Wiwik pergi dengan mudahnya, meninggalkan aku sendirian dengan luka yang terus saja ada. Dia tak pernah bertanya padaku apakah aku rela atau tidak, dan terus saja melangkah jauh tanpa pernah sedikitpun berfikir untuk berbalik. Tanpa tahu dan menyadari bahwa disini ada hati yang semakin terluka seiring berjalannya waktu. Jujur hatiku ini tak bisa melepaskannya begitu saja, sebab dia tak pernah memberikan alasan yang jelas untuk perpisahan ini. Awalnya aku dibuat yakin olehnya jika ku bisa terus bersamanya, tapi tetap saja dia meninggalkanku pada akhirnya. Aku terbuang layaknya sampah yang sama sekali tak berguna. Sakit, sedih, terluka, semua terasa menjadi satu tapi apa pedulinya? Aku kecewa, hanya itu kalimat yang bisa aku ungkapkan.
Saat ini aku ada di taman kota yang tak jauh dari rumahku, sudah dua hari setelah putus dengan Wiwik tapi aku masih selalu terpikirkan dirinya yang masih ku cintai itu. Pikiranku masih kacau seperti sebelumnya, kuharap aku bisa sedikit lebih tenang di sini.
Aku ada di taman ini bersama keponakanku, kakakku sedang sibuk jadi aku mengajak anaknya untuk bermain di sini supaya tidak mengganggu ibunya di rumah.
"Bermainlah sesukamu, aku awasi dari sini," ucapku pada keponakanku.
Tanpa ku duga, seorang perempuan yang sudah lama kukenal ternyata sedang di taman ini juga. Ia menyapaku dengan ramah, lalu menyalamiku. Entah kapan terakhir kami berdua berjumpa, tapi ini sudah lama sekali. Dia adalah Zahra.
"Lama nggak ketemu ya Lang, kapan tuh terakhir kali aku lihat batang hidung kamu?" katanya membuka obrolan.
"Ah aku lupa, dua tahun mungkin," balasku sembari mencoba mengingat ingat.
"Kamu ngapain disini? Kaya orang hilang aja."
"Ya cuma nyantai aja, sambil mikirin masa depan, hehe."
"Kamu sendirian di sini?"
"Enggak sendiri juga, tuh sama keponakan ... Ibunya lagi gak bisa diganggu, tau sendiri kan yang namanya anak-anak?"
"Mana?" tanyanya sambil mencari cari di sekitar.
"Itu, lagi mainan gelembung sabun!"
Seketika Zahra memperhatikan ke arah kemana tanganku tertunjuk, dan hanya dalam satu detik ia sudah tahu dimana keponakanku berada.
"Salsa ...." panggilnya dengan nada panjang di belakang.
Keponakanku, namanya Salsa, Salsabilla Hazna. Nama yang bagus, kan? Dulu saat dia masih dalam kandungan, ibunya bingung mau menamainya siapa. Dan aku asal menyarankan sebuah nama, dan ternyata di pakai juga nama itu.
Keponakanku langsung berpaling ke arah sang pemanggil namanya, ia seperti sudah tahu siapa yang memanggilnya dari suaranya. Si kecil Salsa langsung berlari ke arah Zahra, dan memeluknya.
"Tante Zahra kok gak pernah lagi main ke rumah Salsa?" tanya keponakanku polos.
Dulu, sebelum aku masuk SMK, aku kerap kali mengajaknya untuk main kerumahku. Hingga keponakanku ini seperti menganggap Zahra sebagai tantenya sendiri.
"Hehe, maaf ya ... Lain kali kalau ada waktu pasti tante main ke rumah Salsa."
"Aku kangen sama tante."
"Sekarang ketemu kan? Sebenarnya tante juga kangen sama Salsa, pengen banget ketemu ... Tapi tante gak ada waktu buat main, sibuk sekolah, sama kayak om kamu."
Tiba-tiba aku dibuat merasa bersalah oleh pertemuan mereka. Aku yang menjauhi Zahra hanya karena ia berpacaran dengan temanku, tak pernah lagi membuat mereka bertemu karena keegoisanku walau hanya sekali saja. Ah, dulu aku tak pernah berfikir hingga sejauh itu. Kukira yang terjauhkan hanya aku dengan Zahra, ternyata Salsa juga terlibat di dalamnya.
"Kamu ada apa, kok bisa sampai kesini?" tanyaku kembali membuka obrolan dengan Zahra.
"Enggak, aku cuma jenuh aja ... Bosen di rumah."
"Ohh."
"Eh gimana kamu? Katanya kamu habis putus sama Wiwik?" tanyanya tentang hal yang sedang kucoba untuk melupakannya.
"Baik-baik aja kok," balasku seolah tak ada masalah.
"Kok bisa putus kenapa?" tanyanya sekali lagi.
Aku terdiam, memikirkan apa jawaban yang pas untuk menjawab semuanya.
"Gak usah dibahas, dia sekarang udah sama cowok barunya."
Zahra seperti terkejut mendengarnya, bahkan aku tak menduga akan seperti itu reaksinya. Lalu ia tersenyum, senyuman manis yang sudah lama sekali aku tak melihatnya
"Nggak papa kalau kamu belum bisa cerita itu sekarang, kamu gak perlu memaksakan diri ... Tenangin diri kamu dulu, itu yang harus kamu lakuin sekarang."
"Maaf, Ra."
"Gak papa, aku paham kok sama apa yang kamu rasakan sekarang ... Aku juga pernah mengalami seperti ini sebelumnya."
Salsa yang dari tadi ada di tengah-tengah kami berdua, nampak tak menggubris obrolan kami. Mungkin karena usianya yang masih kecil, dia sama sekali tak paham dengan apa yang kami berdua bicarakan. Ia sibuk bermain hpku, entah game apa yang dia mainkan.
Sinar mentari sore bersinar di ufuk barat, mengingatkanku kepada Wiwik yang sangat suka dengan senja. Memang indah, tapi tak seindah dulu saat aku sering melihatnya bersamanya.
"Gak usah sedih lagi, gak usah pikirin dia yang buat kamu terluka, pikirkan saja siapa yang ingin melihat kamu tersenyum," ucapnya sembari tersenyum.
Aku tahu bahwa masih banyak orang yang ingin melihatku bangkit dan kembali tersenyum, dan aku yakin Zahra adalah salah satu dari banyak orang itu. Dan setelah mendengar itu, aku hanya mengiyakannya.
Banyak hal yang aku bicarakan dengannya. Sebuah pertemuan yang tak terduga setelah sekian lama tak berjumpa. Hari semakin malam, dan kami berdua pulang ke rumah masing masing. Dan setelah pertemuan ni, rasanya yang kangen bukan hanya Salsa, tapi aku juga. Apa Zahra juga demikian?
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Teen FictionIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"