18B

174 40 30
                                    

:: Selamat Membaca ::



Tubuh Myungsoo dan Jiyeon sedikit terpisah. Wajah keduanya begitu dekat. Napas mereka seirama. Tangan kiri Myungsoo menangkup pipi Jiyeon yang basah. Membelainya dengan penuh kelembutan. Perlahan Myungsoo menunduk, semakin dekat mengarahkan bibirnya ke bibir Jiyeon.

Bibir mereka bersentuhan selama tiga detik, tidak sampai menempel. Myungsoo sempat menikmati, merasakan sentuhan bibir dingin Jiyeon dengan rasa manisnya. Detik berikutnya Myungsoo tersentak. Apa yang kulakukan? Kenapa aku menumpahkan gejolak hatiku pada orang yang tidak seharusnya? Aku memeluk dan hampir mencium Jiyeon dengan segala rasa yang kumiliki. Dan aku merasa bahagia. Myungsoo bertanya-tanya dalam hati.

Jiyeon terhenyak. Apa yang terjadi? Kenapa aku membiarkan diriku dipeluk dan bahkan akan dicium Myungsoo? Aku bahkan membalasnya sepenuh hati. Membiarkan diriku terhanyut, merasakan ketentraman yang selama ini tak kudapatkan.

Ini salah!

Tiba-tiba saja mereka saling melepaskan pelukan dan menjauh. Jiyeon buru-buru beringsut. Myungsoo hendak berdiri, tapi tubuhnya tertarik kembali pada Jiyeon. Lupa bahwa mereka masih terkait dengan tali.

"Maaf. Tadi aku..." Dengan gugup Myungsoo membuka ikatan tali yang menyatukan mereka. Laki-laki itu tidak dapat meneruskan kata-katanya.

"Aku ingin pulang," kata Jiyeon lirih, lebih seperti berbisik. Betapa jantungnya berdegup kencang tak karuan, seperti mai melompat keluar dari dadanya. Perutnya terasa melilit dan tubuhnya panas-dingin. Dia tak sanggup menatap Myungsoo.

"Kamu masih lemah, biar aku membantumu." Myungsoo membereskan tali yang terikat pada batang pohon. Setengah mati dia mencoba mengusir perasaan yang campur aduk di dalam hatinya. Jiyeon berjalan lebih cepat, meski tertatih-tatih. Dia benar-benar ingin menghindar dari Myungsoo. Tapi karena kondisinya belum pulih benar, ditambah kakinya terluka, Jiyeon jadi limbung. Bruuuk! Dia jatuh terjerembap.

"Jiyeon!" Myungsoo buru-buru membangunkan gadis itu. "Kamu masih lemah."

Mereka bersentuhan kembali. Seperti ada api yang membakar tubuhnya, Jiyeon menepis Myungsoo. "Lepaskan," bisiknya, setengah putus asa. "Aku bisa jalan sendiri." Suara Jiyeon terdengar seperti geraman daripada bisikan.

Jiyeon berjalan beberapa langkah, lalu bingung. Terlalu gelap, dan dia tidak tahu harus melangkah ke arah mana.

"Sini." Myungsoo meraih tangan kiri Jiyeon, menggenggamnya erat. Jiyeon berontak, tapi Myungsoo lebih kuat. Ditambah lagi dia tidak peduli Jiyeon akan menolaknya, dia tetap tidak akan melepaskan genggamannya. Setengah menarik dan membimbing, Myungsoo berjalan sembari mengarahkan senter ke bawah, memastikan tidak terperosok.

Bagaimana bisa Jiyeon tidak merasakan apa-apa, kalau kedamaian dan rasa ingin bersama lelaki itu telah menguasai hatinya? Bagaimana mungkin dia akan menjauh, kalau tangannya pasrah digenggam?

"Gwenchana?" Myungsoo menoleh ke belakang sambil menarik Jiyeon mendekat. "Kamu capek? Kita bisa istirahat sebentar. Mereka tidak jauh dari sini. Apa aku perlu menggendongmu?"

Jiyeon menggeleng pelan. Matanya yang sembab dan sayu, lurus menatap Myungsoo. Jangan terlalu baik padaku. Nanti... "Aku jatuh cinta padamu..."

Jiyeon yakin suara itu hanya ada di kepalanya. Dia hanya membatin. Tapi merasakan genggaman Myungsoo tiba-tiba lebih erat, Jiyeon terkesikap.

Apa yang telah kuucapkan baru saja?

Myungsoo sama sekali tidak menduga akan mendengar kata-kata seperti itu terucap dari bibir Jiyeon, apalagi menyadari kini hatinya bergetar melebihi sebelumnya. Untuk sepersekian detik rasa hangat menjalari seluruh tubuhnya.

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang