Hari ketiga sejak pertama kali masuk rumah sakit, pihak rumah sakit sudah memperbolehkan aku pulang besok pagi. Senyum kecil tergambar di bibirku saat mendengar kabar itu dari perawat. Tiga hari berturut-turut Zahra terus berada di tempat ini, dan sepanjang itu ia tak kenal lelah untuk menjaga diriku yang terbaring lemas dengan tubuh tertempel beberapa perban ini.
"Zahra, sekarang pulang aja gapapa ... Lagian kan besok aku udah keluar dari rumah sakit, kamu juga pasti capek kan ngurusin aku selama tiga hari ini?" pintaku kepadanya.
"Nggak, aku nggak bakal pulang sebelum kamu keluar dari sini juga," ucapnya ngotot.
Sudut bibirku kembali terkembang karena ucapannya, entah sudah berapa kali dia membuatku tersenyum seperti itu sejak pertama kali kami berdua ada di sini.
Wiwik dan Vira sama sekali belum datang kemari, padahal aku sangat mengharapkan mengharapkan mereka berdua. Aku ingin tahu kebenaran dari apa yang dibicarakan beberapa orang sebelum semua ini terjadi, maksudnya dari Candra dan mantannya Wiwik kemarin. Sejujurnya, aku tak percaya dengan ucapan kedua orang itu. Hanya saja apa yang mereka katakan selalu menghantui pikiranku selama ini, aku ingin sekali mereka datang. Hpku hilang saat aku pingsan karena dihajar waktu itu, jadi aku tak bisa memberitahu mereka berdua tentang kondisiku. Yang bisa kulakukan hanyalah mengandalkan inisiatif teman-teman untuk memberitahukan kabar tentang ini kepada Wiwik dan Vira.
"Vira kok belum datang ya?" tanya Zahra membuatku sangat terkejut, karena ucapannya tiba-tiba terdengar di telingaku saat aku memikirkan hal itu.
"Ra? Kamu bisa baca pikiran orang lain atau gimana sih?"
"Maksudnya?"
"Barusan aku lagi mikir Wiwik sama Vira, eh kok kamu langsung ngomong soal mereka?"
"Kebetulan aja, Lang ... Tadi dia ngomong sama aku, mau dateng jenguk kamu jam empat sore, sekarang udah mau jam lima kok belum kasih kabar."
"Kamu punya nomernya Vira?"
"Enggak sih, tapi Fikri ngasih nomerku ke Vira tadi ... Terus dia langsung tanya kamu ada di ruang mana dan kamar nomer berapa," jelasnya.
Entah siapapun yang memberi kabar tentang kondisiku kepadanya, aku hanya bisa berterima kasih kepadanya di dalam hati. Tapi Zahra tadi tak bilang jika Wiwik akan kesini, kenapa hanya Vira yang diucapkannya? Apa ia masih tak tahu jika saat ini aku sedang sakit? Dan benar saja, tak lama setelah itu orang yang baru saja dibicarakan datang juga. Hanya Vira saja, sendirian.
"Erlang, kok kamu nggak ngasih tahu sih kalau kamu di rumah sakit? Malahan aku baru tahu tadi siang waktu main ke tongkronganmu," ucapnya khawatir.
"Hpku hilang, Vira ... Kalaupun masih ada juga pasti udah rusak."
"Ya ampun, kok bisa jadi gini sih? Kamu tahu perbuatan siapa? Ini harus diusut tuntas, Lang!"
"Ya, tahu ... Orangnya adalah Candra, mantanmu itu."
"Hah???" ucap Vira berteriak kencang.
Bahkan teriakan Vira membuat orang yang ada di kamar sebelah terkejut sama halnya denganku, dan juga menegurnya agar tak membuat kebisingan tapi dia tak peduli dengan itu. Aku pun hanya bisa membiarkannya, karena suara itu sudah lewat beberapa detik yang lalu.
Sejujurnya sejak hari pertama aku ada di sini, entah sudah berapa kali orang itu menegur teman-temanku yang datang menjenguk untuk tidak berisik. Bahkan sampai-sampai dia memanggil dokter untuk mengusir mereka, dan setelah semua temanku itu pergi, aku hanya bisa cengengesan di hadapannya.
"Dia cuma balas dendam waktu aku mukulin dia di kafe itu, kurasa sekarang udah impas, hehe," ucapku spontan.
"Ya nggak bisa gitu dong, Lang."
"Udahlah lupain aja, lagi pula besok aku juga udah keluar ... Dan juga, ada suatu hal yang lebih penting daripada itu Vir."
"Emang apaan?"
"Waktu aku berantem sama Candra, dia bilang kalau kamu maksa dia buat nembak Wiwik, bener gitu? Kalau bener, kenapa? Dan kamu sama sekali nggak asing kan dengan mantannya Wiwik? Aku kemarin ketemu sama dia, dan dia juga bilang kalau Wiwik sama mantannya itu kejebak di situasi yang nggak menguntungkan ... Sekarang, aku yakin itu pasti ada hubungannya sama kamu, itu bener kan?" tanyaku bertubi-tubi.
Vira terlihat kebingungan dengan pertanyaan itu, aku yakin dia sangat terkejut karena apa yang disembunyikan olehnya akhirnya terbongkar juga.
"Emm, aku keluar dulu aja ya Lang ... Takutnya gangguin kalian ngobrol, ini pasti lagi serius, kan?" ucap Zahra bahkan sebelum Vira menjawab pertanyaanku.
"Nggak usah, Ra ... Kamu disini aja, di luar nggak ada tempat duduk."
Mau tak mau, Zahra hanya bisa menuruti apa yang aku katakan. Dan seketika kulihat raut wajah Vira seperti sedang panik, semua orang juga begitu jika hal yang disembunyikannya terungkap dan dipertanyakan kebenarannya.
"Candra juga bilang kemarin sebelum kami berantem di lapangan, kalau sebenarnya yang buat aku sampai di sini itu kamu ... Kamu bisa jelasin itu?" tanyaku walau ia belum menjawab pertanyaanku yang pertama.
Vira menarik nafasnya dalam sekali, lalu dia baru angkat bicara saat raut wajah paniknya itu perlahan menghilang.
"Lang, sebelumnya aku minta maaf tentang semuanya ... Aku nggak nyangka kalau apa yang kulakukan waktu itu bisa buat kamu jadi kaya gini, mungkin emang bener kata Candra kalau kamu bisa di sini itu akulah penyebabnya," ucapnya dengan suara seperti sedang menahan tangis.
"Apapun yang kamu lakuin, aku maafin kamu Vir ... Tapi kamu harus jelasin apa yang dibilang sama mereka."
"Wa, wa ... Waktu itu, aku mau jelasin ini sama kamu di kafe ... Ta, tapi Candra datang," jelasnya dengan terbata-bata dan sesenggukan.
Zahra yang melihat itu langsung berdiri menghampiri Vira dan merangkulnya, ia pun juga menepuk-nepuk lengan perempuan yang hampir menangis itu dengan perlahan agar sedikit lebih tenang.
"Vir, jangan dipaksain ... Kamu bisa cerita nanti, kalau kamu udah tenang," ucapnya.
Beberapa saat kami bertiga hanya diam tanpa obrolan, suara yang terdengar di kamar ini hanyalah hembusan nafas Vira yang tak beraturan karena menahan isak tangis. Sebenarnya aku tak tega melihatnya seperti itu, tapi biar bagaimanapun aku harus mengetahui jawabannya sekarang juga.
"Lang," Vira memanggilku tiba-tiba.
Ia mengambil nafas yang panjang lagi, lalu mulai angkat suara.
"Aku maksa Wiwik buat jadian sama Aziz, itu karena dulu kamu selalu ada buat dia, kamu selalu buat dia merasa bahagia, kamu selalu buat dia merasa ingin terus di sampingmu, kamu selalu buat dia ... Nggak pernah berhenti menyayangimu."
Aku baru tahu jika mantannya Wiwik itu bernama Aziz, orang yang bertemu denganku waktu itu di samping kantin. Tapi apa peduliku, biar bagaimanapun dia juga menjadi bagian dari penyebab rasa sakit di hatiku selama ini.
Entah bagaimana, aku sangat bingung dengan penjelasan Vira. Bukankah hal seperti yang kulakukan itu bagus? Aku masih tak mengerti apa maksudnya, apakah ini sebuah permainan kata. Ah kurasa tidak, sepertinya dia memang berkata apa yang ada. Tapi kenapa itu alasannya? Apa tak ada alasan lain yang cukup rasional untuk dikatakan? Sekalipun aku tahu dia sama sekali tidak berbohong, tapi tetap saja itu adalah hal yang patut dipertanyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Teen FictionIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"