24

502 53 28
                                    

:: Selamat Membaca ::

Air sungai yang jernih itu mengalir diantara bebatuan besar, menciptakan bunyi gemericik yang sangat menyenangkan untuk didengar. Sudah hampir setengah jam Jiyeon duduk di batu besar, merendam kakinya sambil memandangi pucuk Gunung Yudal yang samar tertutup mega.

Suasana hati Jiyeon sedang baik hari ini. Dua bulan setelah keluar dari rumah sakit karena patah tulang ekor dan syaraf kejepit akibat terjatuh di kamar mandi, kondisi ibunya mulai membaik. Meskipun waktu itu harus rela tidak mengikuti upacara wisuda, Jiyeon tidak menyesal.

"Jiyeon Eonni." Gadis dengan potongan rambut cleopatra muncul dari jalan setapak menuju sungai. "Dicari kemana-mana rupanya disini. Ada tamu mencari eonni." Chaeyeon duduk disebelah Jiyeon.

"Tamu? Siapa, Chae?" Jiyeon menurunkan gulungan celananya sampai mata kaki. Sepertinya bukan Jaerim. Karena kalau Jaerim yang datang, Chaeyeon akan membawanya sekalian menemuinya di sungai.

"Orangnya cakep, euy. Tapi aku tetap lebih suka Jaerim Sunbae sih. Sayang sekali Eonni tidak mau menikah dengan Jaerim Sunbae. Padahal dia sudah bela-belain datang ke Mokpo, ikut mengurus eomma di rumah sakit. Eonni kejam, tahu tidak sih?" Chaeyeon menyenggol Jiyeon sambil cemberut.

"Kamu yang kejam. Sudah tahu aku tidak akan menikah dengan Jaerim Sunbae, kamu masih saja morotin dia, minta dibelikan ini dan itu. Memberi harapan palsu kalau suatu saat hatiku berubah," sindir Jiyeon sambil bersiap pergi. Chaeyeon tertawa geli. "Kamu ikut pulang atau masih mau disini?"

"Disini dulu saja. Nanti kalau aku ikut pulang dikirain mau memata-matai Eonni dan Myungsoo Sunbae. Ah iya, namanya Myungsoo Sunbae."

Oh, Tuhan. Lutut Jiyeon tiba-tiba gemetaran. Dia seperti kehilangan tenaga.

"Siapa sih dia?" tanya Chaeyeon curiga.

Jiyeon meninggalkan Chaeyeon tanpa memberi jawaban.

Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Jiyeon tidak dapat berkonsentrasi untuk menyusun kata-kata yang akan dia ucapkan bila bertemu Myungsoo nanti. Dia belum bisa memberikan alasan yang tepat mengapa telepon, e-mail, SMS, dan kakaotalk dari Myungsoo selama ini tidak pernah dibalasnya. Dia belum bisa mengatakan mengapa dia melarang teman-temannya memberikan alamatnya pada laki-laki itu. Otaknya terasa kacau.

Jiyeon mendengar suara tawa dari apartemen sederhana yang ditinggalinya bersama Ibunya dan Chaeyeon. Apartemen sempit yang tidak memiliki banyak perabot dengan cat dinding yang sudah kusam, itulah yang mampu mereka miliki saat ini.

"Jiyeon kenapa berdiri di depan pintu saja? Ayo kemari." Ibunya melambai, meminta Jiyeon yang berdiri di pintu bergabung dengan mereka.

Myungsoo sontak berdiri begitu menyadari Jiyeon ada disitu. Pandangannya tidak beralih dari Jiyeon begitu perempuan itu berjalan, sampai kemudian duduk disebelah ibunya. Pandangan yang membuat Jiyeon merinding dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Eomma rebahan di kamar dulu ya, capek duduk daritadi. Santai-santai saja disini, Nak Myungsoo. Anggap saja rumah sendiri." Kim Taehee bangun dari duduknya. "Tidak perlu dibantu. Eomma bisa sendiri, Jiyeon." Ia meninggalkan ruang tamu yang sekaligus ruang makan dan dapur itu dengan senyum tersungging.

Suasana sepi sesaat. Hanya kicauan burung terdengar menyemarakkan sore yang sedikit berangin itu.

"Tempat ini sangat indah." Myungsoo membuka pembicaraan. "Sejuk, tenang, damai, dan menyenangkan. Frustasiku karena lama mencari keberadaanmu jadi hilang begitu melihatmu."

Jiyon menelan ludah. Berusaha tidak terbuai dengan kata-kata Myungsoo. Benarkah laki-laki itu terus mencariku? Mustahil, batinnya. "Ada keperluan apa datang kemari, Myungsoo-ssi?"

LOVE LETTER AND JIRISANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang