya, iya, aku akan ikut nanti malam. Jangan ngambek dong Ara sayang." Senyum menghiasi wajah laki-laki berlesung pipi itu. "Aku jadi tersanjung mendengar klien-klien Abonim tertarik untuk mengenal lebih dekat calon menantu pengusaha ternama Go Sewon. Rupanya film dokumenter karya Kim Myungsoo punya reputasi internasional, ya?"

Lelaki bernama Kim Myungsoo itu kembali menaiki anak tangga setelah istirahat selama beberapa hembusan napas. Suara Go Ara diseberang sana masih terdengar merajuk.

"Mobilku di bengkel, tapi ada mobil haraboji disini, yang bisa kupinjam. Tenang, haraboji lagi bertualang, nggak butuh mobil beberapa hari ini," kata Myungsoo. "Oh ya, apa masih ada persiapan yang belum beres?"

Myungsoo memindahkan ponsel ke telinga kanan. Dua anak tangga lagi dia kan sampai di atap gedung. Langkahnya terhenti saat mendapati scarf biru tergeletak di dekat pintu keluar. Punya siapa ini?

Myungsoo mengambil scarf itu.

"Paspor dan visa beres? Berkas-berkas lain? Oh, tinggal seminggu lagi kamu disini, aku bisa mati kesepian nggak ada kamu. Seharusnya kita menikah saja sebelum kamu pergi." Myungsoo membuka pintu keluar. Angin serta-merta menyambar wajahnya, juga teriknya sinar matahari.

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang