Karena di setiap tawa, belum tentu sesuai dengan realita.
🌙🌙🌙
"Dek."
Lifera menoleh terkejut, sampai benda yang ia pegang terjatuh. Orang yang memanggilnya itu menatap buket bunga tersebut, yang kini dipungut Lifera dengan cepat. Cowok itu melayangkan tatapan yang mengisyaratkan, agar Lifera menceritakan apa yang sedang gadis itu lakukan.
"Gak ada. Apa semua hal lo harus tahu?" Lifera berusaha membuat Desta untuk tak banyak bertanya.
"Bukan gitu, gue cuman mau memastikan aja. Dari cowok lo? Namanya siapa tuh, gue lupa," Desta tertawa sumbang, ia berhenti membuka mulutnya saat Lifera yang justru menatapnya dingin.
"Lo ada masalah?"
Lifera terdiam, tak ada respon untuk kunjung menjawab pertanyaan Desta.
"Gue mau ke kamar dulu," cetus Lifera meninggalkan Desta di teras, yang masih bingung dengan sikap gadis itu.
"Lo harus lembut, Desta. Kayaknya ada yang Lifera sembunyikan, dan gue harus cari tahu," gumamnya lirih.
Di dalam kamarnya, Lifera langsung membanting tubuhnya di kasur besar miliknya. Ia berguling meraih bantal, lalu menenggelamkan wajahnya.
Basah. Bantal itu kini tak lagi kering, isakan tangis Lifera mulai mengeras. Beginilah seorang Lifera, hanya dapat menangis ketika tak ada mata yang melihatnya. Tersenyum bahkan tertawa untuk sekedar menyamarkan kesedihan hatinya.
Gadis itu lalu terdiam sejenak, ia beralih mengambil buket bunga mawar di lantai. Mata coklat tuanya menatap dengan sisa genangan air di pelupuk mata.
"Gue gak takut sama lo, tapi gue takut sama kegilaan lo. Pasti dia bakal celakain orang-orang di sekitar gue, cuma buat bikin gue menderita. Gue gak mau sampai Paom jadi korban. Lifera, lo harus apa!" ungkap Lifera frustasi.
"Kalau gue pergi menjauh, itu malah bikin Paom khawatir. Dan gue gak mau itu terjadi," cecarnya terus menjambak rambut panjang miliknya.
"Mungkin tidur otak gue bakal lebih encer."
Mata Lifera perlahan terlelap, tubuhnya masih terbalut dengan seragam sekolah serta kakinya belum terlepas dari sepatu. Semoga dengan tidur sejenak, otaknya bisa diajak bekerja keras.
🌙🌙🌙
Forest meringis memegangi kepalanya, astaga mengapa kepalanya menjadi seberat ini? Cowok itu berjalan gontai menuju ke sofa di ruang tamu. Ia ingin sekali berteriak memanggil bunda ataupun adiknya. Tapi kedua orang yang dirinya butuhkan sedang tidak ada di rumah.
"Argghh, kenapa kepala gue sakit bener. Padahal tadi siang udah mendingan, apa akibat gue berkali-kali kena pukul di kepala jadinya gini," ujar Forest masih memegangi kepalanya.
Tok. Tok. Tok.
Mata Forest langsung tertuju pada pintu depan, ia mendengus kesal. Sedang sakit begini ada juga yang berani bertamu. Tapi, cowok itu berusaha berjalan walau kepalanya semakin terasa sakit. Ia perlahan meraih gagang pintu dan membukanya.
"Lifera?"
Gadis itu mengubah raut wajahnya, yang semula datar menjadi seolah merasa khawatir. Lifera mendekat dan tangannya menyentuh kepala Forest.
"Lo kenapa?" tanya Lifera tak mau bertele-tele.
"Kepala gue lagi sakit banget, padahal tadi udah mendingan," jawab Forest dengan nada tak seperti biasanya, terdengar lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifera
Fiksi Remaja"Tawa yang menjadi penyamar luka." Lifera Amelya Dewitahari. Gadis cantik dengan sikap seperti wanita pada umumnya. Ia nampak sempurna banyak pria yang ingin memilikinya, hanya saja itu pujian belaka. Goresan luka oleh sang masa lalu, membuatnya eng...