23

230 37 31
                                    

:: Selamat Membaca ::



Langkah kedua orang itu melambat saat keluar melewati pintu gerbang Rumah Sakit Mokpo. matahari sudah tergelincir ke arah barat, memancarkan sinarnya yang hangat. Lingkaran gelap menghiasi mata Jiyeon, menandakan dia kurang tidur dan kelelahan, membuat laki-laki dihadapannya tidak sampai hati untuk pergi.

"Sudah, sampai disini saja mengantarnya, Jiyeon. Oh iya, kamu boleh full time menjaga eommamu, tapi jangan lupa juga istirahat. Kalau di kantor tidak banyak pekerjaan, aku pasti akan cuti lebih lama lagi untuk menemanimu." Jaerim menghela napas pendek, masih berat untuk meninggalkan Jiyeon.

"Aku baik-baik saja, Sunbae. Justru aku tidak enak hati pada Jaerim Sunbae yang ikut ke Mokpo mengurus Eomma, padahal Jaerim Sunbae seharusnya sudah berada di Jinju kemarin. Terima kasih sudah begitu baik kepadaku dan keluargaku. Kami hanya bisa membalas kebaikan Jaerim Sunbae dengan doa agar Sunbae selalu dalam lindungan Tuhan, mendapatkan rezeki yang berkah, diberikan kesehatan dan keselamatan..."

Jaerim menggeleng. "Kamu seperti bicara dengan siapa saja. Ini aku, Jiyeon. Jaerim. Orang yang akan melakukan apa saja untukmu tanpa perlu diminta." Jaerim tersenyum lembut. "Tapi aku berterima kasih atas doanya. Kalau boleh minta, masih ada satu harapan yang belum kamu sebut dalam doamu. Semoga aku segera mendapatkan jodoh. Kalau soal itu rasanya hanya kamu yang bisa menjawab."

"Jaerim Sunbae..."

"Maaf, dalam keadaan yang sedang mendapatkan ujian, aku masih saja egois ingin mendapatkan kepastian dimana hatiku berlabuh. Huuff... terus terang aku mulai gelisah, Jiyeon. Kau begitu dekat, tapi kenapa selalu terasa jauh?" Jaerim menatap Jiyeon lekat-lekat. "Sebenarnya adakah aku dihatimu, Jiyeon?"

Jiyeon menunduk, tidak menjawab.

"Apakah diammu karena Myungsoo?"

Pertanyaan Jaerim terdengar seperti guntur yang menggelegar di telinga Jiyeon. Membuatnya tersentak dan mendongak. Tatapannya liar, seperti buruan yang terjebak pemangsa. Sungguh, Jiyeon tidak menyangka nama itu disebut.

"Antara aku dan Myungsoo, kepada siapa hatimu akan memilih?" Jaerim mengejar Jiyeon. "Aku perlu tahu, Jiyeon. Aku berhak tahu, agar aku melanjutkan hidupku."

Bus datang menghampiri mereka. Pintunya terbuka seolah menunggu Jaerim untuk naik. Namun Jaerim tidak kunjung naik dan bus itu pun berlalu.

"Myungsoo meneleponku tadi pagi. Menanyakan keberadaanmu. Aku bilang aku tidak bisa menghubungimu. Aku tidak bohong, aku memang tidak bisa menghubungimu lewat telepon, karena ada bersamamu." Jaerim membela diri. "Dia mencarimu. Aku sadar kamu sedang menghindarinya. Jadi aku menyimpulkan telah terjadi sesuatu diantara kalian. Apalagi dia membawamu pergi meninggalkanku di bioskop waktu itu. Aku tahu pandangan orang yang sedang jatuh cinta, Jiyeon. Aku bisa melihatnya sendiri di cermin."

"Tidak terjadi apa-apa diantara kami." Jiyeon menjawab pelan. "Maaf, Sunbae. Semua ini salahku. Seharusnya aku tidak membuat Sunbae kerepotan."

"Bukan begitu. Aku tidak pernah merasa kerepotan denganmu. Aku melakukannya karena aku menginginkannya. Aku mencintaimu karena itulah yang kurasa." Jaerim menarik Jiyeon menepi agar tidak terganggu orang-orang yang sedang menunggu bus. Agaknya dia baru sadar tempat mereka berdiri bukanlah lokasi yang kondusif untuk bicara dari hati ke hati. "Yang ingin aku tahu sekarang, apakah ada harapan untukku atau tidak. Aku hanya perlu satu jawaban untuk menentukan sikap. Entah aku akan terus mengejarmu atau tetap menunggumu."

"Maksud Sunbae, apapun jawabanku, Sunbae tetap akan menginginkanku?" Jiyeon tetap tidak mengerti maksud kata-kata Jaerim yang baru saja didengarnya.

Jaerim tersenyum tipis. "Aku sangat berharap kau menjadi milikku, aku tidak memiliki opsi lain."

Jiyeon menggigit bibir. "Sejujurnya aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, apalagi Sunbae."

"Jadi apa itu artinya kau menerimaku?"

"Aku tidak bisa menjawabnya...."

"Apa kamu perlu bantuanku untuk bisa menjawab pertanyaanku? Caranya mudah." Tiba-tiba Jaerim mengambil ponsel, lalu menekan beberapa tombol. "Aku akan menelepon Myungsoo. Aku akan bilang aku sudah melamarmu dan kamu telah menerimaku. Halo, Myungsoo. Ucapkan selamat padaku, Kawan. Aku dan Jiyeon..."

"Sunbae, jangan!" Jiyeon tanpa sadar merebut ponsel itu dari Jaerim dan memutuskan teleponnya. Napas perempuan itu memburu, tubuhnya gemetar. "A-aku tidak bisa menerima Sunbae. Aku mencintai Myungsoo."

Tubuh Jaerim seolah kehilangan tenaga. Kepalanya tertunduk sesaat sebelum dia memutar tubuh dan mengacak-acak rambutnya. Untuk beberapa saat Jaerim bergulat dengan emosi yang melandanya.

"Boleh kuminta hapeku?" Jaerim mengulurkan tangan. Dengan penuh rasa bersalah Jiyeon mengembalikan ponsel itu.

"Maaf, Sunbae. Maafkan aku."

"Aku patah hati." Jaerim tersenyum pilu. "Sakitnya lumayan juga." Dipukul-pukulnya dadanya dengan kepalan tangan kiri.

"Maafkan aku, Sunbae." Mata Jiyeon berkaca-kaca.

"Jangan menangis, Jiyeon. Jangan menangis. Tidak perlu juga meminta maaf." Rahang Jaerim mengeras. Matanya juga berkaca-kaca. "Aku akan baik-baik saja. Mungkin aku akan terpuruk selama sepuluh-dua puluh tahun, tapi aku akan baik-baik saja," canda Jaerim pahit.

"Aku sungguh minta maaf, Sunbae." Air mata Jiyeon berjatuhan makin deras.

"Aku harus pergi sekarang." Jaerim mengulurkan tangan, berpamitan. Tangan Jiyeon digenggamnya dengan erat, seakan tidak akan dilepaskan. "Baik-baiklah, Jiyeon. Berbahagialah."

"Bagiku Sunbae sangat istimewa," kata Jiyeon sembari menghapus air matanya. "Sunbae pasti akan berbahagia."

"Ya. Love hurts, but i'll live." Jaerim mengangguk. "Sampai bertemu lagi, Jiyeon. Kalau suatu saat kamu berada di Jinju atau di Gurye, jangan lupa menghubungiku. Kita masih akan berteman baik."

"Jaerim Sunbae, terima kasih. Hati-hati di jalan. Jangan lupa berdoa."

"Sampaikan salamku untuk Myungsoo kalau akhirnya kalian bertemu. Annyeonghigyeseyo."

"Annyeonghigaseyo." Jiyeon melambai, mengantarkan kepergian Jaerim dengan senyuman penuh rasa terima kasih.

Lelaki itu pergi diantarkan bus yang datang satu menit setelah ucapan perpisahan itu. Jiyeon tidak beranjak dari tempatnya berdiri sampai Jaerim hilang dari pandangannya.

Jaerim memandang ke arah matahari yang semakin turun. Semburat jingga di langit biru memberikan keindahan yang tidak dapat dirasakannya. Dia mengatakan pada Jiyeon bahwa Myungsoo meneleponnya tadi pagi. Tapi Jaerim tidak mengatakan bahwa Myungsoo sudah meneleponnya sejak Jiyeon pergi meninggalkan Cube Zone. Jaerim tidak bilang Myungsoo-lah yang memberitahunya berita tentang Ibu Jiyeon masuk IGD.

Myungsoo meneleponnya saat Jaerim sudah berada di Mokpo bersama Jiyeon, bertanya dimana posisi mereka agar bisa menyusul. Jaerim mengatakan bahwa dia tidak bisa menghubungi Jiyeon, hanya untuk mencegah Myungsoo datang. Jaerim juga merahasiakan bahwa Myungsoo sudah mengakui bahwa ia jatuh cinta pada Jiyeon. Jaerim bahkan mengalihkan semua telepon dari Myungsoo berikutnya, untuk membuat laki-laki itu kehilangan jejak perempuan yang dicintainya.

Seperti yang Krystal katakan, all is fair in love and war.

Tapi seperti semua orang tahu, love will find its way.






:: bersambung ::


ya spt kata krys all is fair in love, jd jaerim blh2 sj curang bgitu 😊 vote & commentny sllu d tggu.. makasih :)

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang