"Apa pelajaran saya membuat kamu bosan, Kinar?"
Suara dari depan kelas seperti kembali menarik Kinar dari lamunan. Kinar memperbaiki postur tubuhnya di tempat duduk, matanya balas menatap pria berkacamata yang kini memandang ke arahnya dengan sebelah alis terangkat. Ia mengacuhkan anak-anak seisi kelas yang kini memusatkan perhatian mereka kepadanya.
"Maaf, Pak." Kinar berkata pelan. Tidak ada setitikpun nada bersalah ketika ia mengucapkan kalimat itu.
"Maaf kamu saya terima." Pak Danu, guru matematika yang mengajarnya menganggukkan kepala ke arah pintu. "Akan lebih baik kalau kamu melamun di luar. Saya nggak mau pelajaran saya semakin membuat kamu bosan."
Kinar tidak membantah. Tanpa sepatah kata pun, ia beranjak dari kursi, masih dengan tidak acuh oleh tatapan menilai yang ia terima dari penghuni kelas yang lain. Ia berjalan dengan tenang menuju pintu keluar.
Koridor tampak sepi. Tidak heran, mengingat pelajaran pertama baru saja dimulai tidak lebih dari setengah jam yang lalu. Kinar sama sekali tidak menyesal atas hukuman yang ia dapat pagi ini. Pikirannya justru sibuk dengan hal lain, seperti; kapan Mama akan bangun atau kenapa Papa masih saja enggan bersikap selayaknya seorang ayah pada umumnya.
Well, Kinar tidak tau bagaimana seorang ayah bersikap yang seharusnya kepada anak. Namun yang ia tau, Papa tidak pantas untuk menerima predikat sebagai orang tua yang layak. Kecuali, tidak mengindahkan keberadaan Kinar termasuk kedalam hitungan ayah yang baik.
Kinar terlalu sering bertanya-tanya. Ia berusaha berhenti. Namun acap kali Kinar bertatap muka dengan lelaki itu, Kinar tidak bisa untuk tidak menerka-nerka, sekiranya kesalahan apa yang pernah ia lakukan hingga ayah memperlakukannya seperti tidak lebih dari sebuah beban.
"Kinar?"
Suara itu bukan milik Pak Danu, karena jelas saat ini, Kinar sedang duduk di bangku yang berada di dekat aula sekolah.
Dan sialnya, jika boleh memilih, daripada orang yang kini berdiri di hadapannya, Kinar akan lebih memilih Pak Danu yang kembali menegurnya.
Marsela berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Kinar ingin segera beranjak, menghindar sejauh mungkin dari gadis yang dulu pernah menyandang label sahabat dalam hidupnya. Menatap Marsela membuat semua kenangan buruk yang tidak ingin Kinar ingat seperti tumpah ruah di depan mata. Memaksa Kinar untuk kembali menelan mentah-mentah rasa pahit yang coba ia lupakan.
"Kinar ngapain lo di sini?" Nada yang keluar dari mulut Sela tidak salah, bahkan terkesan ramah. Tapi perasaan muak yang terlanjur bercokol dalam dadanya membuat Kinar seperti tidak mampu mengontrol balasannya.
"Bukan urusan lo!" Kinar memincingkan mata, berharap hal itu cukup untuk membuat Sela menjauh. Namun, bersahabat selama hampir 3 tahun seperti membuat Sela kebal dengan nada kasar yang Kinar keluarkan.
"Lo benar. Tapi sekarang masih jam pelajaran, lo nggak seharusnya disini kan?" Sela hendak berjalan mendekat, namun seketika berhenti ketika Kinar dengan kasar bangkit dari tempat duduknya. "Gue bilang bukan urusan lo, anjing! Ribet banget sih lo!"
Ada setitik penyesalan saat kalimat itu keluar tanpa mampu Kinar tahan. Sekelebat sakit terlintas kala Kinar menatap mata Sela. Namun Kinar sudah terlalu muak, membuatnya kembali mengacuhkan penyesalannya yang sempat muncul.
Kinar berjalan ke arah yang berlawanan dari tempat Sela berdiri. Namun, langkahnya berhenti kala suara Sela menyapa telinganya.
"Kinar, gue..." Gadis itu tergagap. "Gue minta maaf... gue minta maaf atas segalanya. But, please, could you talk to me? You know I don't want it. Can we talk and sort the things up?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Disenthrall
Novela Juvenil(v.) set free Sedari dulu, ia sadar bahwa tawa dan bahagia tidak pernah berlaku dalam hidupnya. Sedari dulu, ia percaya bahwa pada akhirnya, dia adalah satu-satunya yang dapat dia percaya dan harapkan untuk bertahan. ...