I'll be your cryin' shoulder
I'll be love suicide
I'll be better when I'm older
I'll be the greatest fan of your lifeI'll Be - Edwin McCain
◆◇◆
"Cel?"Suara dari Raka mengejutkan Marsela yang tanpa ia sadari tengah melamun. Matanya mengerjap, kemudian menolehkan kepala guna menatap Raka yang duduk di sampingnya.
Saat ini jam istirahat. Mereka sedang berada di kantin untuk mengisi perut. Tadinya, Marsela ingin tetap di kelas, memilih untuk duduk tenang atau mungkin membaca buku yang baru saja ia beli. Sebenarnya, Marsela bukanlah tipe orang yang gemar membaca buku. Namun daripada mati bosan, jauh lebih bijak untuk mengalihkan perhatiannya dengan membaca.
"Kenapa, Ka?" Marsela bertanya diiringi senyuman. Terlihat aneh, sebenarnya. Tapi Raka tidak membahasnya lebih lanjut. "Itu batagornya diabisin. Bentar lagi jam istirahat abis. Gue nggak mau lo kelaparan. Pelajaran matematika itu berat, apalagi otak lo yang kapasitasnya nggak seberapa, jadi lo butuh banyak tenaga."
"Oh, lo baik banget. Bisa ngaca nggak Bapak?" Sela membalas dengan nada menyindir, yang dibalas Raka dengan tawa.
"Udah. Makin sadar kalau Raskara Putra Adinata memang setampan dan seluar biasa itu."
"Bodo amat."
Batagor. Entah kenapa hanya dengan mendengar nama makanan itu membawa ingatan Marsela pada memori beberapa tahun lalu.
"Enak, kan?" Dirinya bertanya dengan nada ceria yang terkesan berlebihan. Sedangkan gadis di depannya hanya membalas dengan anggukan ringan sembari fokus pada sepiring batagor yang beberapa saat lalu Marsela bawa. "Gue bilang juga apa. Batagornya Mang Ujang emang nggak ada yang ngalahin deh. Makanya gue mulai berhenti bawa bekal buatan Mama, biar pas makan siang bisa beli ini."
Marsela sadar bahwa dia adalah tipikal anak yang banyak omong. Beberapa temannya bahkan berkata jika dia cenderung cerewet. Marsela sih tidak ada masalah dengan julukan itu, selama dia bisa mengendalikan diri dan tau situasi, memang apa salahnya jadi orang cerewet.
"Oh iya," Marsela yang semula fokus menghabiskan batagor miliknya menatap ke arah Kinar. "Gue nggak tau kenapa lo harus menambahkan kalimat "yang terkenal itu" ketika menyebut nama gue."
"Hm... karena kenyataannya lo memang terkenal, kan?" Marsela tertawa pelan. "Coba aja deh tanya anak-anak satu sekolahan, siapa yang nggak kenal sama Kinar Margaratri."
"Gue nggak merasa begitu."
"Tentu. Yang bisa nilai kan orang lain, Nar."
"Tapi lo pasti tau kan gue dikenal sebagai anak yang kayak gimana?"
"Hng... ya gitu deh." Marsela tertawa kikuk. Tentu saja dia tau. Kinar anak 9-E yang kurang ajar. Kinar anak 9-E yang dipanggil lagi sama guru konseling. Kinar anak 9-E yang abis nonjok teman cowoknya. "Tapi bukan berarti lo sepenuhnya buruk, kan? Kata Mama gue, di dunia ini, nggak ada jahat yang abadi, juga nggak ada baik yang sempurna. Mungkin, lo punya alasan kenapa sampai dipanggil ke ruang konseling. Mungkin, lo punya alasan kenapa sampai bisa bikin tulang hidung si bocah bangor Aldo patah. Gue rasa lo nggak bodoh dengan melakukan tindakan tanpa alasan."
Marsela menyelesaikan pidato panjangnya dengan senyuman. Tangannya terangkat, menepuk pelan bahu Kinar. "Gue tau lo nggak seburuk yang mereka katakan. Gue yakin."
Marsela menghela napas. Mengingatnya membuat rasa bersalah kembali mendera batinnya. Sejak dulu, Kinar bukanlah anak yang terbuka, Marsela bahkan harus tahan dengan kalimat pedas yang terkadang tidak sengaja gadis itu lontarkan semasa awal-awal mereka berteman. Kinar juga bukan anak yang ceria. Ditambah kejadian setahun lalu, Marsela menyadari bahwa cewek itu semakin tertutup dan mengasingkan diri dari pergaulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disenthrall
Teen Fiction(v.) set free Sedari dulu, ia sadar bahwa tawa dan bahagia tidak pernah berlaku dalam hidupnya. Sedari dulu, ia percaya bahwa pada akhirnya, dia adalah satu-satunya yang dapat dia percaya dan harapkan untuk bertahan. ...