Aku terduduk di kursi sebuah kafe kecil di sudut kota, menyalakan dan mematikan HP terus-menerus hanya untuk melihat sekarang jam berapa. Ini sudah melebihi jam janjian untuk bertemu, walau baru terlambat lima belas menit tapi itu terasa sangat lama karena sejak tadi aku sendirian di situ. Kafe ini adalah tempat yang mempertemukanku dengan Wiwik untuk pertama kalinya, bersama Vira teman satu kelasnya. Itu pun juga pertama kalinya aku nongkrong di kafe ini, dan tak pernah lagi setelahnya walau hanya sekali. Tapi sekarang aku malah ada di kafe itu, janjian dengan orang yang sama dengan waktu itu. Tapi tanpa Wiwik, hanya Vira saja.
Detik demi detik berlalu, di waktu itu aku selalu terpikir bagaimana cara agar aku bisa mengobati rasa penasaranku ini dengan cepat. Bahkan karena terlalu terpikirkan membuatku tak sadar akan kehadiran Vira di parkiran, dia memandangi sekitar dan tak mendapati keberadaanku bahkan sampai menelfonku. Aku tak sadar karena hpku ada di dalam tas dan tak bergetar sama sekali. Untung saja dia tak langsung pulang, tapi tetap terus mencari diriku yang sedang ada di lantai atas. Hingga akhirnya kami bertemu dan saat aku lihat raut wajahnya, dia nampak sangat kesal padaku. Ya, kumaklumi itu karena aku juga tahu bagaimana rasanya dibuat bingung oleh orang lain.
"Pantes nggak keliatan, ternyata di lantai atas," ucapnya tanpa menyapa.
"Eh Vira."
"Tadi aku telfon kamu berkali-kali, tapi nggak diangkat ... Untung aku nggak langsung pulang."
"Eh ya maaf, hpku di tas... Jadi nggak sempet cek hp, soalnya tadi aku keluar beli rokok dulu ."
Vira hanya membalas perkataanku dengan raut muka datar. Kuambil lalu kubakar sebatang rokok, dan dia memesan segelas kopi. Dan obrolan tentang maksudku mengajaknya bertemu dimulai setelah itu.
"Vir," panggilku memulai percakapan.
"Iya?"
"Aku mau tanya sesuatu tentang Wiwik."
"Ada apa?"
"Kamu kan temen deketnya Wiwik, mungkin kamu tahu sesuatu dengan alasan kenapa dia milih buat putus sama aku waktu itu."
"Enggak tahu, Lang."
Seperti yang aku duga sebelumnya. Dia menjawab dengan raut wajah yang tak biasa, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Apalagi dia terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaanku, dan juga menjawabnya dengan terburu-buru. Ya, aku belajar membaca bahasa tubuh seperti itu dari Zahra.
"Mulutmu bisa bohong, tapi matamu nggak bisa."
"Apa sih Lang?" jawabnya mengelak.
"Ya aku pernah belajar dari seseorang tentang gimana sikap seseorang waktu berbohong, dan sikapmu mencerminkan itu."
"Aku nggak bohong."
"Udahlah Vir, aku tahu kok kalau kamu lagi menyembunyikan sesuatu ... Bilang aja, aku cuma pengen tahu doang kok."
"Lang," ucapnya membentak sambil menggebrak meja.
Seketika kami berdua jadi pusat perhatian oleh orang-orang yang ada di kafe ini. Aku sedikit merasa malu dengan keadaan yang aku alami, tapi tetap saja Vira mempertahankan sikapnya yang seperti itu.
"Aku emang nggak tahu soal alasan Wiwik, tapi aku bisa cerita tentang apa yang terjadi waktu itu ... Tadi aku belum selesai ngomong."
Mendengar ucapannya yang seperti itu, aku langsung menyuruhnya duduk kembali. Serta menyuruhnya diam terlebih dahulu, dan memintanya kembali bicara saat keadaan sudah lebih tenang. Aku tak menyangka akan seperti ini jadinya, Vira emosi tak sesuai dengan rencanaku sebelumnya.
"Jadi waktu itu, beberapa bulan sebelum kalian putus, aku ...," ucapnya.
Tapi sebelum ia menyelesaikan apa yang ingin ia katakan, sesuatu hal yang tak terduga tiba-tiba hadir dan membuat perkataan darinya terhenti. Ada seseorang yang datang, entah siapa orang itu.
"Ada apa tadi ribut-ribut?" ucapnya.
"Eh, Candra?" jawab Vira spontan dan juga terkejut.
"Kamu kenal, Vir?" tanyaku.
"Iya, Lang ... Kenalin, dia ...,"
"Aku pacarnya Vira, kamu ngapain berduaan sama dia?" sahut lelaki itu memotong ucapan Vira.
Vira kaget dengan ucapan pacarnya itu, dia terlihat ketakutan setelah mendengar pacarnya membentakku. Keadaan menjadi lebih ribut dari yang tadi, dan tentu saja kami di sini kembali jadi pusat perhatian lagi. Puluhan pasang mata menatap kami dengan pandangan tak suka, kulihat sekitar mungkin hanya aku dan Vira yang memiliki pandangan yang berbeda. Aku punya firasat buruk tentang ini, mungkin aku memang tak melakukan hal apapun dengan Vira tapi ku yakin pacarnya itu tak akan berfikiran seperti itu.
"Santai bro, aku ketemu Vira cuma buat ngobrol doang kok, nggak lebih," ucapku mencoba untuk menenangkan keadaan.
Pacarnya Vira masih saja memandangiku dengan penuh rasa benci, ia seperti sedang menunggu waktu yang tepat untuk memukulku. Kukira obrolan kali ini akan berjalan lancar, dan membuatku membuka jalan yang lebih lebar agar aku bisa tahu alasan Wiwik memutuskan diriku dulu, tak kusangka malah seperti ini jadinya.
Pria itu mendorong tubuhku sampai aku terlempar, tapi aku tetap mencoba untuk menahan diri agar keadaan tak bertambah buruk. Lalu ia menatap Vira dengan perasaan kesal, sedangkan Vira membalasnya dengan raut wajah memelas.
"Ternyata itu selingkuhanmu?" ucap laki-laki itu penuh amarah.
"Enggak Candra, kamu cuma salah sangka."
"Lha ini buktinya," balasnya sambil menunjuk ke arahku.
"Erlang cuma temenku, nggak mungkin lah aku bakal main belakang."
"Nggak usah banyak alasan lagi, omonganmu sama sekali nggak bisa dipercaya, Vir," ucapnya masih membentak.
"Sumpah aku nggak bohong."
Plakkkk....
Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Vira, aku yang melihat itu langsung marah seketika. Emosiku langsung tersulut saat aku mendengar Vira merintih kesakitan, pipinya langsung memerah bersamaan saat aku sudah naik darah. Kucoba untuk menahan diri tapi tetap saja tak bisa, sebuah kepalan tangan langsung menghantam perut lelaki itu sebagai balasan atas apa yang dia lakukan. Berkali kali pukulan tangan kulesatkan ke arahnya, dan dia hanya bisa menangkis tanpa pukulan balasan. Aku terus memukulinya sampai dia terjatuh, lalu kursi di kafe itu kubanting ke arah tubuhnya. Tak ada yang memisah kami berdua, hanya Vira saja, tapi aku tak menghiraukan teriakannya. Sampai pada akhirnya petugas di kafe itu datang melerai, tentu saja di saat ini juga aku jadi pusat perhatian kembali. Malu? Tentu saja. Tapi biar bagaimanapun semua ini demi Vira, yang baru saja dicelakai oleh kekasihnya sendiri. Ya setidaknya aku punya alasan yang masuk akal kenapa diriku bisa sampai melakukannya.
Lelaki itu lari tunggang-langgang ke arah pintu keluar, dan aku masih diam di tempat. Sekilas, aku melihat hidungnya sampai mengeluarkan darah. Dan aku merasa puas sekali dengan hal itu.
Aku berpaling ke arah Vira, dia hanya diam menatapku seperti tak menyangka apa yang sudah aku lakukan. Pipinya masih memerah, dan menampakan raut wajah kecewa. Kafe ini jadi berantakan, semua pengunjung yang ada di sekitarku menatapku dengan penuh kebencian. Bahkan sampai beberapa pengunjung yang berada di lantai bawah naik ke atas, lalu mereka menatapku dengan pandangan yang sama. Aku tak peduli dengan mereka, yang aku pedulikan hanya Vira.
"Erlang ...," ucapnya, sambil meneteskan air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Teen FictionIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"