19

210 39 29
                                    

:: Selamat Membaca ::



Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Rutinitas pengambilan data di lapangan seolah menjadi tempat pelarian Jiyeon untuk menyembuhkan luka hatinya. Dia sadar sejak awal memang posisinya salah. Menyukai lelaki milik orang lain hanya memberikan kesempatan satu persen bahagia. Sisanya, sembilan puluh sembilan persen sakit hati tanpa henti.

Tidak pernah bertemu muka, tidak menjalin kontak dalam bentuk apapun ternyata cukup ampuh untuk mulai menetralkan perasaan Jiyeon. Suasana stasiun riset yang menyenangkan dan para penghuninya yang penuh warna menghadirkan kehangatan pada hari-hari kelabunya. Apalagi ada orang yang pantang menyerah untuk mengambil hatinya. Dua orang, tepatnya. Mau tak mau Jiyeon merasa tersanjung, meskipun tidak pernah menampakkannya secara terang-terangan.

Dalam satu bulan Jaerim bisa tiga sampai empat kali datang ke stasiun riset. Kadang hanya menginap semalam, kadang dua malam. Itu pun tidak selalu berinteraksi dengan Jiyeon karena keduanya sama-sama sibuk. Praktis hanya sebelum pukul enam pagi dan setelah pukul enam sore, baru mereka dapat bertemu.

Kecuali saat keduanya sedang ada waktu libur. Hari minggu para mahasiswa itu tidak melakukan pengambilan data di lapangan. Dan satu bulan sekali, pada akhir pekan terakhir, mereka istirahat dua hari. Waktu senggang itu dimanfaatkan Jiyeon dan teman-temannya untuk plesir ke luar Gwangpyeong.

Seperti hari ini. Hyomin mengajak para mahasiswa itu bergabung dengan rombongan stasiun riset pergi melihat pacuan kuda di Yongdam, kota Namwon.

Setelah selesai sarapan, Hyomin, Eunjung, Yoon Ahjussi, Jibin, Chanwoo, Jiyeon, Krystal, Minho, dan Kai menyeberang ke Desa Munsu. Untuk hari ini tukang perahu diambil alih Yoon Hyunmin, adik Yoon Heeseok Ahjussi. Kesembilan orang itu berjalan menuju rumah Park Seojoon, yang menjadi titik kumpul karena beberapa penduduk desa ikut perjalanan tersebut.

Kai celingukan, mencari mobil yang akan mereka tumpangi. Dalam bayangannya, mereka akan setidaknya menggunakan dua mobil untuk dua puluh orang, atau mungkin minibus. Yang terparkir di depan rumah Park Seojoon hanya sebuah VW Kombi, sebagaimana yang biasa mereka tumpangi saat pergi ke Gwangpyeong.

"Hyomin noona, mana mobil yang akan membawa kita?" Kai bertanya sambil membantu Hyomin mengeluarkan termos dan tempat nasi dari rumah Park Seojoon. Perempuan itu mengenakan scarf oranye untuk menutupi rambut ikal sebahunya.

"Ya itu, di depan pun." Hyomin menunjuk Kombi yang mulai dihidupkan mesinnya.

"Hah? Dua puluh orang naik itu semua? Mana muat?"

"Bisa naik diatas pun," jawab Hyomin santai.

"Waduh." Kai memandang atap Kombi sembari menggaruk-garuk kepala. "Bukannya Yongdam di dataran tinggi, daerahnya bergunung-gunung?"

"Iya pun. Sejuk dan indah."

"Bukan sejuk dan indahnya, Noona. Naik di atap kombi dijalan berkelok bergunung-gunung apa tidak setor nyawa namanya?" kai masih mencoba membayangkan tingkat bahaya perjalanan kali ini. Dua puluh orang dalam satu mobil dimana sebagian akan duduk di atapnya.

"Ayo, siap berangkat." Sopir membunyikan klakson. Orang-orang yang hendak pergi bergegas menuju kombi. Setelah memastikan semua tas dan perbekalan masuk di mobil, para penumpang mencari tempat duduk.

"Chanwoo, bantu noona naik," seru Hyomin dengan tangan terangkat, meminta bantuan Chanwoo untuk menariknya ke atas atap. "Jiyeon, Krystal, ayo diatas sini pun. Seru pun."

Jiyeon dan Krystal saling pandang, lalu mengangguk.

"Jiyeon jangan duudk diatas, bahaya," seru Kai dari belakang kombi.

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang