"Aku bingung, maksud kamu itu apa sih? Jangan dibikin rumit deh," sahut Zahra penuh emosional, ternyata dia juga berfikir hal yang sama sepertiku.
"Kamu bahagia Lang sama dia, tapi nggak buat aku," ucap Vira menahan tangisnya sekali lagi.
"Maksudmu apa Vir?"
"Di saat yang bersamaan, aku kehilangan sosok Wiwik yang kukenal sebelumnya ... Aku merasa ada sesuatu yang hilang di dalam pertemananku sama Wiwik, semenjak dia pacaran sama kamu."
Perlahan aku mulai sedikit memahami apa yang dirasakan Vira, dan jika dipikir-pikir masuk akal juga apa yang dikatakannya itu.
"Berbulan-bulan Wiwik jadi orang asing bagiku, Lang ... Seorang Wiwik yang selalu membuat orang lain tertawa, berubah jadi seseorang yang selalu fokus kepada chat dan video call pacarnya."
Ya, jika diingat-ingat saat dulu aku dan Wiwik berpacaran itu percakapan kami tak pernah putus. Dan kami juga sering melakukan video call, mungkin itu membuat chat dari temannya sedikit tak dipedulikan olehnya.
"Bukannya aku nggak suka kalian berdua bahagia, tapi kamu ngerti kan rasanya diacuhkan sama seorang sahabat itu gimana?"
"Iya, aku paham Vir."
"Dan ternyata apa yang aku lakuin itu salah besar, Lang ... Wiwik malah semakin jadi sosok yang nggak kukenali, lebih parah dari waktu pacaran sama kamu."
"Emang Wiwik jadi gimana?" tanya Zahra.
"Dia selalu murung di kelas ataupun di mana aja, juga nggak pernah keliatan senang gimanapun situasinya ... Wiwik juga sering nangis setelah putus sama kamu, bener-bener bukan Wiwik yang aku kenali sebelumnya."
Air mata kembali mengalir membasahi pipinya, melihat itu aku malah jadi tak tega jika Vira terus bercerita.
"Wiwik selalu bilang sama aku kalau dia kangen waktu kalian pacaran dulu, dan itu bikin aku nyesel banget pernah buat dia sedih ... Aku nggak bisa bayangin gimana sedihnya Wiwik kalau dia tahu kenapa kamu bisa ada di rumah sakit ini, akulah penyebabnya."
"Vir, udah cukup ... Nggak usah cerita lagi, aku puas sama jawabanmu."
"Nggak Lang, kamu harus denger semuanya," jawabnya sembari mengusap linang air matanya.
"Lalu apa lagi yang mau kamu ceritain, Vira? Aku cuma mau tahu penyebabnya dan kamu udah ceritain itu kan?"
"Dulu aku terus memprovokasi Wiwik kalau kamu itu bukan orang kaya dan masa depanmu itu juga belum jelas, dengan dalih kalau dia harus memperhitungkan pasangan hidupnya agar hidup enak nantinya."
Aku, benar-benar tak bisa menyangka apa yang telah diucapkannya. Mataku jadi terbuka lebih lebar dengan mulut menganga, serta hanya terdiam tanpa bisa bicara sepatah katapun setelahnya. Aku dibuat terkejut bukan main dengan setiap kata yang dia lontarkan, membuatku merasa sedang salah dengar. Dan dari situlah perasaan sakit hati mulai kurasakan.
"Kamu inget waktu dia bawa cowok ke tongkronganmu? Itu cuma settinganku aja sebenarnya, biar kamu musuhin Wiwik dan cepet lupain dia ... Tapi ternyata, nggak sesuai sama apa yang aku inginkan."
Setiap kata yang dia ucapkan, malah membuatku semakin sakit hati. Seolah-olah apa yang kurasakan lebih menyakitkan dari luka fisik. Yang ini lebih terasa daripada saat kemarin dipukuli Candra dan teman-temannya.
"Kamu gila apa gimana sih, Vir? Nggak nyangka ya kamu bisa kaya gitu!" ucap Zahra penuh emosi dan mendorong Vira hingga terjatuh.
"Maaf, aku juga nggak tahu bakal kaya gini jadinya."
"Maaf? Enak banget ya kamu tinggal bilang maaf," ucapnya semakin marah.
Keadaan menjadi semakin buruk, dan apa yang terjadi pada mereka juga membuatku merasa tak nyaman. Tapi aku tak bisa melakukan sesuatu untuk menghentikan mereka, rasa sakit ini menjadikanku tak lagi bisa berkata apa-apa. Ucapan Vira terus membuatku memikirkannya, karena yang ia lakukan itu memang sudah keterlaluan sekali.
Vira dan Zahra terus meributkannya, di atas kasur aku hanya bisa diam melihat mereka berdua. Zahra yang sangat marah pada Vira, ku belum pernah melihatnya semarah itu. Di sisi lain aku cukup senang juga, ternyata dia tak diam saja saat melihat aku dilukai. Seperti apa yang aku katakan padanya dulu, ternyata dia juga melakukannya.
"Dari kemarin udah sering saya ngomong, kalian jangan ribut," ujar seorang ibu paruh baya di kamar sebelah.
Tak ada satupun dari kami bertiga yang meresponnya, ia pun kembali ke kamarnya. Tapi tanpa diduga, ternyata setelah itu ia memanggil dokter kemari. Dan berkata kepadanya bahwa kami melakukan hal yang sangat mengganggu mereka, dan memintaku untuk menyuruh Vira pulang.
"Kamu denger kan? Pulang sekarang!" perintah Zahra ke Vira.
Vira masih diam tak berkutik, dan itu membuat Zahra semakin emosi karenanya.
Ia mencengkeram kerah baju Vira dengan kasar dan menampar pipinya, lalu ia berkata, "jangan buat aku tambah marah! Cewek sialan!"
"Ra, udah," ucapku.
Mendengar Zahra mengumpat, aku langsung menyuruh Vira untuk segera pulang. Agar kejadian yang seperti ini tak terjadi lagi di sini. Vira langsung berdiri dari kursinya, lalu pergi tanpa berkata apapun lagi setelah itu.
Zahra hanya diam setelah ia pergi, aku pun juga begitu. Tak ada obrolan lagi dari mulut kami berdua, sehingga keadaan mulai tenang sampai dokter itu kembali ke tempat dimana seharusnya dia berada.
"Lang, maaf ya," ucap Zahra setelah lebih dari lima menit kami saling mendiamkan.
"Buat apa?"
"Udah bikin kamu nggak nyaman barusan."
"Nggak apa-apa, kamu udah bikin aku nyaman selama dua hari lebih ... Jadi yang terjadi barusan, itu nggak sebanding sama yang terjadi selama dua hari yang lalu."
"Tapi ...."
"Udah lupain aja soal Vira," pintaku padanya.
Jika tahu akan seperti jadinya, aku menjadi berharap Vira tak pernah datang ke sini menjelaskan apa yang terjadi. Atau mungkin aku juga tak perlu mencari alasan mengapa Wiwik mengakhiri hubungan itu. Aku berharap waktu bisa terulang kembali, dan tak perlu merasa sakit hati saat Wiwik memilih untuk bersama yang lain. Mungkin aku tak akan sampai di titik ini jika dulu hanya bersikap biasa saja.
"Zahra, kamu pulang ya sekarang," pintaku.
"Tapi kamu gimana?"
"Kurasa lebih baik kamu pulang aja, gapapa ... Aku mau tenangin hati sama pikiran dulu, kamu pasti paham kan?"
"Yaudah deh, aku pulang dulu ya," ucap Zahra dengan sedikit berat hati.
Setelah mengemasi beberapa barang miliknya, ia beranjak pergi dari kamarku. Tapi sebelum ia keluar, Zahra melakukan hal yang tak pernah kuduga, atau bisa juga disebut romantis atau apalah itu. Ia mengecup keningku, dan mendoakanku agar cepat sembuh. Aku benar-benar tak percaya dia melakukannya.
"Eh iya, Lang ... Kamu dapet salam dari Arini, dia bilang semoga cepet sembuh, dia juga bilang kalau nggak suka kamu kamu ada di sini."
Seketika aku diam tak berkutik setelah mendengarnya, semua memori tentang mimpiku kemarin tiba-tiba datang di pikiranku.
"Dia kangen kamu, mungkin ... Besok kita temuin dia yuk, aku kangen, kamu juga begitu kan?"
Aku masih diam, aku jadi teringat perempuan yang datang di mimpiku kemarin adalah Arini.
"Aku pulang dulu ya," ucap Zahra, lalu ia beranjak pergi.
Aku masih diam, tak menyangka apa yang sudah terjadi selama ini. Penuh penyesalan, kenapa selama ini aku bisa lupa pada Arini. Padahal ia adalah sahabatku sejak lama sekali.
"A ... Ri ... Ni ...."
Ucapan Vira yang sangat melukaiku tadi, sama sekali tak bisa kupikirkan lagi setelah nama Arini terdengar di telingaku. Air mataku tak lagi bisa kubendung, menetes dan terus menetes saat bayang-bayang wajah Arini muncul di kepalaku. Aku benar-benar merasa sangat menyesal, seperti tak bisa memaafkan diriku sendiri. Ini kali pertama dalam hidupku, aku melupakan seorang teman padahal ia sudah banyak berperan di kehidupanku. Aku, bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Teen FictionIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"