Zahra, aku, Fikri, dan Nissa, kami berempat bertemu di taman kota. Kami janjian untuk mendiskusikan masalah ini di sini, sore ini setelah pulang sekolah.
"Maaf, Ra," ucap Fikri di hadapan Zahra, yang saat ini matanya sudah berkaca-kaca.
"Kenapa Fik, kamu nggak pernah cerita?" tanya Zahra sambil mengusap kedua bola matanya.
Fikri meletakkan tangan kanannya di pipi kekasihnya itu, entah apa maksudnya tapi kurasa saat itu ia hanya sedang mencoba untuk menenangkan Zahra.
"Maaf Ra, ini karena aku sayang kamu, aku nggak mau kamu terlibat disini."
Zahra semakin sedih, Isak tangis mulai terdengar dari mulutnya, aku belum pernah melihat Zahra sesedih ini. Melihat Zahra yang dipenuhi dengan kesedihan, saat itu pula kepiluan yang ia miliki juga ikut melukai perasaanku. Tapi sayangnya, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya memilih diam saja sembari mendengarkan setiap percakapan mereka.
"Tapi nggak gitu juga caranya, Fik ... Aku gak akan marah kalau kamu ceritain hal ini sejak awal, dan kenapa harus Erlang yang bilang bukan kamu?" kata Zahra pelan.
"Ra, aku minta maaf ... Aku gak...."
"Fikri...," panggil Zahra setengah berteriak, ia memotong apa yang ingin Fikri katakan sebelum ia menyelesaikan ucapannya. Lalu ia melepaskan tangan Fikri dari pipinya.
Kupandangi wajah Fikri, dari raut wajahnya aku bisa melihat jika ia sedang menyimpan perasaan bersalah yang begitu besar saat itu. Ya, kupikir memang seharusnya begitu.
"Aku bukannya gak suka kamu deket sama cewek lain sekalipun itu Nissa, mantanmu, dan juga Erlang bilang kemarin kalau kamu harus jaga Nissa dengan alasan yang udah kamu ceritakan ke dia itu."
Fikri diam tanpa suara, begitu pula Nissa yang berdiri di sampingnya.
"Aku cuma mau kamu cerita, Fik," kata Zahra melanjutkan ucapannya.
"Maaf kalau aku nggak pernah cerita, aku cuma ragu kalau...."
"Fik, seharusnya kamu nggak usah ragu ... Aku dulu pernah bilang kan kalau aku paling suka denger setiap hal yang kamu ceritain, apalagi cerita tentang keseharianmu," ucap Zahra sembari tersenyum, tapi aku bisa melihat bahwa itu adalah senyum penuh dengan kebohongan.
Lima menit berlalu, tak ada suara diantara kami sama sekali selama itu. Bagaikan sepi diantara keramaian, hanya ada suara motor dari jalan dan obrolan beberapa orang di sekitar. Fikri, Zahra, Nissa, mereka bertiga sibuk dengan pikiran masing-masing. Dan hanya aku di sini yang tak tau harus melakukan apa.
"Kamu sama sekali nggak perlu maafin aku ... Silahkan kalau kamu mau membenciku atau apapun keputusanmu, tapi segala hal yang akan kamu lakukan setelah ini aku akan tetap selalu menyayangimu."
Aku, Nissa, Zahra, dibuat terkejut dengan kalimat yang diucapkan Fikri barusan. Bagaimana tidak, sejak awal dia selalu meminta maaf kepada Zahra setiap ia berbicara. Tapi kali ini berbeda, Fikri malah mempersilahkan Zahra untuk membenci dirinya. Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi setelah itu, dan tebakanku benar. Ya, Zahra menangis lebih parah dari sebelumnya.
Aku menepuk pundaknya berkali-kali, berusaha untuk menenangkan Zahra yang sedang bersedih. Ia terus saja menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan merunduk, membuatku tak kuasa saat melihatnya seperti itu.
"Ra, udah, jangan nangis ...," ucap Fikri.
"Fik," panggilku menghentikan ucapan Fikri.
Meskipun aku tak kuasa melihatnya bersedih seperti itu, aku tetap akan membiarkan Zahra mengeluarkan semua air mata yang ia punya. Karena ia pernah bilang kepadaku bahwa dengan menangis, bisa membuat Zahra menjadi sedikit lebih tenang.
"Gapapa, biarin aja," ucapku melanjutkan apa yang aku katakan sebelumnya.
Fikri kembali terdiam setelah aku berkata seperti itu. Keadaan kembali hening diantara kami berempat, entah berapa menit tapi saat itu adalah waktu yang cukup lama untuk kami mendengar suara isak tangis Zahra kala itu. Aku tak pernah berfikir ia bisa sesedih ini sebelumnya.
"Erlang, ayo pulang," ajak Zahra setelah ia puas berurusan dengan air matanya.
Tanpa sepatah kata lagi ia bergegas pergi ke parkiran dimana motor yang kami gunakan untuk kemari berada, tanpa memperdulikan orang yang sejak tadi bicara dengannya.
"Zahra ...," panggil Fikri mencoba menahan kepergiannya, tapi Zahra tetap tak berhenti maupun menoleh sedikitpun.
"Fik, udah, biarin dia tenang aja dulu," ucap Nissa.
"Iya, bener kata Nissa, Fik," sahutku.
Fikri hanya diam setelahnya, ia kembali merasa sangat bersalah. Aku percaya saat itu yang ada di pikirannya hanyalah Zahra saja, terlebih ia sedang punya masalah dengannya. Ia pasti merasa bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan besar hingga membuat Zahra seperti itu, dan juga ia merasa memiliki keyakinan bahwa Zahra tak akan pernah memaafkannya. Walaupun aku juga merasa seperti itu, aku tetap saja tak bisa marah kepadanya. Karena bagiku, maksud Fikri itu baik. Hanya saja cara yang ia lakukan itu salah, dia tidak berterus terang pada Zahra.
"Antar dia pulang sekarang juga, Lang, jaga dia," kata Nissa kepadaku.
"Oke, nanti kalau ada apa-apa aku kabari."
"Iya."
Aku langsung menghampiri Zahra, kulihat ia sudah menundukan kepalanya di stang sepeda motorku.
"Ra, ayo pulang," ucapku lembut sambil menepuk pelan pundak kirinya.
Tak ada jawaban darinya, dan aku masih berdiri di sampingnya hingga beberapa menit kemudian. Lalu Fikri dan Nissa datang ke tempat dimana aku berada, menghampiri kami berdua yang saling mengheningkan diri. Melihat orang yang disayanginya seperti itu, Fikri mendekati Zahra dengan tatapan tak kuasa.
"Gak usah Fik, biarin dia tenang aja dulu," ucapku membuat Fikri menghentikan langkahnya.
"Tapi ...."
"Udah gak papa, tenang aja, semua bakal baik-baik saja."
"Iya Fik, biarin aja dulu, kalau kamu ganggu dia nanti malah bisa memperparah keadaan," sahut Nissa.
"Kalian pulang aja dulu, Zahra biar aku aja yang urus," kataku mencoba meyakinkan Fikri.
Fikri hanya bisa terdiam, sembari memandang kekasihnya yang sedang bersedih karena dirinya sendiri.
"Tolong jaga Zahra, Lang," pinta Fikri kepadaku setelah ia berfikir beberapa detik.
Kemudian mereka berdua pergi entah ke mana, tapi saat ini aku yakin jika mereka akan langsung pulang ke rumah masing-masing.
Kutepuk pundak Zahra sekali lagi, dan ia langsung mengangkat kepalanya. Lalu dia bergeser mundur ke jok sisi belakang, mempersilahkanku untuk mengendarai sepeda motor yang ia duduki itu. Tanpa ada basa-basi lagi, aku langsung melakukannya ke arah dimana kos Zahra berada.
Tak ada obrolan yang terucap sepanjang perjalanan, Zahra nampak sangat murung saat sesekali kuperhatikan wajahnya dari kaca spion.
Seperti yang pernah aku katakan sebelumnya. Bahwa saat hati Zahra terluka, hal itu juga seolah-olah ikut melukai perasaanku juga. Andai jika Fikri bukanlah teman seperjuanganku, ataupun teman satu tongkrongan denganku, mungkin aku sudah memukul kepalanya tanpa ada lagi basa-basi sejak pertama kali aku mengetahui permasalahan itu. Apapun alasannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/198259269-288-k796389.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Novela JuvenilIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"