{25} Gugur Bunga

3.2K 196 7
                                    

Kanaya berjalan sendiri dikoridor aula. Bukan sepatu mewah dengan harga selangit yang ia pamerkan, namun sepatu pentopel hitam dengan hak 5 cm ini kini menjadi kebanggaannya. Bahkan bukan baju mahal yang ia agungkan, melainkan seragam persit ini yang menjadi saksi dimulainya sebuah kisah cinta yang sesungguhnya.

Kanaya POV

Entah berapa lama aku telah berada ditempat ini. 7 bulan mungkin, tak tahu lah. Saat itu aku terlalu bodoh untuk menikmati tempat terindah ini.

Dulu memang aku selalu merasa ini adalah sebuah kutukan, bahkan jujur saja aku merasa dipenjarakan ditempat ini, jauh dari kota bahkan aku tak bisa pulang sendiri untuk menemui keluargaku di Jakarta. Jika saja aku bisa memutar waktu, aku akan memperbaikinya dan tak ingin melakukan sebuah kesalahan.

"Bu Danton! Kok melamun? Ada apa?"

Seseorang baru saja menepuk pundakku. Ah benar, aku melamun lagi. Bahkan sekarang aku ikut memikul nama dan jabatan suamiku sebagai komandan peleton. Yang benar saja, kini aku baru menyadari, seharusnya aku menjaga nama baiknya.

"Eh, Bu Geral. Maaf, tadi saya hanya kepikiran sesuatu" ucapku agak terbata karena mencari alasan. Perempuan didepanku tersenyum manis dan kembali mengusap bahuku.

"Pak Danton juga dapat surat ya Bu? Padahal kalian baru beberapa bulan menikah" ucapnya membuatku sedikit tertegun. Surat? Surat apa yang dimaksud Bu Geral barusan? Bahkan Kak Arga tidak pernah membicarakan perihal pekerjaannya padaku.

Sebuah pertanyaan besar kini bersemayam dalam pikiranku. Aku jadi sangat penasaran seperti apa pekerjaan yang sebenarnya seorang tentara itu? Kulihat dalam sosial media, mereka tidak berperang. Benarkah?

"Surat apa Bu?" Tanyaku serius. Terlihat Bu Geral menghela nafasnya, dan hampir mengatakannya.

Drrrttt.. Drrrttt

Ponselku tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan baru saja masuk dari Kak Arga dan membuat Bu Geral berhenti untuk melanjutkan niatnya berbicara.

"Sebentar ya Bu" ucapku meminta izin mengangkat telepon.

"Assalamu'alaikum Kak, ada apa?"

"...."

Tiba-tiba saja tangan dan kakiku terasa lemas setelah mendengar apa yang Kak Arga tuturkan dalam telepon. Aku tidak bisa menahan air mataku dan ponselku tiba-tiba saja jatuh. Mungkin, kini anggota persit lainnya juga membantu membopongku untuk duduk dan memberiku air minum untuk sekedar menenangkan hati dan pikiranku.

~~~~

Masih dengan seragam persitku, aku berjalan tak karuan di lorong rumah sakit. Setelah Kak Arga memberitahuku bahwa sahabatnya, Mas Bagus mendapatkan serangan saat melaksanakan tugas pamtas di Papua. Ia dikabarkan meninggal dunia karena terkena tombak saat terjadi ricuh antar suku.

Astagfirullah..

Kulihat seorang perempuan menangis sendu sembari memeluk seorang bayi yang masih tertidur. Siapa lagi jika bukan istrinya Mas Bagus, Mbak Rini. Kita memang tidak dekat, tetapi pribadi Mas Bagus masih berjejak didalam sejarah hidupku.

Kak Arga menatapku dan menganggukkan kepalanya. Ia ingin aku menghibur Mbak Rini yang kini bersedih. Aku memberanikan diri dan langkah demi langkah aku menghampirinya. Duduk disampingnya dan memeluknya perlahan.

"Mbak Kanaya, astagfirullah. Maafkan suami saya Mbak" ucapnya dengan suara parau dan gemetar, terdengar sangat menyakitkan. "Saya tidak menyangka, ia pergi begitu cepat. Huhuhuhu" tangisannya semakin menjadi.

Aku merasakan kepedihannya. Bahkan kini ia duduk sendiri menunggu kepulangan jenazah suaminya, keluarganya di Semarang membuatnya semakin merasa sendiri. Aku mencoba menggendong putranya yang masih berusia 3 bulan, karena sejak beberapa saat lalu Kak Arga datang dan memberitahu bahwa jenazah Mas Bagus telah tiba, Mbak Rini sudah tak sadarkan diri. Ia terkulai lemas dan hampir saja bayinya jatuh.

Ada Negara Diantara Aku Dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang