Hari jumat setelah pulang sekolah, aku tak pergi ke warung tempat biasanya aku nongkrong bersama teman temanku. Dengan berjalan kaki aku pulang ke arah rumah, ku tak bisa naik angkutan kota karena aku sama sekali tidak diberi uang saku oleh ibuku. Motorku juga masih di bengkel, entah apa yang rusak, aku tak begitu paham. Penyebab hal ini bisa terjadi adalah karena pihak sekolah melaporkan kepada orangtuaku, bahwa kemarin aku membolos dan orang tua harus di panggil ke sekolah. Jadi, aku harus berjalan kaki sejauh enam kilometer agar bisa sampai di rumah.
Untung saja ada Zahra lewat dan menawari tumpangan, tentu saja tak ada alasan untuk menolaknya. Tanpa basa-basi aku langsung menaiki sepeda motor temanku itu, dia meminta agar aku yang menyetir dan kuiyakan saja permintaannya, lalu kami berdua melaju dengan hati-hati. Bukan suatu kebetulan Zahra lewat, setiap hari saat pulang sekolah dia pasti lewat sini. Hanya saja aku tak pernah berpapasan, karena aku selalu pergi ke tongkronganku yang berlawanan arah jalan pulang. Lalu menempuh jalan lain untuk ke rumah saat setelah nongkrong, setiap harinya selalu seperti itu.
"Kok jalan kaki, Lang?" tanya temanku itu saat di perjalanan.
"Gapapa, emang lagi pengen jalan kaki aja,Ra ," jawabku.
"Lagi ada masalah?"
"Nggak tahu, tapi aku banyak pikiran."
"Wiwik ya?"
Aku hanya diam meresponnya.
Aku mengajaknya untuk nongkrong di sebuah warung yang tak jauh dari rumah, hanya untuk sekedar membicarakan persoalan yang ada. Kujelaskan semua hal yang terjadi tanpa satupun yang terlewati setelah kami berdua memesan minuman, ia mendengarkan keluh kesah yang aku punya tanpa sedikitpun merasa lelah. Kuakui, Zahra memang seorang pendengar yang baik.
Sebenarnya Zahra itu satu sekolah dengan Wiwik, hanya saja berbeda jurusan saja. Aku tak tahu apa mereka saling mengenali satu sama lain atau tidak, tapi kurasa tidak karena aku belum pernah melihat mereka berdua saling berkomunikasi. Entahlah, aku tak mempermasalahkannya.
Dua gelas es teh dibawakan oleh sang pemilik warung, dia mengenalku dan sudah lama sekali aku tak datang kemari, masih ingat saja wanita paruh baya itu kepadaku.
"Lang, relain aja dia pergi dari hidup kamu ... Dia udah mutusin kamu, dia udah bikin kamu sakit hati, dan kamu harus belajar ikhlas," ucapnya setelah puas mendengar ceritaku yang panjang.
Aku hanya diam dan menganggukkan kepala. Namun pikiranku seolah berkata, apakah aku bisa mengiklaskan perempuan yang aku sayangi?
"Cara paling elegan buat balas dendam sama mantan adalah mengikhlaskan dan bersikap biasa aja sama dia," katanya sekali lagi.
Aku masih diam tak berkutik, sepertinya memang benar jika aku harus ikhlas akan kepergiannya.
"Aku tau kamu pasti sakit hati setelah hubungan kalian hancur, tapi...."
"Putus itu nggak sakit, yang sakit itu kalau putus tapi masih sayang," sahutku memotong ucapan Zahra.
"Aku gak tau maksudmu."
"Aku masih sayang sama dia."
"Hey Lang, kamu harus paham sama keadaanmu itu gimana. Kamu juga harus paham kapan bertahan, kapan harus melepaskan, dan dia yang kamu sayangi belum tentu bakal terus sama kamu. Iya, kamu boleh sedih, tapi secukupnya aja dan cepat bangkit lagi. Kalau kamu terus kaya gitu, yang ada cuma buang-buang waktu yang sebenarnya bisa kamu gunain untuk buka lembaran baru, harapan baru, dan tentu aja tujuan yang baru," ucapnya panjang lebar dan tanpa berhenti.
Aku terbungkam dengan apa yang ia ucapkan padaku, tapi setelah sedikit kupikirkan, memang ada benarnya.
"Move on lah, hidupmu itu terlalu sia-sia kalau kamu nggak mau bangkit lagi ... Dan hidup kamu itu terlalu berharga, kalau cuma digunain buat bersedih atas kehilangan orang yang nggak lagi sayang sama kamu," kata Zahra melanjutkan ucapannya.
Aku masih diam tak berkutik, kesedihan atas perginya perempuan yang kusayang kembali menjalar di dalam diriku, entah darimana datangnya.
Entah mengapa semenjak putus dari Wiwik, hatiku mudah tersentuh sekalipun hanya karena kata-kata. Kurasa memang benar, aku harus move on dari Wiwik, aku juga harus ikhlas akan kepergiannya. Tapi aku menyadari, semua itu bukanlah hal yang mudah dan bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, namun kuyakin pasti bisa.
"Gausah sedih lagi, daripada kamu mikirin dia yang gak peduli sama perasaan kamu, lebih baik mikirin siapa yang ingin kamu merasa senang lagi."
Aku paham yang Zahra maksud siapa orang itu, yaitu dia sendiri. Aku tau itu, buktinya saja ia mampu menjadi pendengar yang baik atas semua keluh kesahku. Dari dulu aku mengenalnya, Zahra memang menjadi tempatku untuk bercerita apapun persoalannya. Dan jika aku meminta saran untuk berbuat apa untuk kebaikanku, sarannya selalu benar dan tepat sasaran. Ia juga tak pernah menceritakan keluhanku kepada orang lain, Zahra memanglah orang yang selalu bisa aku percaya. Dia memang tempat terbaik untukku bercerita. Aku sangat menyesal pernah menjauh darinya.
"Pokoknya kamu harus move on, mau gimanapun caranya, aku gak peduli," kata Zahra menyemangatiku.
"Iya Ra, doain aja biar lancar."
"Ikhlas itu emang perlu waktu, tapi aku yakin kalo kamu pasti bisa."
"Hehe, iya, makasih Ra."
"Sama-sama."
Saking asyiknya berbincang, aku lupa minuman yang kubeli tadi sama sekali belum kuminum, bahkan es yang ada di gelas sudah mencair. Kupandangi keadaan di luar warung, jalanan masih ramai dan awan di langit mulai mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Terus saja kupandangi keadaan langit, lalu hujan gerimis datang bersama angin yang berhembus.
"Lang, pulang yuk, hujan mau turun tuh," ucap Zahra.
"Iya, kalau nggak pulang sekarang, kita bisa nongkrong disini sampai abis magrib."
"Yaudah yuk pulang."
Kami berdua pulang ke rumah masing masing, untung saja aku dan Zahra tak kehujanan selama di perjalanan pulang. Air hujan baru mulai membasahi tanah saat setelah aku menunaikan sholat maghrib, sangat deras dan bercampur dengan gemuruh petir yang sekali-kali terdengar dari langit.
Suara rintik hujan dari atap rumah yang berisik membuatku teringat akan kenangan yang pernah kualami bersamanya, dengan Wiwik maksudku.
Kala itu, saat masih pacaran, aku menjemput Wiwik di sekolahnya dan mengantarnya pulang ke rumah setelah acara PMR berakhir. Ya, dia anggota organisasi PMR di sekolahnya, sama sepertiku, hanya saja beda sekolah. Dan di saat perjalanan pulang, gerimis air mulai membasahi kami berdua di atas motor.
Aku hanya bawa satu mantel waktu itu, dan kusuruh Wiwik mengenakannya. Kuterjang saja hujan itu karena pikirku rintik air yang menerpa kami tidak akan menjadi semakin deras, tapi ternyata kenyataannya berbeda dengan ekspetasi. Akibatnya, mau tak mau aku harus menepi karena keadaan tak memungkinkan untuk tetap melaju. Kami pun berteduh di depan sebuah ruko yang sedang tutup dan bajuku agak sedikit basah. Untung saja aku cepat-cepat menepi, jika tidak mungkin tubuhku jadi basah kuyub. Tak kusangka ia melepaskan mantel di tubuhnya setelah itu, lalu ia mencopot jaket yang ia pakai dan memakaikannya di badanku.
"Biar nggak tambah dingin kena angin," ucapnya setelah memakaikan jaketnya, pakaian tebal berwarna merah muda dan bergambar kepala panda di bagian depan.
"Hehe, makasih ya."
"Iya, sayang," balasnya.
Ah aku jadi kangen dipanggil sayang olehnya.
Terlihat sederhana, tapi itu jadi kenangan berharga jika aku kembali mengingatnya. Tapi semua itu sudah menjadi sebatas kenangan masa lalu untuku, dan aku tak tau apakah Wiwik masih mengingat hal itu juga atau tidak. Kepergiannya dariku memang menyisakan banyak kenangan manis, tapi biar bagaimanapun aku harus belajar ikhlas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Teen FictionIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"