21

208 41 33
                                    


:: Selamat Membaca ::


Ketinggian air sungai hari ini sudah dapat dikatakan surut, meskipun masih diatas normal. Setidaknya dibandingkan dengan beberapa hari lalu yang sampai menggenangi halaman Rumah Merah, ini dapat dikatakan kemajuan yang berarti.

Dari permukaan sungai saja kelihatan arusnya kencang. Warna air yang dulunya biru kehijauan, sekarang seperti susu cokelat, membawa endapan lumpur dari daerah-daerah yang dilaluinya.

Yoon Ahjussi sudah mencoba menyeberang sendiri, tapi sepertinya masih berbahaya untuk membawa penumpang. Jadi diputuskan orang-orang belum akan diungsikan hari ini, meskipun sebagian penghuni sudah berkumpul di Rumah Perahu yang sebagian tiang-tiang penyangganya telah terendam.

Di seberang stasiun riset beberapa orang berjaga, siapa tahu sewaktu-waktu diperlukan untuk membantu penghuni stasiun riset menyeberang. Salah satunya Jaerim. Dia hanya dapat memandangi Jiyeon dari tempatnya berdiri tanpa bisa melakukan apapun untuk membawanya ke seberang, sungguh membuatnya tak berdaya.

Jaerim dan Jiyeon saling melambai.

Tadi begitu mendengar Yoon Ahjussi memberitahu Jaerim datang, Jiyeon buru-buru pergi ke Rumah Perahu. Rasa lega menyelimuti hatinya. Ada seseorang disana yang menunggunya, sungguh membuat bahagia.

"Apa benar aku sudah tidak punya kesempatan?" tanya Kai pada Jiyeon. Lalu ia memandang penuh iri pada Jaerim yang tersenyum di seberang. "Aku kurang apa, Jiyeon? Apa memang aku tidak layak untukmu?" lanjutnya.

"Maaf, Kai," kata Jiyeon. "Aku menyayangimu, tapi hanya bisa sebagai teman. Aku tidak bisa memaksa hatiku untuk merasakan lebih dari itu."

"Aku tidak percaya. Kamu bisa membelokkan hatimu dari Myungsoo Sunbae ke Jaerim Sunbae, kenapa tidak bisa membelokkannya padaku?" tanya Kai. Sudah beberapa bulan dia memendam pertanyaan itu, sekarang sudah tidak bisa lagi menyimpannya.

"Apa kamu bilang?" Mata Jiyeon melebar. Nama Myungsoo tidak pernah disebut lagi semenjak lelaki itu pergi, tapi kenapa sekarang Kai mengungkitnya.

"Selain masalah penghasilan, aku tidak kalah dengan mereka. Aku mengenalmu lebih lama, setia padamu, tidak pernah meminta ini-itu. Dan pastinya sungguhan sayang denganmu. Kurang apa lagi? Kamu jahat tidak mau memberiku kesempatan." Kai gusar.

"Iya, aku memang jahat. Maka dari itu jangan meneruskan perasaanmu. Kamu berhak dapat perempuan yang lebih baik daripada aku, Kai."

"Kenapa begitu tanggapanmu? Harusnya kamu bilang 'Oke, Kai, aku akan mencoba. Kita jalan bareng dulu selama disini, lalu setealh selesai proyek nanti kita lihat perkembangannya'. Gitu." Kai makin gusar.

"Maaf, Kai, aku tidak bisa," ucap Jiyeon penuh sesal.

Kai menggeleng-geleng. "Aku memang bodoh." Kai meninggalkan Jiyeon. Dia turun dari Rumah Perahu dan berjalan tergesa ke Rumah Merah. Krystal dan Minho berada dipinggir halaman, mengatur cucian di jemuran.

"Bagaimana, Kai, air sungainya sudah turun?" tanya Minho.

"Belum." Kai yang semula hendak masuk ke Rumah Merah, mengurungkan niatnya. Dia bergabung bersama dua temannya itu. "MJ, kau mau tidak jadi kekasihku?" tidak ada ngin, tidak ada hujan tiba-tiba saja Kai bilang seperti itu, mengagetkan Krystal dan Minho, sampai mereka melongo.

"Tidak," jawab Krystal setelah mencerna permintaan Kai.

"Kenapa?"

"Kamu suka setengah mati dengan Jiyeon begitu, aku tidak mau dapat sisa-sisa penolakan," kata Krystal tanpa perasaan sama sekali. Tidak berempati dengan Kai yang ia tahu sedang putus asa.

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang