{30} Penyekat Antara Kita

4K 201 63
                                    

Kanaya menapakkan kakinya di tempat yang memang terasa sangat asing baginya. Bahkan ia beberapa kali melihat pria berseragam loreng abu itu berlalu-lalang didepan matanya yang terus membendung air mata mencoba menegarkan hatinya.

Koarmada I, tempatnya melepas Arga untuk bertugas. Derunya ombak dan hembusan angin yang seakan mereka menyorakinya, menertawakan kisahnya yang menyedihkan seperti ini.

Kanaya meremas kain rok PSK yang ia kenakan kini, saat melihat besi besar yang telah siap untuk membawa para prajurit dari pelukan sang kekasih. Air matanya jatuh saat rombongan mobil Yonif 330 raider/TD itu sampai.

Entah bagaimana nasibnya jika Arga pergi, apa bisa ia hidup sendiri dengan kondisi hamil seperti ini? Apa bisa pula ia membesarkan putra yang bahkan belum lahir ini tanpa seorang Ayah yang mendampinginya? Pikir Kanaya.

Apel pelepasan telah dimulai dengan khidmat dan diakhiri dengan pelukan tangis para keluarga yang akan ditinggalkan.

Kanaya diam memandang Arga yang kini berdiri dihadapannya dengan baret hijau lumut, berkacamata hitam dan menggendong ransel besar yang sejak lama Arga siapkan bersamanya.
Lelaki itu tersenyum melihat wajah Kanaya yang memang sudah dibasahi air mata sejak tadi, bahkan sejak malam perempuan itu nampaknya tak bisa tidur lelap karena memikirkan hari ini.

"Sayang, gak usah nangis. Aku pasti pulang" ucap Arga lembut sembari kedua jempolnya mengusap air mata yang mengalir dikedua pipi Kanaya yang sudah seperti anak sungai itu. Tangisnya semakin parah saat Arga memeluk tubuhnya. Lelaki itu melepaskan pelukannya, kedua telapak tangannya menanguk pipi Kanaya dan kembali tersenyum.

"Kak Arga hati-hati disana" suara kecil itu terdengar serak, Arga mengangguk dan sedikit tertawa kecil mendengar ucapan Kanaya yang terdengar lebih mirip seperti rengekan anak kecil meminta permen. Namun dalam benaknya ia selalu berkata bahwa hal inilah yang akan sangat ia rindukan dari istrinya ini.

Arga mengusap perut Kanaya, "Jaga kesehatan ya, kamu dan calon anak kita" Arga mengusap kepala Kanaya dan mencium keningnya saat suara pluit terdengar menandakan bahwa sudah waktunya ia berangkat.

Sekali lagi, mereka berpelukan seakan tak akan pernah ada yang bisa memisahkannya satu sama lain. Namun, seerat apapun bahkan sekuat apapun hubungan mereka tetap ada negara yang selalu menjadi pemisah antara mereka. Berbagi kasih dengan negara yang sangat Arga cintai.

Siluet tubuh berbaju loreng itu kian menjauh, menaiki sebuah kapal besar namun matanya semakin membasah. Berdiri sendiri menyaksikan kekasih hatinya dibawa sebuah perahu besar. Inilah nasibnya sebagai istri seorang prajurit. Merelakan dirinya yang tengah berbadan dua ditinggalkan hanya demi menjaga perdamaian negeri ini.

~~~

4 Bulan kemudian.

4 bulan lamanya, Arga tak pernah berkabar. Entah apa yang terjadi, namun jelas ini membuatnya sangat khawatir. Setiap hari Perempuan itu selalu saja membuka dan menutup ponselnya, sesekali ia melihat profil kontak Arga di ponselnya, mungkin saja Arga meneleponnya, tapi nyatanya selama ini ia hanya menunggu, Arga tak pernah datang.

Kanaya duduk di balkon rumah sendiri. Habis matanya sembab hari ini, ia menangis lagi. Entah apa itu, Bunda menghampirinya dan mengusap lembut punggung Kanaya. Perempuan setengah baya itu paham betul posisi Kanaya sekarang. Menangisi karena suaminya tak berkabar sedikitpun semenjak ia pergi.

Kanaya menoleh dengan tangan sedikit mengusap pipinya dan kemudian menundukkan kepalanya seakan ia malu pada mertuanya, kerjaannya saat ini selain termenung yaitu menangis.

"Eh, bunda.. Hehe, bunda sejak kapan disini?" tanyanya sembari tersenyum canggung.

"Nak, kenapa sayang? Kok nangis?" tanyanya lembut. Seolah angin segar terasa bersentuhan dihati Kanaya. Ia menatap mertuanya, ibunda suaminya yang memang sangat mirip dengan kekasihnya itu. Mungkin ini penawar rindunya, melihat seorang perempuan yang sama-sama Arga cintai. Bahkan perempuan didepannya ini adalah cinta pertama dalam hidupnya.

Kanaya tersenyum getir, sangat jelas guratan senyum itu menyiratkan kegelisahan dalam hatinya. Ia menunduk dan tak lama kembali terisak.

"Bunda, hiks" rintihnya.

"Sayang.."
"Coba ceritakan pada bunda, ada apa nak?"

Kanaya mendongakkan kepalanya, ia masih saja merintih dengan wajah merah dan mata basah. Melihat langit biru yang seolah tidak pernah tahu betapa mendungnya hatinya. Isakannya semakin terdengar, rasanya ia tak tahan lagi jika harus menahannya selama ini. Sekejam inikah menjadi seorang istri? Istri seorang abdi negara.

"Bunda, kenapa dunia jahat? Kenapa Negara itu egois?" ucapnya seolah ia tak pernah menapak diatas bumi.

Bundanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Hus! Gak boleh begitu nak. Dunia dan negara itu sama-sama hebat. Mereka bisa membuat kita lebih rindu dan cinta kepada seseorang dengan cara menciptakan jarak dengan mereka. Betul kan?" rayunya.

Kanaya memejamkan matanya seraya menghela nafas panjang. Sejenak ia terdiam sesaat sebelum ia kembali berspekulasi bahwa ternyata jarak yang serakah dan waktu yang egois.

Ingin sekali Kanaya berteriak dan bertanya atas apa yang menjadi semua kekesalan dalam hatinya. Selama ini ia rasa tidak menjadi manusia hidup. Ia terus saja dihantui dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang membuat lututnya terasa lemas. Apakah Arga masih mencintainya? Apakah Arga tidak berpaling darinya? Apakah Arga menemukan kebahagiaan baru disana? Apakah Arga merindukannya? Dan masih banyak kalimat yang diawali dengan kata 'apakah' yang menjadi hantu baginya, menakut-nakutinya, bahkan membuatnya terasa digertak habis-habisan. Tapi ia tak bisa, tidak bisa sama sekali untuk melontakan satu kalimat saja untuk ia pertanyakan. Rasanya ia terlalu tidak tahu diri untuk egois saat ini.

Ia kesal hingga rasanya ingin mencaci-maki isi dunia ini saat ia tahu dirinya hanya sendiri. Ia hanya ingin bahagia seperti orang lain, salahkah itu? Memegang tangannya ketika dokter memeriksa janinnya, mengusap punggungnya ketika ia merasakan mual yang luar biasa dipagi hari, dan meminjamkan bahu untuknya bersandar ketika ia rasa terlalu lelah dengan semuanya. Salahkah itu? Kanaya hanya ingin hal kecil itu, tidak yang lain.

Tapi nyatanya, itu hanya sebatas mimpi belaka yang ia harapkan tanpa sebuah angin nyata dalam kehidupannya.

***

Alhamdulillah akhirnya part 30 selesai juga setelah lama sangat saya menghilang dari dunia wattpad ini. Hehe maafkan saya teman-teman semuanyaa.

Mungkin, beberapa teman-teman ada yang penasaran kemana perginya penulis amatiran ini (so ingin dicari wkwk) selain karena ide tulisannya tiba-tiba hilang saya juga disibukkan dengan perkuliahan. Entah itu tugas-tugas atau jadwal perkuliahan yang sedang padat-padatnya dan hal itu membuat saya tidak memiliki waktu untuk mencari referensi seputar bapak bapak tentara ini, karena sekarang yang selalu saya lihat itu abang-abang seragam putih-putih hehe, jadi kepikirannya si abang seragam putih, bukan abang loreng wkwk.

Oh iya teman-teman semuanya, saya juga turut prihatin dengan apa yang sedang terjadi di bumi kita, terutama Indonesia kita tercinta atas COVID-19 yang menjadi wolrd epidemic, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT agar tetap terhindar dari bahaya COVID-19 tersebut. Tetap patuhi aturan yang telah pemerintah berikan agar kita tetap terhindar dari bahaya COVID-19. Untuk tenaga medis, para medis, penunjang medis dan staff medis saya ucapkan selamat bertugas, tetap semangat semoga selalu dalam lindungan Allah SWT dan apa yang menjadi lelah kalian akan diganti dengan lillah amin.

Happy reading, semoga ceritanya tidak membuat kalian kecewa🌻🌹💐❤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ada Negara Diantara Aku Dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang