[K I N A R]
Gue nggak tau sudah berapa lama berada di sini. Sam masih dengan tenang duduk di samping gue. Melihat dari lampu rumah sakit yang terasa lebih terang daripada cahaya matahari seperti beberapa jam lalu, gue yakin bahwa langit sore sudah tampak.
"I'd go home if I were you." Gue memiringkan kepala dan menatap Sam. Cowok itu menatap gue dengan satu alis terangkat. "Why?"
Gue mengedikkan bahu lemah. "Lo sudah terlalu lama berada di sini. Lo mungkin bakal bikin orang tua lo khawatir."
Sam tidak lantas menjawab. Cowok itu justru menghela nafas pelan sebelum mengubah cara duduknya, mencari posisi yang lebih nyaman. "They won't. Dan gue nggak mungkin ninggalin lo sendirian di sini."
"Kenapa?"
"Nggak ada sesuatupun yang terasa nyaman dari rumah sakit, Pumpkin." Matanya menatap ke arah langit-langit, kemudian melanjutkan. Nadanya masih setenang dia yang biasanya. "Lagipun, gue cuma nggak pengen lo merasa sendirian."
"Gue nggak tau kalau apa yang gue rasakan sepenting itu."
"For me, it does." Balasnya singkat.
Gue nggak menjawab. Sam sendiri kembali diam, memilih membiarkan obrolan di kejauhan mengisi kesunyian di antara kami berdua. Seharusnya gue merasa nyaman. Karena sejak dulu, gue sadar bahwa sepi adalah cara lain untuk mengatakan hal-hal dengan lantang. Namun anehnya, gue nggak merasa begitu. Gue nggak menemukan diam antara gue dan Sam adalah hal yang menyenangkan. Gue ingin dia bicara, apapun, asal itu membuat gue mendengar suaranya.
Gila. Gue bener-bener udah gila.
"Lo lapar?" Sam menegakkan punggungnya. "Sekarang udah jam setengah enam sore, dan mengingat terakhir kali lo makan adalah pagi tadi, gue nggak mau mendengar lo bicara omong kosong."
Gue berusaha menahan senyuman yang memaksa muncul. "Yeah. Are you?"
Sam mengangguk. "Stay still. Gue akan cari makan di luar dan bawa kesini. Anything you want?"
Gue menggeleng pelan sebagai jawaban. Niat Sam sudah lebih dari cukup, dan menuntut dia untuk melakukan ini-itu rasanya sedikit nggak tepat.
Gue membiarkan Sam bangkit dan berlalu tanpa kata-kata, kembali menikmati kesunyian di koridor rumah sakit dengan kepala yang penuh dengan kemungkinan yang sangat tidak gue inginkan.
Terkadang, gue merasa bahwa gue dituntut untuk tumbuh dewasa lebih awal dari yang seharusnya. Ada masa dimana gue baik-baik saja dengan itu, namun tidak jarang gue marah dengan keadaan. Gie ingin merasakan seperti apa yang anak-anak umur 17 tahun rasakan. Gue juga ingin pergi keluar dengan teman atau sekedar bermain-main dan menikmati waktu bersama mereka dengan candaan-candaan yang hanya kami mengerti.
Tapi kemudian, gue sadar bahwa nggak semua orang hidup seberuntung itu.
"Kinar?"
Suara Sam dan aroma milo panas yang masih mengepul membuat gue kembali ditarik dari lamunan. Gue mengerjap, kemudian duduk lebih tegap dan menatap cowok itu.
Sam tersenyum, sembari menaruh kotak styrofoam yang masih menyebarkan rasa hangat, juga sebuah cup. "Lo melamun lagi."
"Hm.." Gue menerima cup yang Sam angsurkan. Membuat jemari gue dan miliknya tidak sengaja saling bersentuhan. "Thanks."
"Don't mention it."
Gue menikmati makanan gue dalam diam. Sam sendiri sibuk dengan pikirannya, cowok itu bahkan memejamkan mata pelan seolah menikmati isi kepalanya. Selama hampir 20 menit tidak bersuara, gue mampu menghabiskan separuh makanan yang ada di pangkuan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disenthrall
Подростковая литература(v.) set free Sedari dulu, ia sadar bahwa tawa dan bahagia tidak pernah berlaku dalam hidupnya. Sedari dulu, ia percaya bahwa pada akhirnya, dia adalah satu-satunya yang dapat dia percaya dan harapkan untuk bertahan. ...