Prolog

10.1K 226 4
                                    

Aku berjalan pelan di atas tanah yang basah karena hujan, mataku tertuju ke sebuah makam yang tak jauh dari tempat dimana tubuhku ini berdiri. Aku melangkah ke arahnya, tertulis nama Arini, di batu nisan yang ada di situ.

Aku menghampiri makam itu, dengan perasaan penuh penyesalan. Bayang-bayang tentang wajah perempuan cantik itu mulai muncul di pikiranku, dan itu membuatku semakin merasa bersalah.

"Rin ...," ucapku menyapanya, sembari tersenyum.

Kutaburi gundukan tanah itu dengan bunga mawar yang tadi aku beli di pasar, lalu kulantunkan ayat-ayat doa untuknya. Suasana terasa hening, apalagi hanya aku sendirian manusia yang masih hidup di tempat ini. Begitu tenang, tak seperti hati dan pikiranku selama beberapa hari yang lalu.

"Arini ...," sapaku sekali lagi.

Aku tahu ia tak mungkin akan membalas perkataanku, tapi kuyakin dia pasti menjawabnya dari alam sana.

"Maaf ya, aku udah lama banget nggak datang ke sini ... Kamu pasti kangen kan sama aku? Sama, aku juga kangen sama kamu Rin."

Angin berhembus pelan, membuat suasana pemakaman ini menjadi terasa lebih tenang.

"Eh, aku mau curhat dong sama kamu ... Walaupun kesannya aku cuma datang pas lagi butuh, tapi gak apa-apa kan? Aku yakin kamu nggak bakal mempermasalahkan itu, dan sebenarnya hal ini juga yang bikin aku lupa buat datang ke sini."

Angin bertiup lebih kencang, membuat dedaunan kering rontok dari pohonnya. Suara nyaring dari gesekan setiap dahan terdengar merdu, serta kicauan burung liar yang bersahutan dari atas pohon. Sepertinya alam sedang mencoba untuk membuat obrolan ini jadi lebih romantis.

"Waktu itu aku kenal sama cewek, beda sekolah sih ... Dia cantik, mirip sama kamu, tapi lebih cantik kamu sih sebenarnya Rin, hehe."

Sambil bicara, aku mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar makamnya. Aku jadi ingat kalau tak membawa sapu lidi, jadi hanya ini yang bisa kulakukan untuk membersihkan tempatnya.

"Aku kenal dia waktu kelas satu semester dua, dan nggak lama setelah itu aku pacaran sama dia ... Dia orangnya baik kok, selalu jadi penyemangatku setiap harinya, sama seperti kamu dulu Rin," ucapku sembari terus mencabuti rumput itu satu per satu.

Aku menghela nafas yang panjang, lalu menatap nama Arini yang terpampang jelas di batu nisan.

"Oh iya Rin, kamu dulu sebelum pendaftaran bilang ke aku kan? Kalau nanti aku udah masuk SMK, lebih baik punya temen dikit aja, yang penting semuanya bisa dipercaya ... Kamu inget itu kan?Sekarang aku udah kelas tiga, aku punya banyak temen, dan mereka semua orang yang baik."

Wajah Arini tiba-tiba terbayang lagi di pikiranku, dan secara tak sengaja air mata mulai membasahi pipiku.

"Rin, aku kangen kamu ... Ada banyak hal yang belum sempet aku omongin ke kamu, ada banyak hal yang pengen aku ceritain ke kamu."

Aku menangis, ini sama seperti beberapa hari yang lalu, dengan alasan yang sama. Aku tak pernah sesedih ini sebelumnya, kurasa ini wajar terjadi karena seseorang yang aku rindukan telah berada di alam yang berbeda.

"Aku pengen kamu ada di sini lagi, Rin ... Walau cuma sebentar, aku bakal seneng banget bisa ketemu kamu, sedetik aja gak apa-apa."

"Itu gak mungkin, Erlang," tiba-tiba terdengar suara perempuan dari belakang.

Aku mengenali suara itu, dia adalah perempuan yang akhir-akhir ini selalu ada untukku. Orang itu adalah sahabat Arini sejak kecil, ia mengenalnya jauh lebih lama dariku.

Aku menoleh ke belakang, "Zahra?"

Zahra berjongkok, mengikuti posisi tubuhku saat ini.

"Udah, gak usah sedih ... Kalau Arini liat kamu kaya gini, dia juga nggak bakalan suka, Lang."

Kuusap air mataku, kurasa benar apa yang Zahra katakan itu. Aku tak boleh menangis di hadapannya, aku yakin Arini tak mau melihatku meratapinya. Walaupun sebenarnya menangis di kala hati sedang sedih seperti saat ini terasa sangat nikmat sekali.

"Kamu udah sehat, Lang?" tanyanya padaku mengubah topik pembicaraan.

"Belum sepenuhnya sih, Ra ... Tapi kalau buat jalan gini ya gapapa, mungkin besok aku udah bisa berangkat sekolah."

"Semua itu jangan sampai terulang lagi ya, Lang ... Cukup kali ini aja, dan juga jadiin pelajaran buat kedepannya," tuturnya.

"Hehe, iya Ra ... Lagipula, aku gak mau lagi bikin repot semua orang, termasuk kamu juga."

Zahra memandang makam Arini, sudut bibirnya terkembang seketika, sepertinya ia teringat akan sesuatu hal di masa lalu.

"Aku inget waktu sebelum dia berangkat ke Semarang, Arini bilang sama aku, dia nyuruh aku buat jagain kamu ... Dulu aku mikirnya apa gitu, kamu kan bukan anak kecil dan bisa jaga diri sendiri, kurasa mungkin ini yang dia maksud."

"Apa sih, Ra ... Jangan ngaco deh," jawabku tak percaya.

"Hehehe, tapi bener loh dia bilang gitu ke aku waktu itu ... Dan aku juga udah janji sama dia buat jagain kamu."

"Hmm," balasku dengan wajah memelas.

Sebenarnya, Arini juga pernah bilang padaku untuk menjaga Zahra. Hanya saja, aku tak ingin mengatakannya. Entah kenapa, firasatku berkata bahwa lebih baik itu menjadi rahasiaku dengan Arini. Aku benar-benar tak menyangka jika tak lama setelah Arini berkata seperti itu, dia sudah dipanggil kembali oleh sang maha pencipta.

"Aku nyesel, hampir satu tahun terakhir nggak pernah datang ke sini ... Atau mungkin lebih lama, aku bener-bener lupa sama dia," ucapku penuh penyesalan.

"Sekarang udah dua tahun ya sejak dia ninggalin kita, Lang ... Aku nyesel, nggak bisa penuhi janjiku ke dia waktu itu."

Kulihat air mata Zahra menetes membasahi pipinya, aku tak bisa membayangkan betapa besar rasa penyesalannya.

"Nggak usah nangis, Ra ... Kalau Arini lihat kamu begitu, dia nggak bakal suka," ucapku sambil menepuk pundaknya.

"Iya, Lang."

Aku mengenal Arini baru sejak kelas satu SMP, sedangkan Zahra sudah mengenalnya bahkan sejak sebelum mereka berdua masuk SD. Aku yakin rasa sedihku saat ini jauh tak sebanding dengan apa yang dirasakan Zahra.

"Lang, kamu ditungguin Wiwik di rumahmu ... Aku lupa, harusnya aku bilang itu sejak tadi," ujarnya.

"Nanti aku temuin dia."

"Sekarang aja, kasihan dia udah lama nunggu kamu di sana."

"Gapapa, biarin aja."

"Lang," gertak Zahra dengan tatapan tajam ke arahku.

"Eh eh, iya ... Aku ke sana sekarang, hehe."

Jujur saja, aku malas menemuinya. Tapi mau bagaimana lagi. Itu perintah Zahra dan aku tak mungkin bisa membantahnya. Di sisi lain, aku berfikir saat ini Zahra sedang ingin berbicara tanpa aku di sini.

Di sepanjang perjalanan ke rumah, bayang-bayang tentang apa yang terjadi terjadi belakangan ini teringat di pikiranku. Sebenarnya jika Zahra tak datang ke makam tadi, aku ingin menceritakan hal ini kepada Arini. Tentang orang yang ingin aku temui sekarang juga, dan hal ini pula yang menyebabkanku tak pernah datang ke makamnya.

Semua itu berawal saat aku berpacaran dengan Wiwik, atau lebih tepatnya saat aku putus dengannya.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang