20

186 38 19
                                    

:: Selamat Membaca ::


Langkah mereka terhenti di pintu kamar Ruang ICU. Myungsoo menatap Kakek Chun dengan sedikit kesal. Kakeknya tahu dia tidak ingin bertemu ayahnya, tapi kenapa dibawa ke sini?

Myungsoo hampir saja berbalik saat melihat wanita bertubuh kurus keluar dari kamar tersebut. Dia istri ayahnya, Jang Nara. Ibu tiri yang tidak pernah ingin Myungsoo kenal. Raut wajah wanita itu sedih, kelihatannya dia baru saja menangis. Kantung matanya hitam, menandakan dia kurang tidur. Saat Jang Nara melihat keberadaan Myungsoo dan Kakek Chun, bibirnya tersenyum. Ada gurat lega di wajahnya.

"Aku pergi, Haraboji," kata Myungsoo saat wanita itu berjalan menghampirinya.

"Myung." Suara Kakek Chun yang tegas memberi tanda bahwa Myungsoo tidak boleh kemana-mana. Myungsoo mendengus, tidak suka.

"Syukurlah kamu mau datang. Aboji sudah tidak punya banyak waktu." Suara Jang Nara lemah. Tampak sekali kelelahan dan kesedihan menggelayuti dirinya. "Dia ingin bertemu denganmu untuk terakhir kali, Myungsoo."

"Aku tidak mau," jawab Myungsoo. "Haraboji, aku ingin pulang."

"Jangan seperti anak kecil," kata Kakek Chun. "Sampai kapan kamu akan menghindar? Mau kamu menyesal tidak bertemu abojimu tanpa ada penyelesaian? Sekarang bukan saatnya bersikap kekanak-kanakan seperti ini."

"Abojimu membutuhkan maaf darimu, Myungsoo. Sekali ini, tolong temui dia. Biarkanlah dia pergi dengan tenang." Jang Nara tidak sanggup lagi menahan air matanya.

Myungsoo menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. Dia paling tidak tahan melihat air mata perempuan. Ya sudah. Dia akan melakukan apa yang mereka inginkan. Makin cepat diselesaikan urusannya, makin cepat dia bisa pergi.

Sudah berapa lama Myungsoo tidak bertemu Kim Wonhae – ayahnya – Myungsoo lupa. Dia pernah melihat ayahnya dari jauh, tanpa berkeinginan untuk menemuinya. Ayahnya bahkan sering datang di acara-acaranya, tapi Myungsoo tidak pernah peduli. Baginya, sosok lelaki bertubuh tinggi besar itu sudah menjadi orang lain.

Benarkah itu ayahku? Terbaring lemah di ranjang, dengan berbagai peralatan medis menempel di tubuhnya yang sekarang amat kurus. Myungsoo hampir tidak mengenalinya.

Myungsoo melangkah masuk. Seolah tahu orang yang ditunggu sudah datang, Kim Wonhae membuka matanya perlahan. Dengan sorot matanya seolah dia ingin menggapai Myungsoo yang masih berdiri termangu di sebelah ranjang.

Perlahan Myungsoo mendekat, kemudian duduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang. Perasaannya campur aduk tidak karuan. benci, marah, iba, sedih, bergumul di dalam hatinya.

Kamar itu hening. Terlebih tak satu pun dari mereka bersuara. Myungsoo tidak tahu apa yang ingin dia katakan. Di dalam pikirannya, dia akan mengucapkan kata-kata pedas penuh kemarahan. Inilah ganjaran yang harus diterima ayahnya karena telah menyia-nyiakan dia dan ibunya.

Tapi demi melihat mata pasrah yang menatapnya, Myungsoo kehilangan rancangan kata-kata. Bukan sosok ayahnya yang seperti ini yang ingin dia lawan. Lelaki di depannya itu sudah tidak punya kekuatan apa-apa.

"Maaf..."

Suara lirih itu terdengar oleh Myungsoo. Ia mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk, memandang ayahnya lurus. Air keluar dari sudut mata ayahnya, mengalir di pipinya yang cekung.

"Maaf..." Suara pria tua itu terdengar semakin lirih. "Maaf..." ia mengulangi kata itu seiring dengan linangan air mata yang semakin deras.

Myungsoo menahan gejolak di dadanya yang mulai menyesakkan. Emosi yang tersimpan, yang membatu di dalam hatinya, seperti retak dan mulai terpecah-pecah. Juga meminta jalan untuk mengaliri keluar.

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang