Aku menegur Fikri yang sedang duduk di luar warung sambil melamun, entah apa yang sedang merasuki pikirannya. Tapi ia malah mengacuhkan sapaanku, dan aku malah mulai merasa jengkel kepadanya karena hal itu.
"Fikri lagi ngapain sih?" tanyaku ke Nizam yang sedari tadi sudah ada di tongkrongan.
"Gak tahu tuh, tanya aja sendiri, lagian aku juga gak mau tahu kok."
"Padahal baru kemarin dia ulang tahun, langsung banyak pikiran aja," ucap Tohir menyahuti.
Aku hanya mendengus pelan, menyalakan sisa sebatang rokok yang kumatikan saat aku merokok di kamar mandi sekolah waktu istirahat kedua tadi. Langit mulai meneteskan titik-titik air dari atas sana, membasahi bumi seperti biasanya. Karena memang, saat ini adalah musim hujan. Musim dimana dulu waktu kecil aku sering dimarahi oleh orang tuaku karena basah kuyup saat pulang dari bermain bersama teman-temanku, ah aku jadi merindukan masa itu.
Suara petir menggelegar dari langit dan ditambah lagi keheningan di warung yang membuat tongkrongan terasa sepi, membuatku memikirkan hal yang aneh-aneh. Kadang memang seperti itulah aku saat hujan datang, pikiranku menjadi pergi kemana-mana. Dan dari situlah, tiba-tiba aku punya firasat yang tak baik, namun segera kutampik hal itu untuk tidak memikirkannya lagi.
"Sepi amat kayak kuburan, angetin badan yok!" ajak Angga.
Aku paham, dia mengajak teman-temannya termasuk aku untuk minum minuman beralkohol dan mabuk. Sekilas setelah mendengar ajakannya yang seperti itu, aku kembali teringat saat aku terkapar tak berdaya karena alkohol beberapa waktu sebelumnya. Ya, saat Wiwik membawa laki-laki yang sampai saat ini aku tak tahu dia siapa ke tongkronganku.
Walaupun memang suhu udara terasa dingin, aku menolak ajakannya. Aku lebih suka minum kopi hitam sambil merokok santai daripada mabuk-mabukan seperti temanku yang lain. Tapi sayang, sekalipun aku menolak itu, rencana minum-minuman haram itu tetap berjalan.
Sebotol, lalu dua botol, ditambah lagi jadi tiga botol, minuman itu habis dalam waktu yang cepat dan sedikitpun aku tak menyentuhnya sama sekali. Sedari pertama kuperhatikan Fikri lah yang minum paling banyak. Ia mulai kehilangan kesadaran lebih awal daripada teman-teman yang lain, dan meminta Tohir untuk menambah takaran minum di setiap gelas yang menjadi gilirannya. Tohir mencekokinya, agar ia semakin mabuk dan bertingkah aneh. Dan benar saja, ia mulai berulah seperti orang gila. Berbicara lucu dan itu membuat kami semua tertawa, Tohir pun terus saja memberinya minuman keras itu agar ia menjadi semakin mabuk.
"Hoeeekkkk ... Hoeek," suaranya tiba-tiba saat kami bercanda lepas.
Ia memutahkan seluruh isi perutnya karena terlalu banyak minum, aku sudah menduga hal seperti ini terjadi sejak awal ku memperhatikan Fikri. Aku langsung berdiri dan bergerak ke arah dimana tubuhnya berada, membantu dia untuk memutahkan semua alkohol dari perutnya. Ia pun terkulai lemas, lalu tidur di lantai tanpa memperdulikan seragamnya yang menjadi kotor.
"Kamu sih Hir, ngasih dia minum kebanyakan," ucapku menyalahkan Tohir.
"Salah sendiri dia ikut-ikutan, hahaha," jawab Tohir tanpa rasa bersalah.
"Alah kamu juga seneng kalau lihat dia kaya gitu kan?" sahut Nizam.
"Ya iya sih, hahaha."
Canda dan tawa kami tetap berjalan, membiarkan Fikri yang terkapar tak berdaya di lantai.
Sebenarnya jika dipikir-pikir, tongkronganku itu berada tak jauh dengan kantor polisi. Tapi sepanjang kenakalan yang kami lakukan di sana, polisi menjamah warung hanya beberapa kali saja. Pernah sekali kami diberi surat edaran oleh mereka dimana isinya bertujuan supaya kami tidak nongkrong di tempat itu lagi, tapi kami malah cuek dengan ancaman mereka dan tetap meramaikan warung itu seperti hari-hari biasanya. Saat ini aku tak ingin polisi datang kemari, tapi hal yang lebih tak kuinginkan adalah kenakalan ini terus berlanjut lagi.
Melihat Fikri, aku jadi terpikirkan tentang masa dimana aku pernah berada di posisi seperti dirinya. Lemas dan tergeletak di lantai, aku rasa dulu aku juga sama persis seperti ini. Dikerjai oleh teman-temanku dan itu menjadi kesenangan tersendiri bagi mereka.
Jam dinding berputar terasa begitu cepat, dan Fikri tak segera sadar juga. Bahkan sampai satu-persatu temanku mulai pulang meninggalkannya, dan hanya aku dan Fikri saja yang masih ada disana. Sebenarnya aku sudah pulang tadi, tapi aku kemari lagi karena tak ada yang menunggu Fikri.
Satu setengah jam setelah aku tiba, Fikri baru terbangun tadi tidurnya yang panjang.
"Eh Lang, kok masih disini?" tanyanya bingung.
"Tadi sih udah pulang, tapi katanya kamu masih belum bangun juga, jadi aku kesini deh."
"Sekarang jam berapa?"
"Jam sembilan, mau pulang, ayo aku anter," ucapku sambil melihat jam yang melingkar di tangan kiriku.
"Nggak usah deh, nanti aja, kamu masih mau nongkrong disini kan?"
"Gapapa nih pulangnya nanti malem?"
"Kalau kamu mau pulang ya gapapa, aku nanti aja."
"Yaudah deh, aku temenin."
Aku tahu, di saat seperti ini, pikiran Fikri jadi tak bisa berfungsi dengan baik seperti biasanya. Dan katanya saat setelah mabuk adalah waktu yang paling pas untuk curhat, karena apa yang ada di hati dan pikiran akan terdengar lebih jujur saat diungkapkan. Entahlah, tapi kata teman-temanku seperti itu, dan jujur saja aku juga pernah mengalaminya.
"Eh Fik, kemarin kamu dikasih kado apa sama Zahra?" tanyaku memancing kejujurannya.
"Jaket, itu yang aku gantung di sebelah jaketmu," ucapnya sambil menunjuk jaket hitam di deretan paku yang menancap di dinding warung.
"Ohh, bagus ya."
"Iya, seneng banget rasanya pas kemarin aku buka kado itu di rumah, sampai gak bisa tidur gara-gara kepikiran."
"Kepikiran apa?" tanyaku mencoba mencari tahu.
Aku bertanya seperti ini agar tahu, apa maksud Fikri kemarin hanya bersikap biasa saja saat menerima kado itu. Kuharap ada jawaban yang baik darinya, dan juga kuharap Zahra kembali tersenyum lagi saat nanti aku menceritakannya.
"Besok kalau dia ultah, aku ngasih kado apaan ... Kado yang bisa bikin dia kepikiran sampai gak bisa tidur kaya aku gini," ucapnya sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Novela JuvenilIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"