Aku Bingung

433 18 0
                                    

Siang hari yang terik, langit terlihat cerah saat aku dan teman-teman kelasku mulai keluar dari lingkungan sekolah. Sekarang sudah satu bulan lebih, sejak terakhir aku bertatap muka dengan Wiwik. Entahlah, waktu berjalan terasa begitu cepat. Aku tak lagi mengharapkan Wiwik kembali seperti sebelumnya, tak ada lagi rasa galau dan kesedihan yang mendalam. Aku pun juga sudah merasa biasa saja saat berkomunikasi dengannya lewat chat Whatsapp, kadang kami berdua juga saling telefon. Aku tak lagi merasa seperti dulu, saat pertama hubunganku dengan perempuan itu berakhir. Mungkin hatiku memang sudah bisa merelakannnya, walaupun terkadang aku masih sering teringat sesuatu hal tentangnya.

Zahra dan Shania juga sering main ke tongkronganku, semua teman-temanku akrab dengan mereka berdua, hanya saja Shania masih pendiam seperti saat pertama kali aku berjumpa dengannya. Semua terasa sangat berbeda saat ini, seperti halnya sebuah dunia baru yang telah dimulai. Jadi, apakah seperti ini rasanya move on?

Aku tak pergi ke tongkrongan, tapi aku diminta Zahra untuk menjemputnya di sekolahnya. Katanya, dia ingin sekali ngobrol denganku, membicarakan sesuatu hal yang kupikir penting. Dan tanpa waktu lama setelah aku keluar dari sekolahku, aku sudah tiba di tempat yang Zahra minta untuk menjemputnya.

"Lang, langsung ke taman," kata Zahra dengan berjalan tergesa-gesa keluar gerbang.

"Emang ada apa sih?"

"Udah, langsung jalan aja, ntar juga kamu tau sendiri."

Aku yang kebingungan langsung menuruti saja apa yang Zahra inginkan, karena dari sorot matanya ia nampak sedang serius. Padahal jika boleh jujur, aku ingin sekali bertemu dengan Shania. Tanpa perlu basa-basi lagi, kami berdua meluncur ke taman tempat biasanya kami nongkrong saat SMP dulu, atau tempat dimana pertemuanku dengannya waktu itu.

"Kamu tunggu disini aja, nanti kalau aku perlu kamu langsung ku kabari," katanya saat sampai di parkiran taman.

"Tunggu, aku ikut."

"Gak usah, kamu nggak usah khawatir, gak bakal ada apa-apa kok."

"Aku mau ikut," ucapku menekankan setiap kata yang keluar dari mulutku.

"Lang, please, gak usah khawatir."

Aku diam berfikir, Zahra terlihat lebih serius dari sebelumnya.

"Oke, kalau ada apa-apa langsung kabari aku."

Zahra mengangguk, dan langsung pergi meninggalkanku di parkiran taman begitu saja. Aku pun langsung membuka Whatsapp menanti pesan masuk darinya, dan tetap memantau Zahra dari kejauhan. Sepertinya, dia sedang bertemu dengan laki-laki, namun aku tak terlalu paham dia siapa karena wajahnya terhalangi oleh dedaunan yang ada di tempat itu.

Tiba-tiba ada pesan yang masuk di hpku, tapi setelah kubuka ternyata itu bukan dari Zahra. Melainkan Wiwik yang sudah lebih dari sebulan tak bertemu denganku.

"Lang, aku kok kaya lihat orang mirip kamu ya di parkiran taman kota ... Apa jangan-jangan itu kamu? Kalau iya, aku kesana sekarang boleh? Aku kangen sama kamu, pengen ketemu," bunyi pesan itu.

Aku berfikir sejenak sebelum membalas pesan itu, apa mungkin aku akan membolehkan Wiwik ke tempat dimana aku sedang berada. Sedangkan aku di sana bersama Zahra yang sejujurnya tidak suka dengan Wiwik, karena ia masih kesal dengannya saat aku bercerita tentang lelaki bajingan yang Wiwik bawa ke tongkronganku. Kurasa tak mungkin aku membiarkan mereka bertemu, karena aku yakin akan ada keributan jika itu terjadi.

"Ah kamu salah orang, lagi pula aku sekarang di rumah."

Dulu, saat masih pacaran, aku kerap kali berbohong pada Wiwik seperti itu. Bilangnya di rumah, padahal sedang bermain. Tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat bersalah telah melakukannya.

"Owh, yaudah deh kalau gitu, aku kira kamu," katanya seperti sedang kecewa.

"Bukan kok, itu bukan aku."

Tak ada lagi balasan apa-apa setelahnya, yang pasti aku tetap menunggu pesan Zahra dan tetap memantaunya dari kejauhan. Tak ada tanda-tanda bahwa Zahra akan mengabariku, dan setelah ku menunggu lama akhirnya dia datang juga ke tempatku berada. Ia berjalan bersama seorang lelaki yang tak asing bagiku, ia adalah Fikri, teman satu tongkronganku.

"Eh Fik, ngapain kamu kesini?" tanyaku.

"Buat ketemu Zahra, emang kenapa Lang?"

"Ada apa?"

"Mau tahu aja eh kamu, Lang."

Zahra pun mulai angkat bicara untuk menghentikan perdebatan kami, sebenarnya ku bertanya seperti itu karena aku merasa curiga dengannya. Sebab Zahra melarangku untuk ikut dengannya, padahal ia pasti tahu bahwa aku berteman dekat dengan orang yang ia temui saat itu. Tapi ya sudahlah, aku tak perlu pikir panjang tentang mereka berdua. Karena nantinya aku pasti tahu alasan mereka bertemu dengan cara seperti itu.

"Aku pulang sama Erlang aja ya Fik, kamu duluan aja gak apa-apa," ucap Zahra.

Fikri nampak berfikir, dari wajahnya dia terlihat tak rela akan hal itu. Aku heran, sebenarnya ada apa dengan mereka berdua.

"Yaudahlah, hati-hati."

"Lang, ayo pulang," kata Zahra kepadaku saat Fikri mulai beranjak pergi menjauh.

"Bentar, sebenarnya ada apa sih kalian?" tanyaku mulai mengintrogasinya.

Zahra menghela nafas yang panjang, kurasa dia sedang merasa kecewa jika dilihat dari sikapnya yang seperti itu. Itu membuatku semakin bingung dengannya, dan juga khawatir jika sedang terjadi sesuatu padanya. Dan juga mengapa ia melarangku untuk ikut dengannya, padahal ia hanya bertemu dengan Fikri temanku.

"Lang, sebenarnya aku ingin cerita sama kamu sekarang ... Tapi nggak disini juga, kamu ada waktu buat aku kan? Kamu nggak lagi pengen nongkrong sama temen-temenmu kan? Aku butuh kamu sekarang, kamu bisa kan?" tanya Zahra berturut-turut, dan itu membuatku semakin kebingungan.

"I... Iya, aku... Bisa kok, santai aja" balasku terbata-bata.

"Ayo pulang."

Kami berdua langsung melaju ke kos Zahra, melaju dengan cepat tanpa memperdulikan Fikri yang ada di sana.

Di perjalan, aku sama sekali tak mengajaknya berbicara sepatah katapun. Biarlah ia menikmati lamunannya, walau aku tak tau apa yang ia pikirkan. Namun aku yakin bahwa apa yang ada di otaknya itu tentang Fikri, tapi kenapa orang itu terlibat di persoalan Zahra hingga seperti ini. Biasanya bila ada masalah, Zahra selalu tenang dalam mengatasinya. Tapi apakah ini bukan urusan yang seperti sebelumnya, apakah ini lebih parah?

Aku bersumpah, jika ada apa-apa dengan Zahra hingga ia meneteskan air mata. Aku pasti tak akan memaafkan orang yang melukainya, sekalipun itu temanku sendiri, dan pastinya aku akan memberi pelajaran berharga untuknya. Aku tahu Zahra bukan wanita yang gampang menangis, tapi jika sampai mengeluarkan air mata. Siapapun yang membuatnya seperti itu tak bisa aku toleransi, walau orang yang melakukannya adalah orang yang dekat denganku.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang