Keduanya duduk berselonjor dan menyandarkan punggung di tembok. Tidak mempedulikan kotor yang akan menempel di seragam sekolah mereka.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Kinar maupun Marsela. Pandangan mereka terfokus pada hamparan rerumputan yang kini memenuhi halaman di hadapan mereka.
Sesekali masih terdengar suara terisak dari Marsela, yang kemudian hanya akan dibalas Kinar dengan lirikan dari sudut mata. Masih ada sedikit aura kikuk dari keduanya. Dan itu wajar. Mengingat terakhir kali mereka duduk sedekat ini tanpa Kinar merasa ingin menyumpahi Marsela adalah sekitar satu setengah tahun lalu.
"Tau nggak lo," suara Marsela membuatnya dihadiahi tatapan tanya dari Kinar. "Bahkan ketika Papa bilang kalo dia sama Mama mau cerai, gue nggak nangis kayak gini."
Mendengarnya membuat kedua alis Kinar terangkat, yang kemudian disusul suara tawa dari Marsela. "Beneran. Mungkin karena beberapa bulan sebelumnya, gue udah sadar kalo pernikahan mereka nggak akan bertahan lama. Kayak, ya gue udah pasrah aja kalo emang mereka mau pisah."
"Kenapa lo mikir gitu?" Kinar bertanya dengan tulus.
Marsela mengedikkan bahu. "Karena menurut gue, jauh lebih baik mereka pisah daripada maksa barengan tapi mereka udah nggak bisa mentolerir keberadaan satu sama lain. Bosen aja gue denger mereka ribut mulu tiap hari."
Alasan Marsela memang masuk akal.
Menurut Kinar, sangat konyol ketika ada pasangan yang memilih bertahan 'demi anak-anak' padahal setiap hari hanya diisi dengan ribut dan adu mulut. Niat yang awalnya dimaksudkan untuk membuat anak merasa lebih baik, justru membuat mereka semakin tertekan.
"Masuk akal."
"Mungkin juga karena gue udah memprediksi," Marsela tertawa miris. "Beda sama kepergian lo, Nar. Gue nggak pernah berpikir bahwa hari Senin, tanggal 25 Maret satu setengah tahun lalu, lo milih buat mutusin persahabatan kita. Lo bahkan nggak mau dengerin penjelasan gue. Lo cuma bilang kalo lo kecewa dan lo benci sama gue. Dan kata-kata lo yang bilang bahwa lo nyesel temenan sama gue nggak pernah gue lupain."
Kinar meneguk ludahnya dengan susah payah, merasa tenggorokannya tercekat mendengar ucapan Marsela. Dia tidak tau bahwa kalimat yang dia ucapkan karena dibutakan amarah pada Papa masih saja Marsela ingat.
"Gue… minta maaf." Ucap Kinar.
Di sebelahnya, Marsela terbeliak. Mungkin gadis itu tidak akan menyangka bahwa Kinar akan meminta maaf. Mengingat betapa tingginya harga diri Kinar. Namun tidak lama, Marsela kembali rileks. Ia mengangguk, dengan senyuman tipis terbit di kedua sudut bibirnya.
"Gue tau kalo lo pasti kecewa saat itu, Kinar. Dan gue nggak marah. Gue nggak pernah marah sama lo. Gue cuma merasa lo salah karena lo nggak mau dengerin penjelasan gue," Marsela menatapnya. "Dan gue minta maaf. Gue minta maaf karena nggak bisa gagalin pernikahan mereka. Gue tau di antara kita berdua, lo adalah yang paling tersakiti gara-gara hal itu."
"Lo nggak perlu minta maaf atas sesuatu yang bukan kuasa lo, Sela," Kinar menarik napas kemudian mengeluarkannya perlahan. "Yang patut disalahkan cuma mereka. Karena keegoisan itu, mereka nggak sadar udah nyakitin orang lain. Jujur aja, gue nggak peduli kalo Papa mau nikah lagi. Gue cuma benci sama dia karena dia berani menikah saat Mama sedang sekarat. Dia bahkan nggak mau repot-repot jengukin Mama. Gue tau kalo Mama beneran cinta sama dia, itu sebabnya kenapa gue marah waktu itu. Gue cuma merasa kalo pernikahan mereka nggak adil buat Mama. 𝘚𝘩𝘦 𝘥𝘦𝘴𝘦𝘳𝘷𝘦𝘴 𝘣𝘦𝘵𝘵𝘦𝘳. 𝘔𝘶𝘤𝘩 𝘣𝘦𝘵𝘵𝘦𝘳."
"𝘚𝘩𝘦 𝘥𝘪𝘥. 𝘚𝘩𝘦 𝘴𝘵𝘪𝘭𝘭 𝘥𝘰𝘦𝘴." Marsela menyetujui.
Kesenyapan kembali melingkupi. Pikiran mereka sama-sama terisi bagaimana menyedihkannya kisah hidup yang harus mereka alami. Serupa tapi tidak sama. Seperti, Marsela lebih beruntung karena dia tidak perlu mengalami rasa sakit seperti Kinar. Orang tua mereka bercerai, dan Papa Marsela masih hidup hingga sekarang. Terakhir kali Kinar dengar, Om Hardi sempat akan menikah lagi. Namun karena saat itu Kinar masih sensi jika mendengar apapun yang berbau Marsela, dia tidak begitu ambil pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disenthrall
Teen Fiction(v.) set free Sedari dulu, ia sadar bahwa tawa dan bahagia tidak pernah berlaku dalam hidupnya. Sedari dulu, ia percaya bahwa pada akhirnya, dia adalah satu-satunya yang dapat dia percaya dan harapkan untuk bertahan. ...