Aku pulang dari tongkronganku, bukan langsung ke rumah, tapi ke sekolah Zahra untuk menjemputnya terlebih dahulu. Menunggunya begitu lama bahkan sampai adzan Maghrib berkumandang dengan merdunya. Ternyata repot juga menjadi anggota OSIS, untung saja aku tak pernah berminat untuk terjun langsung ke organisasi sekolah itu. Tak lama, kulihat Zahra dari balik gerbang sekolahnya dengan raut muka seperti orang yang banyak pikiran.
"Ada apa Lang, kok jemput kesini?" tanyanya setelah terkejut mendapati aku yang menjemputnya.
"Ada yang mau aku omongin, penting."
"Emang ada apa?"
"Ngobrolnya jangan disini, di kosmu aja!"
"Yaudah deh, ayo," jawabnya sambil tersenyum, tapi aku tahu bahwa senyum yang diperlihatkannya hanyalah senyuman karena terpaksa.
Aku melajukan sepeda motorku dengan cepat, dan sampailah aku di kos Zahra hanya dalam waktu lima belas menit.
"Ra, ini tentang Fikri," ucapku kepada Zahra saat ia membuka kunci kamarnya.
Zahra terdiam setelah kunci pintunya terbuka, bahkan ia sama sekali tak membuka pintu kamarnya.
"Di tongkronganmu, ada mantannya Fikri kan tadi? Aku udah denger cerita Shania," balasnya tanpa membalikan badan ke arahku.
"I ... Iya ... Ra," balasku terbata-bata.
"Apalagi Lang?"
"Soal kue itu, dia nggak peduli ... Fikri sama sekali nggak nyentuh kue itu,"
Zahra hanya tersenyum meresponnya.
"Kadonya udah kamu kasih kan?"
"Udah kok," jawabku.
"Kue itu habis kan?"
"Iya."
"Yaudah gapapa, yang penting nggak sia-sia."
Aku tak mengerti apa yang ada di dalam pikirannya, dia bertindak seperti semua itu terlihat seolah baik-baik saja baginya. Ia juga tetap tersenyum sekalipun aku paham bahwa hatinya sedang hancur setelah mendengar cerita dariku, tapi Zahra tak menunjukan hal itu.
Zahra membuka pintu kamarnya, lalu ia berpaling ke arahku.
"Ka ... Kamu pulang dulu aja Lang ... Udah ... jam segini juga," katanya terpatah-patah.
Aku terkejut, melihat matanya yang mengalirkan air mata.
"Ta ... Tapi, Ra."
"Erlang, Ka ... Kamu ... Pu ... Pulang!" ucapnya sesegukan.
Aku terdiam, menatap mata Zahra yang mulai mengalirkan air yang semakin membasahi pipinya. Sejujurnya, aku tak mau meninggalkan Zahra seorang diri dalam kondisi seperti ini. Ia menangis, karena aku menceritakan apa yang dilakukan oleh kekasihnya. Aku jadi merasa bersalah akan hal itu.
"Pulang!!!" bentaknya, bahkan sampai orang yang ada di sekitar kami berdua menatapku curiga.
Aku terkejut bukan main karenanya, tak pernah sebelumnya Zahra membentakku seperti itu. Kupikir, ia memang perlu sendiri untuk saat ini. Akupun memilih untuk menurutinya.
"Okey Ra, kalau ada apa-apa, hubungi aku ... Aku ada buat kamu."
Ia tak menjawab, masih menantikan kepergianku. Aku pun pergi meninggalkannya, tapi saat dua langkah aku berjalan, ia memanggilku.
"Lang, hati-hati," ucapnya membuatku berhenti melangkah.
Aku hanya tersenyum, lalu melanjutkan langkahku untuk menuruni tangga dan pulang ke rumah. Zahra pun menutup pintu kamarnya, entah apa yang dilakukannya setelah itu, mungkin ia melanjutkan tangisannya.
Malam ini, langit berselimut awan hitam yang menutupi seluruh angkasa. Gelap gulita, bahkan tak ada sedikitpun cahaya dari bulan maupun bintang yang menyinari bumi. Mungkin langit pun ikut merasakan kepulauan yang dialami oleh Zahra, atau angkasa sedang menggambarkan perasaan yang ada di dalam hati Zahra. Aku tahu jika dilogika memang tak ada hubungannya, tapi itulah firasatku.
Kubuka pesan yang masuk ke hpku, tak ada pesan lain kecuali satu pesan dari nomor yang bukan kontakku. Tapi dari foto profilnya, dia adalah Shania.
"Lang, Zahra gimana? Oh iya, ini aku Shania," tanyanya sambil memperkenalkan diri, padahal aku sudah tahu itu.
"Seperti yang kamu duga."
"Sedih?"
"Ya jelas lah, Shan ... Mana ada cewek yang nggak sedih kalau mengalami posisi kayak gitu."
"Iya juga sih ya ... Kamu hibur dia deh sana! Kan kamu temen deketnya."
"Niatku sih mau gitu, tapi tadi aja aku disuruh pulang sama Zahra ... Mungkin emang lagi mau sendiri ya," jawabku.
"Iya juga kali."
Setelah percakapan singkat itu, aku pergi meninggalkan hpku tergeletak di kasur kamarku. Lalu membuat kopi dan membakar sebatang rokok seperti biasanya.
Di pikiranku, hanya ada Zahra disana, tentang kesedihan yang dialaminya. Entahlah, walaupun aku tahu bahwa diriku yang sekarang ini hanyalah teman Zahra. Namun setelah aku mengetahui bahwa keadaan Zahra seperti itu, aku pun ikut merasakan kepiluan yang dialaminya. Mungkin itu karena aku dengannya pernah mengalami hal serupa, sama-sama diacuhkan oleh orang yang disayangi. Pun setelah aku mengerti bahwa Zahra merasakan kesedihan itu, seolah-olah hal itu juga menyakiti perasaanku. Mungkin aku bisa seperti itu, karena aku dan Zahra sama-sama pernah merasakan luka karena terlalu dalam saat mencintai seseorang.
Kuambil hpku lagi setelah sebatang rokokku habis, kulihat ada pesan yang masuk dari Shania lagi.
"Eh Lang, ngomong-ngomong ... Tadi aku lihat Wiwik boncengan sama cowok, nggak tahu tuh siapa orangnya," bunyi pesan itu.
"Kakaknya mungkin, soalnya dia pernah bilang ke aku kalau sekarang dia berangkat dan pulang sekolah itu sama kakaknya."
"Bisa jadi sih, tapi kalo dia pacarnya gimana?"
Aku sama sekali tak terkejut, entah karena seringnya aku diberitahu oleh temanku hal yang serupa, ataupun memang sudah ada perubahan dari diriku yang sedang berusaha untuk move on ini.
"Gak usah diomongin, itu bukan urusanku lagi, hehe."
"Udah move on nih ceritanya?"
"Emm, sejujurnya sih belum Shan ... Aku masih suka kepikiran soal dia."
"Lah? Kamu masih mengharap dia kembali? Aku kasih tahu sesuatu Lang, coba deh kamu renungin soal ini ... Dia udah nyakitin kamu, dan dia sama sekali nggak peduli sama perasaanmu," ucapnya.
"Gak usah mengharap balikan, kebahagiaanmu di hari ke depan itu lebih penting daripada bahagiamu saat bersamanya dulu," lanjutnya.
"Pikiran bahwa kamu masih sayang sama dia itu cuma bersifat sementara kok, jadi kamu nggak usah mengharap dia lagi, nanti juga bakal ada saatnya kamu nggak kepikiran dia kembali," lanjutnya sekali lagi.
"Dan satu hal penting yang kamu harus pikirin ... Kamu cuma buang-buang waktu kalau kamu galauin dia, lebih baik lakukan hal yang jauh lebih bermanfaat daripada stalking sosmednya dia."
Aku tersenyum karena kata-kata motivasi yang ia berikan, padahal hari itu adalah hari pertama kami berdua berkomunikasi lewat media sosial.
"Kamu juga buang-buang waktu ngasih tahu aku soal Wiwik yang jalan sama cowok lain," ucapku enteng.
"Loh kok gitu?"
"Karena masih ada hal lain yang lebih bermanfaat daripada itu."
"Apaan tuh?"
"Kenalin kek aku sama orang tua kamu, biar gampang kalau aku mau minta doa restu, hehe."
"Hah?? Doa restu? Buat apa?"
"Buat lamar kamu jadi pendamping hidupku, hahaha," ucapku menggodanya sambil tertawa.
"Ihh, kamu mah ngaco, Lang ... Hidupmu aja masih nggak bener, mau sok-sokan lamar anak orang aja."
"Bercanda doang, Shan ... Hahaha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Teen FictionIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"