Temanku Semua Menyenangkan

479 16 0
                                    

"Lang, temen-temen kamu semuanya asyik," ucap Zahra saat perjalanan pulang. Kami berdua masih diatas motor, melaju belum terlalu jauh dari tongkronganku. Aku lupa apa saja obrolanku dengannya bersama teman-temanku, tapi itu cukup lama karena tanpa kusadari waktu itu sudah pukul dua siang.

"Maksudmu?" tanyaku agak bingung.

"Ya, aku kalau nongkrong sama temen-temen sekolahku pasti di Cafe, yang tentu saja ...."

"Elite kan maksudmu? Apa? Mau bandingin tongkronganku sama tongkronganmu?" balasku memotong pembicaraannya.

"Bukan itu maksudku, kalau di Cafe itu harga makanan sama minumannya itu mahal ... Jadi,"

"Yaaa, tongkrongan elite kan? Kalau dibandingin sama tempat aku nongkrong ya kalah jauh," ucapku kembali memotong perkataannya.

Zahra memukul kepalaku dengan keras, mungkin jika saja aku tak memakai helm akan terasa sakit sekali akibat dari pukulan itu.

"Isshhh, dengerin aku dulu bisa nggak sih?" ucapnya emosi. Sebenarnya memang sudah menjadi rencanaku, aku suka ekspresi wajahnya saat kesal.

"Iya iya, aku dengerin, hehe."

"Kalau aku nongkrong sama temen-temenku itu pasti di tempat kaya gitu, dan mereka bakal terpaku sama hp masing-masing karena disana ada Wifi ... Kan jadi percuma, udah beli makan minum mahal tapi jarang banget ada obrolan, mereka malah ngobrol sama orang lain ... Kalau cuma mau pakai Wifi, di rumahku kan juga ada, kenapa nggak sekalian aja main ke rumahku, kan malah jadi gak usah ngeluarin uang banyak buat beli makanan di sana," jelasnya panjang lebar.

"Hp itu emang bisa mendekatkan kita sama teman yang jauh, tapi kalau gitu caranya ya malah menjauhkan teman yang ada di sekitar kita kan?," ucapku sambil menoleh ke belakang.

"Beda kalau di tongkronganmu, dari tadi aku amatin nggak ada satupun yang keluarin hp ... Kalian semua ngobrol, bercanda, ketawa bareng, dan tongkrongan kaya gitu yang aku pengen dari dulu ... Andai aja temen-temenku semua kaya gitu."

"Sekarang mereka udah jadi temen kamu kok, Zahra," ucapku sambil tersenyum.

"Apa? Secepat itukah?" tanyanya terkejut.

"Ya lihat aja nanti atau besok, bakal ada temenku yang chat kamu dan follow akun instagrammu."

"Nomerku jangan kamu sebar ke temenmu ya, pokoknya jangan."

"Santai aja, aku tahu kok."

Ia tersenyum, aku pun juga sama. Motor yang kukendarai terus melaju menerjang jalanan yang ramai kendaraan lain berlalu-lalang.

"Tentang omongan temen-temenku tadi, nggak usah kamu ambil hati ya, Zahra," ucapku saat berhenti di lampu merah.

"Maksudnya?"

"Ya pokoknya omongan yang kamu denger di tongkrongan, jangan sampai baper apalagi sakit hati ... Mereka kalau bicara emang suka keterlaluan."

"Omongan siapa? Omongan yang mana?"

"Pokoknya semuanya."

"Hahaha, enggak lah ... Aku tau kok kalau mereka itu cuma bercanda, bisa dilihat dari ekspresi wajah mereka."

Aku tak tahu bagaimana ia bisa membedakan mana omongan yang serius dan seperti apa yang bercanda hanya melihat dari raut wajah, sepertinya Zahra bukan perempuan yang bisa ditipu dengan mudah. Sejujurnya, aku sudah tahu sejak dulu tentang itu, namun sampai sekarang aku masih penasaran bagaimana caranya. Andai saja aku bisa melakukannya, mungkin aku tak akan pernah merasa sakit hati karena dibohongi oleh Vira waktu itu. Tapi biar saja lah, itu sudah terjadi dan rasa sakit di dalam hati karenanya tetap saja membekas sekalipun aku sudah memaafkannya.

"Ngomong-ngomong, kamu pernah nggak sih dibuat cemburu sama mantan kamu?" tanyaku setelah kami berdua diam sejenak.

"Pernah sih, setelah itu aku jadi nggak percaya sama omongan laki-laki."

"Maksudnya?"

"Semua laki-laki itu sama aja, Lang ... Semuanya nggak bisa dipercaya, semuanya jahat."

Raut wajahku langsung berubah seketika saat itu, dari pembicaraanku itu membuatku teringat akan Wiwik. Apakah aku sudah jahat kepada mantan pacarku itu, sehingga dia hanya membalas apa yang pernah aku lakukan. Ya, mungkin aku memang jahat, dan egois. Aku memaksa Wiwik untuk tetap bersamaku saat ia mencintai orang lain, dan aku terlalu memaksakan kehendakku padanya. Kurasa aku memang laki-laki yang jahat dan egois untuk Wiwik, pantas saja dulu dia tak mau bersamaku lagi.

"Hahaha, aku cuma bercanda ... Nggak semua laki-laki di bumi ini jahat kok, ada juga yang baik, misalnya kamu," ujar Zahra setelah melihat perubahan sikapku.

"Aku laki-laki yang baik ya? Apa kamu nggak salah?"

"Kok jadi kesitu Lang bicaranya? Itu bukan maksudku."

Aku menghembuskan nafas yang panjang, lalu terdiam tanpa suara lagi dan begitu juga Zahra. Entah mengapa obrolan yang asyik itu tiba-tiba berubah menjadi keheningan antara kami berdua, hanya ada suara berbagai macam kendaraan di jalan yang kami lalui itu. Di pikiranku, aku masih saja memikirkan kata-kata yang diucapkan oleh Zahra. Aku tak sakit hati, tapi kurasa aku memang seperti itu, laki-laki yang jahat. Namun di sisi yang lain, aku terpikir tentang Wiwik, tentang masalaluku dengannya.

Sampailah aku di kos, tak lama setelah percakapan terakhirku dengan Zahra.

"Maaf ya soal yang tadi, kalau itu buat kamu tersinggung," ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya ke arahku.

"Soal apa?" tanyaku pura-pura bingung.

"Omonganku."

"Enggak, aku tahu kok maksudmu."

"Lang ...." panggilnya dengan nada yang panjang di akhir.

"Apa?"

"Nggak semua cowok itu jahat, banyak laki-laki yang baik di dunia ini, kamu salah satunya," tegas Zahra sambil menatapku dalam.

Aku terdiam sejenak, berpikir apakah itu benar demikian? Mungkin baginya seperti itu, tapi jika dipikir-pikir, kurasa tidak juga sih.

"Ahh udahlah nggak usah dibahas lagi, aku tahu kok kamu cuma bercanda, dan aku diem kaya gini juga nggak serius juga, hehe," balasku sembari tertawa kecil.

"Beneran?" Zahra tak percaya.

"Alah nggak usah serius juga, yaudah deh aku mau pulang, terus mandi ... Cepetan sana kamu masuk, badan kamu masih banyak keringat tuh."

"Ngusir nih ceritanya?" tanyanya dengan tatapan sinis.

"Kalau mau ikut aku mandi di rumah sekalian juga nggak papa kok."

"Sialan," balasnya dengan wajah memerah, lalu ia pun bergegas untuk pulang ke kosnya.

"Hahaha, lain kali main lagi ke tongkronganku ya."

"Iya, besok aku ajak temenku sekalian ... Aku duluan ya."

Setelah aku pergi, aku mulai merenungi lagi perkataannya. Sejahat apakah aku ini, hingga hubunganku dengan orang yang aku sayangi hancur dengan mudahnya. Tapi jika pada kenyataannya Wiwik lah yang mengakhiri hubunganku dengannya tanpa alasan yang jelas, lalu siapa yang jahat disini? Kurasa bukan aku, ataupun Wiwik. Tapi yang jahat adalah kenyataan.

Ah kenapa susah sekali untuk sekedar move on. Apakah orang lain juga akan seperti ini saat kenyataan yang mereka alami sama dengan apa yang terjadi padaku?

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang