Aku terbangun di keheningan malam yang dingin, tanpa kurasa sudah hampir sepuluh jam terlelap tanpa bermimpi di sebuah kamar yang aku tak tahu itu dimana. Tak ada satupun di rumahku yang dindingnya berwarna lain selain warna hijau, tapi ruangan yang aku tempati saat itu berwarna biru muda. Juga dengan properti yang semuanya serba feminim, mulai dari skincare dan peralatan make up. Ah entahlah aku dimana, yang jelas ini bukan rumahku. Tapi aku terus saja bertanya di dalam hati, sebenarnya dimanakah aku ini, di rumah siapa? Aku merogoh semua saku seragam yang aku kenakan dan itu terlihat sangat kotor, tapi untungnya sudah tak tercium bau alkohol. Hpku tidak ada, hanya seragamku saja yang masih bisa kulihat.
Kubangunkan tubuhku, masih sedikit terasa pusing tapi tetap kupaksakan untuk berdiri. Dengan badan yang tak seimbang dan memaksa diri untuk berjalan, aku menabrak pintu hingga timbul suara yang membuat diriku sendiri terkejut. Namun dari balik pintu, terdengar suara perempuan yang juga terkejut hingga terbangun dari tidurnya. Ia membuka pintu, dan tak kusangka perempuan itu temanku sendiri. Dia adalah Zahra.
"Udah bangun Lang?" ucapnya dengan menekan nada bicaranya, sehingga tekesan seperti menyindirku.
"Maaf," balasku merasa malu.
"Buat apa?" tanyanya masih dengan nada yang sama.
"Maaf udah buat kamu repot."
"Ohh, okey ... Tidur lagi sana, aku mau tidur lagi."
"Hpku mana?" tanyaku.
"Di dalam tasmu," balasnya sambil merebahkan dirinya di sofa.
Kuambil tasku dan membawanya keluar kamar.
"Zahra, kamu tidur di dalam aja ... Biar aku yang tidur di luar, nanti kamu kedinginan," ucapku membangunkannya, walaupun ia belum tidur.
"Bau nggak?"
"Enggak kok."
"Oke deh."
Aku rasa memang benar tak tercium bau alkohol, karena Zahra tak protes sedikitpun.
Kuhidupkan hpku dan kubuka aplikasi Whatsapp, tak kusangka saat aku pingsan ternyata temanku menggunakan hp itu untuk memaki Wiwik di chat. Aku tau Wiwik pasti mengira itu adalah diriku, dan aku tak peduli juga karena kurasa itu pantas. Dan ada satu pesan yang belum terbuka dari ayahku, ia mengiyakan sesuatu yang entah apa itu. Kubuka pesannya, ternyata temanku memintakan izin untuk menginap di rumahnya, walaupun sebenarnya tidak juga. Temanku bertindak seolah-olah menjadi aku yang sedang meminta izin, dan berhubung hari ini adalah hari sabtu, aku pun diperbolehkan karena libur. Untuk siapapun yang melakukannya, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih banyak di dalam hati.
Kulihat kembali pesan Wiwik, kubaca ulang apa yang dituliskan oleh temanku. Pesan itu hanyalah berisi aku yang sedang memaki dan Wiwik yang meminta maaf serta menjelaskan apa yang terjadi. Kubaca berulang-ulang tapi aku masih tak paham juga, mungkin karena efek alkohol itu membuat otakku tak bisa diajak berfikir. Hingga pada akhirnya adzan subuh berkumandang, zahra keluar dengan mukena dan sajadah ditangannya.
"Ayo ke masjid!" perintah Zahra.
"Enggak ah, bajuku kotor."
"Celanamu masih bersih, seragammu ganti pakai bajuku ... Kalau mau ganti celana, aku punya celana olahraga."
"Tapi aku semalam minum miras sampai mabuk, aku malu."
"Kalau aku jadi kamu, aku akan lebih malu lagi kalau nggak sholat ... Tetap sholatlah walaupun kamu dalam keadaan bermaksiat."
"Oke deh."
Zahra mengambilkanku pakaian dari lemarinya, lalu keluar dengan membawa sebuah baju dan celana olahraga sekolahnya. Tak kusangka dia punya baju distro yang cocok dipakai oleh laki-laki maupun perempuan, aku belum pernah melihatnya mengenakan baju itu. Aku masuk kamar untuk ganti pakaian, sedangkan Zahra menungguku diluar.
"Kok nggak ganti celana?" tanyanya.
"Nanti aku pinjam sarung aja di masjid."
"Oke deh, terserah kamu aja ... Ayo cepetan, nanti telat."
Kami berduapun berjalan beriringan ke arah masjid, tanpa ada satupun percakapan yang terjadi hingga kami selesai sholat subuh.
Ia masuk ke dalam kosnya dan aku duduk di balkon, menyaksikan seragamku yang menjadi saksi bisu bahwa hatiku pernah dihancurkan oleh Wiwik. Ingatanku tentang apa yang terjadi hari lalu di tongkrongan kembali merasuki pikiranku dan membuatku melamun, tapi itu tak berlangsung lama karena Zahra datang dan duduk di sampingku dengan membawa dua gelas teh hangat.
Sebenarnya tempat tinggal Zahra itu memang satu kelurahan denganku, hanya saja beda desa, dan jarak rumahku dengannya hanya dua kilomerter saja. Alasan kenapa ia tak tinggal lagi di rumah orang tuanya adalah, kata Zahra kamar di rumahnya digunakan oleh anak kakaknya yang sudah SD dan tak mau satu kamar dengan orang tuanya, maksudnya kakak Zahra dan Suaminya. Jadi ia memilih untuk mengalah dan tinggal di kos semenjak tiga bulan yang lalu, Zahra bilang bahwa dia ingin belajar hidup mandiri. Aku baru tahu itu sejak ia bercerita saat pulang dari sholat subuh tadi.
"Makasih," ucapku perlahan.
"Sama-sama."
Kuminum teh hangat itu, rasanya manis. Aku jarang minum teh, tapi lebih suka kopi hitam.
"Enak?" tanya Zahra.
"Iya."
Dia tersenyum ke arahku, dan aku hanya bisa bengong melihatnya. Mentari pagi belum berani menampakkan dirinya, namun kami sudah terjaga. Jarang aku bangun pagi seperti ini, apalagi hari libur.
"Eh Lang, kamu kemarin kok bisa minum miras sih? Kamu kan pernah bilang sama aku, kalau kamu nggak suka minuman beralkohol," tanyanya seperti mengintrogasi.
"Aku tambah kacau, Ra."
"Sebab?" tanyanya sekali lagi.
"Wiwik."
"Kenapa?" ia terus saja bertanya.
"Dia bawa pacarnya ke tongkronganku, siapa juga yang nggak kacau kalau liat hal kaya gitu ... Aku jamin deh, gak bakal ada."
Dia mengangguk-anggukan kepalanya, seolah memahami apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa yang nggak kesel coba, dua minggu kemarin dia posting foto mereka berdua di Whatsapp dan itu diprivasi dari kontakku ... Eh sekarang kok malah dikasih lihat langsung, bener-bener gila itu cewek."
Zahra masih diam tanpa suara, dan dia masih mendengarkan segala ceritaku.
"Gara-gara itu, aku jadi minum nggak kontrol padahal nggak suka minum miras ... Terus aku mutah, pingsan, dan akhirnya sampai disini deh."
Ia masih tak berkutik sedikitpun, tapi aku tahu indra pendengarannya terus fokus akan apa yang aku ucapkan. Aku tahu itu.
"Aku juga mikir, apa maksud Wiwik mempertemukan aku sama pacarnya? Mau buat aku cemburu? Hah, enggak bakal lah." walaupun di lubuk hati yang terdalam, aku sangat cemburu dengan kebersamaan mereka saat itu.
"Jangan bohong, aku tahu kamu cemburu," akhirnya Zahra bicara dengan sedikit tertawa.
Aku tersentak kaget dengan ucapannya, bagaimana ia tahu akan hal itu? Apa dia punya kekuatan istimewa sehingga bisa membaca pikiranku, ah tidak mungkin. Tapi bagaimana bisa?
"Aku tahu kamu masih punya keinginan buat balikan sama Wiwik, aku tahu itu soalnya kamu kesel sama apa yang dia lakuin ... Kalau nggak pengen balikan, ya kamu biasa aja dong dia mau main ke tongkronganmu sama siapapun."
"Tapi pacarnya itu belagu banget di tongkrongan, siapa yang nggak kesel coba kalau ada tamu tapi matanya pecicilan?" jawabku membela diri.
"Ya, itu di luar konteks, Lang ... Yang jelas, kamu cemburu sama dia."
Memang benar apa yang Zahra katakan, bahwa aku masih ingin kembali bersama Wiwik. Dan aku juga cemburu, itu wajar karena aku masih sayang dengannya. Walaupun sebenarnya aku tahu jika berpacaran lagi dengannya itu tak mungkin terjadi, karena sekarang dia sudah bersama laki-laki lain yang lebih mampu membuatnya merasakan bahagia.
"Aku nggak mau banyak komentar tentang ini, tapi emang sih apa yang dilakuin mantanmu ke kamu kemarin itu hal yang gila, wajar aja kalau hatimu hancur," ucapnya saat sinar matahari mulai terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)
Fiksi RemajaIni cuma cerita iseng aja. Tak sebagus cerita yang pernah kalian baca, tapi semoga kalian suka, hehe :) "Tak masalah jika hubungan kita berakhir di sini, tapi setidaknya beri aku alasan yang tepat"