Aku semakin terkejut dengan pernyataan Zahra, tapi mengapa semua itu harus jadi rahasia?
"Aku merahasiakan ini semua, biar kamu nggak perlu lihat aku nangis buat kesekian kalinya ... Aku nggak mau kamu terlibat ke semua sakit hati yang aku alami ini, Lang."
Isak tangis Zahra mulai terdengar dari mulutnya, tapi dia tetap saja masih berbicara.
"Aku udah sering buat kamu repot, selalu berkeluh kesah sama kamu, aku nggak mau terlihat lemah di hadapanmu ... Dan sekarang, kamu malah buat aku jadi kaya gini."
Zahra tiba-tiba berjongkok, lalu membenamkan kepala dengan kedua tangannya. Isak tangisnya masih terdengar dari mulutnya, aku jadi merasa iba dengannya. Aku baru bisa menyadari maksud Zahra merahasiakan persoalan yang ia alami, supaya aku tak melihat hal seperti ini. Melihatnya menangis seperti itu seolah juga ikut melukai perasaanku, tapi kenapa aku bodoh sekali, aku malah yang membuat isak tangisnya pecah di hadapanku sendiri.
Aku mendekati Zahra, dengan penuh perasaan bersalah. Aku menyentuh pundaknya sambil berjongkok mengikutinya, lalu ia menatapku dengan mata yang berwarna merah setelah itu. Kukatakan maaf, tapi ia malah memeluk tubuhku. Isak tangisnya semakin pecah, aku rasa segala yang kulakukan adalah hal yang sangat menyakitkan untuknya. Dan itu membuatku merasakan hal yang sama.
"Maaf, Lang," ucapnya dengan tangisan yang ditahan.
"Udah, gapapa, menangislah sekeras-kerasnya kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik."
Ia memelukku erat sembari mengeluarkan semua air matanya lama sekali, sampai ia melepaskannya dan tak lagi ada tangisan dari mulutnya. Sejujurnya aku juga terkejut karena ini kali pertama aku dipeluk oleh seorang perempuan selain ibuku. Walaupun sebenarnya aku sedikit tak suka dengan apa yang Zahra lakukan, tapi aku tetap menunggunya. Karena akulah penyebab Zahra sampai mengeluarkan air mata.
Satu jam setelah ia puas dengan air matanya, kami berdua duduk di lantai ruko, sama-sama menyaksikan keheningan jalanan. Walaupun sudah larut malam, tak ada dari kami berdua yang merasa ingin pulang.
"Kamu nggak seharusnya merahasiakan ini, Ra," ucapku saat ia sudah tenang.
"Maaf, Lang."
"Asal kamu tahu, aku juga pernah seperti ini ... Mencoba untuk menanggung kesedihan yang ada di hati sendirian, dan aku gagal."
"Maksudmu?" tanyanya sambil menatapku.
"Ya, semuanya dimulai saat sikap Wiwik berubah drastis ... Aku selalu mencoba untuk diam aja ketika ada sesuatu hal yang menyakitkan dan itu malah semakin bikin aku sakit hati, sampai aku ketemu lagi sama kamu waktu itu lalu bercerita tentang masalahku, setelah itu aku ...."
Aku sengaja menghentikan ucapanku.
"Setelah itu apa?"
"Aku seperti pertama kalinya menemukan cahaya dari kegelapan yang teramat sangat panjang."
Zahra terkekeh karena ucapanku yang seperti itu, terdengar hiperbola tapi aku memang sengaja mengucapkannya.
"Kamu berlebihan, Lang ... Mana mungkin seperti itu, hehehe," ucapnya masih tertawa karena ucapanku.
"Enggak, aku cuma seneng waktu denger kamu ketawa."
"Kenapa coba?"
"Ya iya lah, daripada denger kamu nangis lebih baik denger kamu ketawa kan?"
Zahra menatap langit malam yang berselimut bintang di angkasa, aku pun juga ikut melakukannya.
"Ra, kenapa kalian putus? Apa gara-gara waktu itu ya?" tanyaku memecah keheningan yang ada di antara aku dan Zahra.
"Entahlah, tapi aku rasa itu lebih baik untuk semuanya ... Untukku, Fikri, Nissa, dan kamu, Lang."
"Maksudnya untukku?"
"Ya, aku tadi bilang kan kalau nggak mau bikin kamu repot ... Bukannya apa-apa sih, aku cuma gak mau bergantung sama kamu terus."
"Tapi kamu masih mau kan nongkrong bareng kaya kemarin-kemarin?"
"Ya jelas lah, biar bagaimanapun aku akan tetap main ke sana ... Aku gak mungkin menjauh dari temen-temenku cuma karena putus sama Fikri, aku suka tempat itu dan juga semua orang yang ada di sana."
"Tapi kamu masih baikan kan sama Fikri?"
"Hubungan kami baik-baik aja kok, gak ada lagi yang perlu dipermasalahkan."
"Baguslah kalau gitu."
Tiba-tiba senyum Zahra mengembang di wajahnya, entah hal apa yang membuatnya seperti itu.
"Kenapa kok senyum-senyum sendiri kaya gitu? Kaya orang gila aja deh," tanyaku keheranan.
"Jadi seperti ini ya rasanya kalau kangen banget sama mantan, hehe."
Aku ikut tersenyum setelah mendengar apa yang ia katakan, aku kembali teringat tentang Wiwik yang pernah mengatakan hal yang sama persis seperti itu saat terakhir kami berdua bertemu. Saat itu ia memohon untuk balikan, dan belum juga ku beri jawaban sampai saat ini. Semoga ia melupakannya, semoga saja.
"Ya seperti itulah, Ra ... Namanya juga masih sayang, kan?"
"Hmm ... Kalau kamu sama Wiwik, gimana?"
Agak terkejut juga aku ditanyai seperti itu, tiba-tiba ia mulai membicarakan Wiwik padahal aku baru saja teringat tentangnya. Apa Zahra memang benar-benar bisa membaca pikiran seseorang?
"Gimana? Maksudnya?" tanyaku berpura-pura bingung.
"Kamu masih sayang kan sama Wiwik?" tanya Zahra menggodaku.
"Iya," jawabku ragu.
"Pacaran lagi sana! Kan kalian sayang sama sayang, gak salah kan kalau kalian balikan, hehe."
"Kok gitu?"
"Ya kan sayang sama sayang, kalau yang sayang cuma satu atau gak ada sama sekali baru nggak bisa balikan, hehe."
"Kayaknya dulu kamu pernah bilang kalau lebih baik gak usah balikan, kok sekarang udah beda cerita sih?"
"Setelah aku tahu rasanya mencintai seseorang dengan tulus, begitulah menurutku sekarang."
"Ini aku lagi ngobrol sama Zahra apa bukan sih? Kayaknya kamu orang lain deh."
"Hahaha, bercanda Lang."
Sudut bibirku tiba-tiba tersenyum , melihat Zahra yang bisa kembali tertawa setelah tangisnya pecah. Bahkan dia juga bisa bercanda lagi setelah melalui rasa sakit yang dialaminya, ternyata ini lebih dari apa yang kuduga sebelumnya. Ini lebih cepat dari yang aku perkirakan.
"Maksudnya yang tadi, waktu itu kamu putus sama Wiwik alasannya apa?" tanya Zahra.
"Entahlah, tapi kurasa ini yang terbaik untuk semuanya."
"Ihh kok jawabnya ikut-ikutan aku sih?" ucap Zahra kesal.
"Habis pertanyaanmu sama sih, hehe."
"Yang serius dong!"
"Emmm... Waktu itu kenapa ya, aku lupa, udah lama eh."
Zahra jadi cemberut karena jawabanku yang terkesan seperti menyembunyikan sesuatu, padahal sebenarnya aku pun tak tau alasan pastinya bagaimana. Yang aku tahu, sikapnya membuatku kesal di saat-saat terakhirku dengan Wiwik berpacaran waktu itu. Dan kukira karena itulah ikatan itu bisa terputus. Tapi kurasa ada alasan lain lagi entah apa, yang aku sama sekali belum mengetahuinya.
"Sikapnya yang berubah, mungkin," jawabku.
"Begitu ya, Fikri juga sikapnya berubah waktu itu ... Sejak aku tahu kalau dia deket sama Annisa."
Pikiranku kembali terbayang saat seminggu terakhir waktu aku dan Wiwik masih berpacaran dulu. Tiba-tiba ada sesuatu yang aku ingin sekali mengetahuinya. Yaitu alasan kenapa Wiwik ingin sekali mengakhiri hubungan antara aku dengannya, karena waktu itu ia sama sekali tak memberitahukannya padaku. Apa mungkin, ceritaku sama seperti cerita Zahra?
"Kamu tahu Ra, Entah kenapa ... Saat melihatmu bersedih seperti itu sama aja membuat perasaanku terluka, aku gak mau kamu sedih lagi."
Setelah itu, dia hanya tersenyum ke arahku. Senyuman yang menunjukan kebahagiaan, setelah melalui kesedihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
JugendliteraturIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"