23. Bolehkah Aku Menyerah?

50 11 0
                                    

¤ Dua nama, dua rupa, dua sifat, satu jantung hati
Apa ada yang tega memisahkan kami?
Semoga benar, perpaduan kami akan menjadi lebih baik daripada saling membunuh satu sama lain ¤


Φ • ° • Φ


Ini adalah hari ke - 22 sejak kecelakaan hebat itu terjadi. Selama itu pula, aku selalu datang ke Rumah Sakit untuk melihat gadis itu dari luar.

Aku selalu mengamatinya dari jendela kecil yang terdapat didaun pintu ruangan itu.

Dari situlah aku bisa melihat gadis itu tertawa bersama teman - temannya, tak terkecuali bersama Relita.

***

"Lo ga capek kesini?" tanya Relita disampingku tiba - tiba.

"Heh... Kaget gue."

"Hahaha... Lo terlalu fokus sama Shania, sih. Sampe gue keluar aja gatau. Gimana kalau yang keluar tadi temen sekelasnya?" candanya.

"Liat dia senyum kaya gitu, rasanya lega banget," kataku singkat.

"Tadi, temen sekelasnya dateng kesini. Termasuk guru BK sama wali kelasnya. Jadi kalau lo mau masuk, masuk aja."

...

"Shania..., gue gamau bikin dia marah. Jadi, lebih baik gue engga jenguk dia sekarang," jawabku sendu.

"Yaudah. Lo tenang aja, lusa dia udah boleh balik kok. Walaupun masih rawat jalan dan belum boleh sekolah," terangnya tersenyum manis.

"Gue bakal tunggu dia disekolahan... Tapi apa dia masih transfusi darah?"

"Iya, gue juga gatau kenapa dia butuh banyak darah. Tiap hari dia butuh dua kantung darah. Padahal kata dokter kondisinya udah baik. Tapi, pendarahannya belum bisa dikontrol. Kalau besok udah gak transfusi darah, lusa Shania boleh pulang."

Aku hanya diam dan mengangguk pelan mendengar penjelasannya. Terlepas dari semua itu, aku percaya Airin akan segera pulih.

{Rully pov - off}


Φ • ° • Φ

Yeaaayyy...

Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang setelah sebulan lamanya aku berada ditempat yang membosankan ini.

Aku pulang dijemput Appa dan Raffasya. Mereka berdua tahu betul bagaimana kondisiku saat ini.

...

"Siapa sih yang ngirim mawar? Banyak bener. Item lagi, kan ngerii," kata Raffasya seraya membawa buket bunga yang berukuran cukup besar bila dibandingkan dengan rangkaian bunga yang selalu dikirimkan oleh secret admirer itu.

...

"Ngaku aja kalau lo punya pacar," kata Raffasya memberikan bunga itu padaku.

"Gue aja mati penasaran sama dia."

"Daripada pusing mikirin bunga, mending kamu mikirin kondisi kesehatanmu. Okay, Angel?" kata Appa tersenyum hangat dan mulai mendorong kursi rodaku.


Φ • ° • Φ



Setelah melalui penantian panjang, akhirnya aku bisa kembali menginjakkan kakiku dibangunan mewah milik Dharma Genta. Entah sudah berapa lama aku tidak menginjakkan kaki disini.

Aku datang dengan mobil hitam milik Appa, siapa lagi yang memaksaku melakukan hal ini kalau bukan karena Appa.

***

Meet Me in SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang